Part 40

1K 46 6
                                    

"Bahagiamu berharga. Bahagiamu itu penting. Jadi, tolong jangan lenyapkan kebahagiaanmu hanya karena celoteh cecunguk tak berguna."
~W_Anita




Hari-hari berlalu. Semuanya masih terlihat sama. Sekolah tidak direnovasi. Jendela kamar Rena hanya ada satu. Pintu kamarnya juga masih tetap satu, dan sekolahnya tetap masuk pada jam setengah delapan. Tidak ada yang berubah. Tetap sama.

Setidaknya itu yang Rena lihat. Tapi tidak dengan hatinya. Tidak dengan hidupnya. Ia merasa kosong, jiwanya serasa hilang entah kemana. Hari-harinya suram. Abu-abu. Tidak berwarna seperti biasanya.

Bahagianya seolah hanya berpusat pada rotasi sebelum ini. Regan, Papanya, dan sikap manis mereka berdua. Tapi memang semua itu selalu ada di keseharian Rena belakangan ini, bukan? Jadi Rena cukup merasa kehilangan atas perhatian kecil yang sering Regan berikan.

Rena menatap pantulan tubuhnya di cermin yang bertengger pada dinding kamarnya. Seragam sekolah sudah berbalut rapi pada tubuh langsingnya. Ia menatap wajahnya yang berubah menjadi sedikit jelek.

Mata sembab, bibir pucat, pipi tembamnya sekarang terlihat lebih tirus, kantung mata juga terlihat di bawah kedua kelopak matanya. Ah Rena merasa seperti menjadi mayat berjalan. Ini tidak baik.

Rena menghembuskan napas kasar. "Rena harus bahagia. Papa juga pasti udah bahagia di atas sana. Rena gak boleh bikin Papa sedih," ucapnya bermonolog sambil tersenyum manis.

Rena sedang berusaha untuk terlihat baik-baik saja. Ia harus selalu baik-baik saja. Dengan Regan, ataupun tanpa Regan di sampingnya.

Langkahnya mengalun ringan menuju gerbang depan. Ia tidak sarapan pagi ini, mungkin nanti Ia bisa membeli sebungkus roti dan sebotol air mineral. Uang asuransi dari perusahaan Papanya masih tersisa lumayan banyak, setidaknya bisa menghidupi Rena sampai Ia lulus sekolah nanti.

Tapi Rena harus berusaha berhemat. Ia juga akan mencari pekerjaan yang sekiranya bisa Ia lakukan selagi menunggu kelulusan, Ia harus bertahan hidup seorang diri. Rena akan berjuang untuk mandiri.

Rena baru saja selesai mengunci gerbang rumahnya. Ia berbalik dan berniat melangkah menuju gerbang komplek depan.

"Hai!"

Suara bariton dari arah samping membuat Rena menoleh. Ia menemukan sesosok pemuda yang berseragam sekolah, tapi terlihat berbeda, mungkin dari sekolah lain.

Ia menatap sosok di depannya dengan raut datar. Ia tidak membalas sapaannya dan hanya tersenyum tipis. Rena segera mengalihkan pandangannya dan kembali melangkah menuju gerbang komplek.

"Tunggu!" Pemuda berjaket hitam itu segera menaiki motornya yang terparkir di depan gerbang rumahnya sendiri, kemudian mengendarainya menyusul Rena.

Kulitnya tidak terlalu putih, malah terkesan sawo matang. Tapi wajahnya yang manis berhasil menjadi magnet tersendiri bagi perempuan. Senyumnya terus terpatri lebar, hal itu malah terlihat aneh bagi Rena.

"Gue Zidan, tetangga baru lo. Nama lo siapa?" tanyanya dengan senyuman konyol. Ia merasa tertarik dengan Rena yang terlihat mengabaikannya, gadis itu terlihat memiliki aura yang berbeda dengan perempuan lainnya.

Renata tetap diam dengan langkah santainya, sesekali meremas tali tas yang tersampir di bahunya. Ia masih berusaha sabar. Apa pemuda asing itu tidak tahu kalau Rena sedang tidak ingin diganggu?! Menyebalkan!

Regan ( Completed )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang