Part 4

2.1K 143 40
                                    

"Aku memang kurang beruntung, tapi aku tetap bersyukur."
~Renata Maghelsa

"PAPAAAA! RENA KAMBEKKK!" Rena berteriak keras saat kakinya sudah menginjak teras rumah. Mobil hitam yang terparkir di halaman kecilnya dan pintu rumah yang terbuka menandakan Papa tercinta sudah pulang. Jadilah Rena berteriak seperti tarzanwati untuk memberikan tanda kehidupannya.

Rumah bergaya minimalis tersebut hanya ditinggali oleh Renata dan Papanya, Manuel. Mamanya sudah tinggal bersama Sang Kuasa semenjak Rena berumur 3 tahun. Berpulang kepada Tuhan di saat umur Rena yang terbilang masih sangat kecil, membuat duka yang sangat mendalam dirasakan gadis berkulit putih tersebut. Pada saat tersebut bahkan Rena belum mengerti apa makna dari kata 'meninggal'. Yang gadis kecil itu tahu hanyalah Ibunya sedang tidur dan tidak boleh dibangunkan.

Dulu Rena selalu membandingkan dirinya dengan teman-temannya yang lain. Mereka bisa merasakan kebahagiaan sebuah keluarga yang utuh, dan Rena tidak. Mereka bisa dengan puas merasakan kehangatan peluk seorang Ibu, sedangkan Rena tidak. Bahkan Rena sudah lupa bagaimana rasanya dipeluk dan disayang oleh Mamanya sendiri.

Tapi perlahan, beranjak dewasa membuat Rena paham. Bahwa yang Ia perlukan hanya bersyukur. Ia masih punya seorang Papa yang sangat Ia banggakan. Seorang Papa yang dengan kuatnya bisa menggantikan peran Ibu dan Ayah sekaligus. Seorang Papa yang selalu menjadi tameng terhebatnya. Rena bersyukur masih bisa merasakan kebahagiaan, walaupun kebahagiaannya tidak terasa utuh.

"PAPAAA!" Sesampainya di ruang tengah, Rena mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Rumahnya tampak sepi. Di mana Papanya berada?

Kening Rena berkerut, Ia melangkahkan kakinya pelan menuju kamar Papanya. Mengecek bahwa mungkin saja Papanya berada di dalam sana. Dan benar saja, Ia melihat Papanya sedang menaruh bingkai foto Sang Mama di atas nakas dengan gerakan cepat.

Rena menghentikan langkahnya di ambang pintu kamar, matanya perlahan menyorot sendu. Ia juga rindu pada Mamanya, tapi rindunya tidak pernah berujung. Dan Rena harus tegar untuk itu.

"Pa." Rena tersenyum lebar saat Papanya berjalan dengan langkah panjang menghampirinya. Rena segera meraih telapak tangan kanan Manuel untuk Ia cium. Setelahnya, Ia langsung mendongak untuk mengecup pipi kanan Papa tercintanya.

"Papa dengar kamu teriak tadi, jadi Papa berniat keluar, kamu belum makan kan? Yuk makan bareng Papa, Papa sudah masak makan siang tadi." Manuel tersenyum hangat sambil mengusap puncak kepala Rena dengan sayang.

Melihat sorot sendu di mata putri semata wayangnya, kening Manuel berkerut heran.

"Kenapa Sayang?" tanya Manuel dengan lembut tanpa menghentikan gerakan tangannya yang mengelus puncak kepala Rena.

"Papa lagi kangen Mama ya?" Rena mencebikkan bibirnya lucu.

Manuel terkekeh pelan. "Memangnya kapan Papa gak kangen mama?"

"Papa selalu kangen Mama. Dan sekarang, Papa lagi kangen banget sama Mama. Iya kan?" Rena memeluk lengan kiri papanya dengan manja.

"Kamu mengerti Papa dengan baik. Jadi, apa perlu dijawab?" Manuel menjawil puncak hidung Rena dengan gemas.

"Ada apa? Papa pasti abis liat sesuatu yang bikin Papa inget sama mama ya?" Rena menggandeng tangan Manuel untuk melangkah bersamanya menuju dapur.

Regan ( Completed )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang