Diana menatap Vidy yang sedang tertidur di atas brankar dengan infus yang tertancap di tangan sebelah kanannya. Kaki Diana dengan pelan berjalan mendekat tanpa mengalihkan pandangan ke arah lain.
Diana menyentuh pelan tangan Vidy, tidak percaya apa yang sedang ia lihat saat ini. Kakinya melemas, dia langsung terduduk di kursi di samping brankar. Entah kenapa ia menjadi sulit bernafas, jantungnya berdetak begitu cepat.
Suara deruh nafas yang teratur, bisa Diana pastikan Vidy tidur dengan nyenyak. Tangan Diana terulur untuk membenahi rambut Vidy yang sedikit berantakan. Tangan Diana turun ke bawah, mengusap mata Vidy yang tertutup, lalu jatuh ke pipi.
Terlihat sangat damai, namun menyayat hati. Sekuat tenaga Diana menahan tangisnya yang akan pecah kembali.
Diana semakin tidak kuasa. Dia menarik tangannya, dan ingin cepat-cepat keluar dari ruangan itu. Tapi, Vidy terbangun dan mencekal tangannya, seolah tidak ingin membiarkan Diana pergi.
Cowok itu membuka matanya dan langsung tersenyum. Lesung pipi itu kembali terlihat untuk waktu yang lama.
"Lo mau kemana?"
"M-maaf..." Diana berusaha menetralkan wajah terkejutnya.
"Nggak apa-apa, gue suka." Vidy meletakkan tangan Diana kembali di wajahnya, lalu kembali menutup mata.
Sepi menyelimuti ruangan. Diana hanya diam dengan tangan yang mengusap pipi Vidy dengan kaku. Dia mengatur posisi duduknya untuk duduk lebih santai.
Vidy juga diam, namun senyuman yang terukir dibibirnya tidak kunjung memudar. Dia seolah menikmati sentuhan tangan Diana di wajahnya.
"Maaf," kata Vidy setelah lama terdiam.
Diana mengernyit tidak mengerti. "Untuk?"
"Udah nutupin ini semua dari lo."
Diana tidak menjawab. Dia memandangi wajah yang kini sedikit menyusut dari sebelumnya. Lingkaran hitam di sekitar matanya terlihat jelas. Bibirnya juga begitu kering.
Vidy membuka matanya, lalu menatap Diana yang juga menatapnya. "Di, mau jalan-jalan sama gue?" tanya Vidy pelan, seakan tau pasti akan di tolak.
"Enggak! Lo kayak gini, gimana bisa jalan-jalan?!" tolak Diana dengan tegas.
Vidy terkekeh melihat Diana kembali cerewet padanya. "Ada itu." Dia menunjuk ke arah pojok ruangan, ternyata di sana tersimpan kursi roda.
Diana mengikuti arah tunjukan Vidy, lalu kembali menatap cowok itu. "Terus, kalo ada kursi roda, lo kira gue mau?"
Bahu Vidy menurun, bibirnya maju satu senti. "Sekali ini aja, ya? Ya?"
Diana bukannya tidak mau. Dia memikirkan kesehatan Vidy yang belum sembuh total. Tapi, melihat wajah cemberut itu, Diana tidak tega melihatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untold Lies [Completed]
Teen Fiction[Follow dulu sebelum baca] "Karena jika itu kamu, meskipun sakit, aku rela." Gagal move on. Kalimat yang cocok menggambarkan Diana saat ini. Bayang-bayangan mantan yang selalu menghantui kepalanya, membuatnya begitu prustasi. Sudah 2 tahun ia menco...