Part 33

801 45 7
                                    

"Setenang air danau, sesejuk udara malam, dan seindah langit biru. Bagiku, hanya kamu yang mampu begitu, dan bagiku, hanya kamu yang semenarik itu."
~W.A




Renata menatap kosong penampakan seseorang yang sekarang sedang berbaring lemah di hadapannya. Terbantu oleh segala tetek bengek peralatan rumah sakit, yang Rena saja tidak tahu apa itu namanya, semakin menambah kadar kekhawatiran di dalam hati Rena.

Papanya, Manuel, terbaring kaku di atas ranjang rumah sakit dengan selimut yang menutup sebagian tubuhnya. Matanya tertutup dan tidak sadarkan diri, entah sampai kapan, Renata tidak tahu.

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi, tapi Rena belum makan apa-apa dari semalam. Sate pemberian Regan yang niatnya akan Ia makan untuk makan malam saja sudah terbujur mengenaskan di dalam kulkas.

"Papa," panggil Rena lirih. Lidahnya kelu, matanya selalu memanas setiap menatap wajah Sang Pahlawannya.

Rena duduk di kursi yang berada di samping ranjang, tangan kanan Rena terulur, bergerak mengusap rambut Manuel dengan perlahan. Netranya meneliti setiap luka yang menghiasi wajah tampan Papanya.

"Papa kapan bangun? Rena kangen dipeluk Papa," adu Rena pada udara kosong yang bergerak tenang di dalam ruangan.

Rena berkedip. Tetesan air matanya kembali meluruh deras. Air matanya bahkan tidak habis-habis, semalam suntuk Ia sudah lelah menangis sendirian, meresapi rasa cemas yang keterlaluan menusuk hatinya.

"Papa tau? Rena udah gak repotin orang lain lagi tadi malam. Rena kesini naik taksi sendirian lho, Pa. Rena hebat kan? Anak Papa udah gak manja lagi sekarang. Jadi, Papa bangun, ya?"

Rena terisak perih. Kedua tangannya bergerak mengusap kasar air mata yang mengalir di pipi gembulnya.

"Rena gak boleh nangis lagi. Kalo Rena masih cengeng, nanti Papa gak bangun-bangun," teguh Rena pada pendiriannya. Tapi tetap saja, mau seribu kali mengucap mantra itu, air matanya malah akan semakin deras.

"Huhuhuuu, Papa bangun, dong!"

"Rena."

Rena mengerjap, suara siapa barusan? Matanya beralih menatap wajah Manuel lekat-lekat. Matanya masih menutup, lalu suara siapa tadi? Hantu? Mosok si?

"Renata, gue udah sampe nih."

Gadis itu sontak menoleh ke belakang, menatap pemuda di depannya penuh binar. Senyuman tipis turut serta menjadi salam pembuka bagi Rena.

"Arsa ke sini sendirian?"

Arsa mengangguk. Langkahnya bergerak mendekat ke arah Papanya, oh maaf, Papa angkatnya. "Gimana keadaan Papa?"

Dahi Rena mengerut tak suka. Ia tidak terbiasa mendengar Arsa memanggil Papanya juga dengan sebutan yang sama. Rasanya aneh. Manuel adalah Papanya, super heronya.

"Renata."

"Papa masih belum sadar, semalam baru selesai ditangani dokter, kata dokter, luka Papa cukup parah tapi beruntung cepat ditangani," jelas Rena sambil menatap ke arah jendela kaca di sampingnya.

"Kenapa Papa bisa sampai begini?" Arsa menarik lembut dagu Rena agar gadis manis itu mau menatap ke arahnya.

Rena menatap Arsa dengan pandangan yang sulit diartikan. Sementara Arsa masih menunggu jawabannya dengan tenang.

Regan ( Completed )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang