19

63 8 0
                                    

Adara terdiam sendiri di tepi lapang. Evania yang dari tadi Bersama nya sedang pergi ke kantin untuk membeli minuman.

Mama, Papa, dan ... Gama?
Orang yang Adara sayang. Ya ... Dia akui sekarang.

Orang tua nya sudah meninggal, apa Gama akan meninggalkannya juga dan berpaling pada Amara? Adara harap tidak.

Penyesalan memang selalu datang terlambat, dan ya ... Adara rasa itu memang benar.

Alfian yang ingin pergi ke kantin tak sengaja melihat Adara yang melamun di tepi lapang. Dengan cepat Alfian menghampiri Adara ... Takut terjadi sesuatu hal yang buruk pada Adara.

"Hai, Dar." Alfian menepuk bahu Adara.

Adara tersentak, sedikit terkejut. Alfian tiba-tiba saja sudah ada di sisinya. "I-Iya?"

"Kenapa lo?"

Adara menggelengkan kepalanya.

"Oh." Alfian tidak ingin bertanya lagi. Dilihat dari wajah Adara, gadis itu seperti sedang malas melakukan apa-apa. Jadi, daripada dia bertanya tapi Adara tidak menjawabnya, lebih baik diam saja lah.

Sambil memperhatikan Adara yang melamun kembali, Alfian berfikir keras. Sebenarnya Adara kenapa? Sakit? Atau–, entahlah.

"Al?" panggil Adara pelan.

"Iya?"

"Lo mau nemenin gue nggak?"

"Ke mana? Ya pasti mau lah."

"Ke tempat Mama meninggal dulu, kita cari tahu pelakunya?"

"Oh, oke. Gue siap!"

Adara tersenyum tulus. "Makasih, ya."

"Sama-sama, santai aja. Gue emang menanti banget hal ini, gue juga mau balas dendam sama pelaku nya!"

"Pulang sekolah, ya. Oh, iya! Jangan kasih tahu ke siapapun, oke?"

"Kenapa gitu, Dar?"

"Gue takut kalo banyak yang tahu tentang ini. Bi Asih pernah bilang, mungkin yang bunuh Mama itu pelaku yang sama, sama yang bunuh Papa dulu. Makanya gue harus hati-hati, karena kalo iya, korban selanjutnya pasti gue, Al. Dan kemungkinan pelakunya adalah orang yang deket sama gue, dan bisa aja dia ada disini sekarang tanpa kita sadari."

Alfian mengangguk setuju. "Oke, tapi kenapa lo nggak curiga sama gue? Bisa aja kan gue pelaku nya?"

"Gue yakin, bukan lo pelaku nya, Al. Sejahat apapun lo, lo nggak akan punya dendam yang sampai harus bikin lo bunuh orang."

"Makasih kepercayaan nya, Dar."

Adara tersenyum sambil mengangguk.

"Ingat! Pulang sekolah. Ya udah gue ke kelas ya," pamit Adara.

"Hmm, ya udah sana!" Alfian berlaga mengusir.

Adara mencebik. "Mulai kurang ajar!"

Alfian tertawa. "Hati-hati, Dar!" teriak nya kencang karena Adara sudah berada jauh dari tempat nya sekarang.

***

Adara masuk ke kelas.
kosong? Syukurlah.

Dia lalu duduk di bangku nya, sedikit merinding juga ketika mengingat kejadian kemarin. Namun hal itu buru-buru dia tepis. Jangan takut, Dar!

Adara terdiam lagi. Dia sungguh merasa bersalah, kasus pembunuhan Mama dan Papa nya belum juga selesai. Tetapi Adara sudah berani memikirkan hal lain, ya ... Tentang Gama misal nya.

Adara sangat bingung, kasus kedua orang tua nya sangat berat untuk ditangani langsung oleh dirinya.

Polisi mengatakan, jika ditempat meninggal Mama nya memang sering terjadi pembunuhan. Dan Polisi sudah menutup kasus itu karena hal itu wajar. What?

Adara sempat kaget mendengar nya. Apalagi saat pelaku sudah ditangkap, dan ternyata orang itu  mempunyai penyakit kejiwaan yang membuat Polisi tidak bisa menahannya.

Tetapi Adara masih tidak percaya, Adara yakin bukan orang gila itu pelaku nya. Mungkin memang orang gila itu seorang pembunuh, tetapi bukan pembunuh Mama nya.

Pelaku itu masih berkeliaran disini, Makanya sekarang Adara harus berhati-hati lagi.

Dia sengaja tidak membicarakan hal ini pada yang lain, Karena untuk saat ini dia sulit percaya pada siapapun.

Tetapi melihat Alfian. Adara sedikit melihat keyakinan. Ayah Alfian yang berstatus sebagai Pengacara bisa diajak kerjasama lewat Alfian yang siap membantu nya.

***

Amara dan Amira merasakan sesuatu yang berbeda pada Gama.

Dingin.

Ya. Saat bertemu mereka berdua di kantin, Gama seperti tidak mengenal mereka berdua. Saat tak sengaja bertatap muka, Gama langsung membuang muka. Dan saat di sapa dia langsung pergi begitu saja.

Amira hanya menganggap hal itu wajar. Dia juga sadar, yang dilakukan Kakaknya itu sedikit kelewatan.

Sudah tahu Gama ini punya janji pada Adara, tetap saja dipaksa berangkat bersama. Padahal, hal itu sama sekali tidak berguna, menurutnya.

Dan apa se marah itu Amara kemarin?  Padahal dirinya yang terlihat lebih marah waktu itu. Dia bahkan sampai berteriak-teriak kencang dihadapan Gama, bahkan kedua orang tua Gama juga.

Tetapi pembalasan Amara jauh dari dugaanya. Benar ya, orang pendiam itu lebih berbahaya jika marah.

Amira bernafas lega. Untung saja dia ini petakilan. Jadi, jika sewaktu-waktu dia marah, dia nggak akan berbuat hal yang keterlaluan.

Amara? Gadis itu dari tadi hanya diam. Rasa bersalah menjalar diseluruh tubuh nya.

Dia heran. Baru kali ini dia membalaskan dendam tapi tidak membuatnya tenang.

Adara? Apa sekuat itu Pengaruh nya untuk Gama?

LonelyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang