Diana lupa kalau hari ini adalah hari dimana bazar donasi di adakan. Mahasiswa-mahasiswi sudah ramai mempersiapkan stand mereka masing-masing. Mereka semua sibuk dengan apa yang mereka lakukan. Sementara, Diana sudah berlapang dada jika ketua penyelenggara akan mengomel padanya.
Untung, tadi Diana meminta Vidy untuk menurunkannya tidak jauh dari kampus. Jadi, dia tidak perlu takut jika orang lain membicarakannya. Tapi, dia juga menyesal karena tepat di parkiran kampus, ada keberadaan Affan di sana.
Kaki Diana berhenti tepat di depan stand jurusan sastra indonesia. Dia memerhatikan teman-temannya yang sibuk sendiri dengan kegiatan mereka.
Diana tersentak mendengar suara besar milik seseorang yang tengah berkacak pinggang di sampingnya. Dia adalah Jegi, ketua di jurusan sastra indonesia. Bisa di bilang, dia adalah ketua kelas.
"Bisa-bisanya lo baru datang, terus cuma diem bengong tanpa bantuin," omel Jegi dengan penampilan yang sudah buruk. Kain lap menggantung di bahunya, celana panjang yang di naikkan sampai ke lutut, dua kancing baju yang terbuka, membuatnya terlihat seperti tukang kuli. Walau begitu, Jegi memiliki sikap tanggung jawab yang besar, dan tidak segan-segan akan melindungi jurusannya.
"Iya maaf." Hanya itu yang bisa Diana katakan. Dia juga merasa bersalah, karena semua tanggung jawab ia serahkan pada Jegi begitu saja. Padahal, di sisi lain, Diana juga bertanggung jawab dengan semua yang ada, seperti seorang sekretaris.
Diana tau, Jegi tidak bisa marah. Cowok itu akan membuang nafas panjang, setelah itu bersikap seperti bisa. Seperti yang dia lakukan sekarang.
"Yaudah, lo jaga stand aja. Semuanya udah beres, tinggal nyusun makanan. Pengeluaran dan pemasukkan jangan lupa di catat. Kalo ada sesuatu yang lo ngga tau, lo tinggal bilang ke gue aja. Gue ada di belakang panggung," jelasnya yang sangat-sangat Diana mengerti.
"Band lo mau main?" tanya Diana ketika cowok itu hendak pergi.
Jegi tidak menjawab dan hanya mengangguk sekilas. Lalu ia berlalu pergi.
Diana menghembuskan nafas, lalu masuk ke dalam stand. Teman-temannya yang lain sudah pergi karena tanggung jawab mereka sudah selesai. Hanya tinggal Diana yang tersisa, dan beberapa temannya yang masih menyusun makanan. Diana mengedarkan pandangan, mencari keberadaan Amira yang sedari tadi tidak tampak di penglihatannya.
Tangan Diana sibuk ikut membantu menyusun dan merapikan makanan, tanpa terasa udah setengah jam berlalu. Matanya sesekali menatap sekeliling, mencoba mencari keberadaan Amira lagi. Tapi nihil, cewek itu tidak juga muncul.
"Sarah, lihat Amira ngga?" tanya Diana pada teman satu jurusannya yang kebetulan masih di dalam stand.
"Tadi, sebelum lo dateng, Amira ijin pergi ke ruang kesehatan. Katanya perutnya sakit," jelas Sarah.
Diana hanya mangut-mangut mengerti, lalu mengucapkan terima kasih. Setelah itu Sarah pergi, dan hanya menyisakan dia sendiri. Diana berpikir kalau Amira berbohong. Dia hanya tidak mau membantu mereka dan beralasan sakit.
Diana merogoh saku celananya. Mencari kontak Amira yang terletak paling atas, lalu menghubungi cewek itu. Panggilan pertama tidak di jawab, panggilan kedua juga sama. Sampai panggilan ketiga akhirnya terhubung.
"Woi kadal, lo dimana?" tanya Diana yang sudah kesal sejak awal.
"Lo siapa?"
Mata Diana melotot mendengar jawaban Amira. "Gue manusia! Lo dimana firaun?! Sekarang juga lo ke sini!"
Dari seberang telepon, Diana bisa mendengar tawa Amira yang begitu puas. "Aisshh! Lo ganggu banget, sih, Di! Enak-enak gue tidur, kebangun gara-gara lo!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Untold Lies [Completed]
Teen Fiction[Follow dulu sebelum baca] "Karena jika itu kamu, meskipun sakit, aku rela." Gagal move on. Kalimat yang cocok menggambarkan Diana saat ini. Bayang-bayangan mantan yang selalu menghantui kepalanya, membuatnya begitu prustasi. Sudah 2 tahun ia menco...