Part 48

927 45 6
                                    

"Ini bukan masanya, sayang belum waktunya. Kita, akan kembali bertemu setelah kematian menyapa."
~n.n





Pekat. Kelam. Lagi dan lagi Renata harus merasakan kehilangan seseorang yang berada di sekitarnya, untuk selamanya. Ruang rawat inap yang tadinya selalu dipenuhi tawa dan senda gurau, saat ini suasananya sangat berbeda.

Tangisan dan isakkan pilu dari banyak orang yang hadir di sana turut mengiringi kepergian seorang perempuan yang tidak pernah diduga akan pergi secepat ini. Rena sendiri masih bersandar pada dinding di belakangnya, menatap kosong ke arah brankar tempat seseorang yang berbaring kaku di sana. Semuanya terlalu cepat dan tidak pernah terduga sebelumnya. Ia masih tidak percaya.

"Ikhlasin Bebi, Al." Gita dengan sabar mengelus bahu pacarnya penuh kasih sayang. Air matanya juga turut mengalir karena tak tega melihat Altar yang bersimpuh di samping tubuh Bebi.

Iya. Bebi sudah tiada, semoga Ia tenang di sana. Tadi sore, tepatnya setelah Rena baru sampai di rumah bersama Regan, Arsa memberi kabar duka yang membuat semua orang terkejut dan langsung memastikan kebenaran kabar tersebut. Bebi dinyatakan meninggal setelah sempat sadar dan tertawa bersama yang lainnya.

"Gue selalu turutin mau lo. Sekarang, lo turutin apa mau gue, bangun, Babi! BEBI PRAMUDI! BANGUN!" Altar memukul lantai dengan kepalan tangannya yang mengerat. Ia sangat menyayangi saudara bobroknya itu, sekarang siapa yang akan merepotkannya lagi?

"Udah, please, Al. Biar Bebi tenang di sana," bujuk Gita yang ikut menunduk dengan raut pilu.

Sementara di pojok ruangan, ada Arsa yang sedang duduk dengan kedua tangan menutup wajah. Tangisnya tak terdengar, Ia berusaha sekuat tenaga menahan rasa sedihnya yang sangat besar. Ia merasa gagal dalam menjaga dan melindungi Bebi. Ia kalah, bahkan sebelum berjuang untuk seseorang yang Ia sadari telah Ia sukai.

Kenapa di saat Arsa mulai menyukai Bebi, Ia malah pergi dan meninggalkan pemuda itu untuk selamanya? Apa takdir Arsa harus semenyedihkan ini?! Tidak. Arsa tidak boleh berburuk sangka pada takdir Tuhan, ini sudah garisnya. Ini yang terbaik untuk semua orang, termasuk juga untuk Bebi.

"Bebi udah gak kesakitan lagi sekarang, Sa. Lo yang ikhlas, gue tahu lo udah mulai suka, kan sama dia?" Regan sekarang sudah mulai banyak bicara, tapi memang rautnya saja yang terlihat lempeng.

Arsa menurunkan kedua tangan yang menutupi wajahnya. "Ini semua salah gue, Gan. Kalau aja pas awal gue gak lakuin itu ke dia, dia gak akan sampai ngerasain nasib buruk kaya gini." Pandangannya kosong, rambutnya acak-acakkan. Arsa seperti kehilangan semangat hidup sekarang.

"Ini takdir. Stop salahin diri lo sendiri, Gearsa." Regan menekan kata 'stop' pada kalimatnya. Arsa terlihat sangat ceplas ceplos sekarang, pemuda itu lebih baik diam.

"Apa gak cukup Tuhan ambil Papa gue? Dia ambil orang yang gue suka juga, Gan. Dia ambil Bebi secepat ini, bahkan gue belum ngungkapin perasaan gue ke dia."

"Lo tenangin pikiran lo dulu, baru ngomong. Takdir Allah gak sependek kayak apa yang ada di pikiran lo. Istighfar, Sa."

Arsa langsung nyebut setelah Regan memperingatkannya. Ia menjambak rambutnya sendiri dengan raut frustasi. Ia lelah, fisik dan juga batin.

"Kak."

Semua orang refleks menoleh ke sumber suara. Arsa sendiri sudah mendongak kaget dengan raut bertanya. Tumben?

Regan ( Completed )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang