Bel pulang sekolah berbunyi. Adara tersenyum lebar. Akhirnya, dia sungguh tidak sabar untuk melakukan penyelidikan atas kasus pembunuhan Mama nya.
Adara harap, dengan segera dia menangkap pelaku sebenarnya. Meski Polisi sudah menganggap kasus ini selesai, Tetapi tidak dengan dirinya. Dia yakin, sangat yakin! Pelaku nya masih belum tertangkap meskipun Polisi sudah memperlihatkan pelaku yang berhasil di tangkapnya malam tadi.
Kabar itu sengaja Adara simpan sendirian, supaya lebih aman. Takut nya jika memang benar pelaku itu masih berkeliaran sampai sekarang.
Kemarin malam saja dia bahkan harus bersembunyi-sembunyi untuk ke Kantor Polisi karena takut Bi Asih tahu tentang hal ini.
"Dar, Adara!" Evania berusaha menyadarkan Adara yang melamun.
"I-Iya?" kata Adara sedikit terbata karena masih terkejut.
"Ayo kita pulang."
"Oh i-iya, Ayo!" Adara merasa kikuk. Dilihat nya keseliling, kelas ini sudah sepi, hanya tertinggal Evania dan dia saja disini.
Evania berjalan terlebih dahulu. Sedikit aneh melihat kelakuan Adara yang banyak melamun dari tadi. Apa iya hanya karena Gama? Seperti nya ada hal lain juga.
"Lo mikirin apa sih, Dar?" tanya Evania penasaran.
"Ha? Ng-nggak ada, kok." Adara tersenyum, menyembunyikan sesuatu.
Hal itu membuat Evania semakin penasaran. "Gama?"
"Bukan."
"Terus? Cerita lah, kalo gini, guna nya gue jadi sahabat lo, apa?"
Adara membisu. Ingin dia memberitahu Evania tentang yang ada dipikirannya saat ini. Namun, dia harus berfikir dua kali. Bahaya sekali untuk dia menyelidiki kasus ini jika banyak orang yang bersangkutan. Bukan tidak percaya pada Evania, tetapi jaga-jaga saja.
Biarlah kasus ini menjadi urusan dirinya, dan hanya akan ada satu orang yang membantunya, yaitu Alfian. Tidak lebih!
"Malah diem," cibir Evania kesal.
"Gue nggak lagi mikirin apa-apa kok Va. Serius!" kata Adara meyakinkan.
"Bohong banget sih!"
"Beneran. Dari tadi gue diem itu justru karena otak gue lagi kosong. Kek nggak ada isi nya sama sekali, Va. Beneran deh, sumpah."
"Terserah, tapi gue tahu, yang lo omongin barusan itu bohong, kan?"
Adara menggeleng lemah.
Evania mendelik dan berlalu begitu saja menghampiri Wulan yang sudah menunggunya diparkiran.
"Mama," Evania tersenyum lebar dan langsung memeluk Wulan.
"Hai, sayang." Wulan mengusap rambut Evania penuh sayang.
Adara tersenyum kecut melihat hal itu dari kejauhan. Beruntung sekali Evania bisa mendapatkan Mama tiri sebaik Tante Wulan yang bisa menerimanya seperti anak kandung sendiri.
"Ayo Mah, pulang!" ajak Evania, Wulan mengangguk lalu masuk ke dalam mobilnya lalu disusul Evania setelahnya.
Adara mengehembuskan nafas perlahan, memejamkan mata nya untuk sesaat. Jujur dia rindu berangkat dan pulang sekolah bersama Evania seperti dulu.
Apa dia masih bisa? Tetapi setiap Adara menawarkan, Evania selalu menolaknya. Bikin repot, kalau kata Evania.
Ah, ya sudah. Adara ingat lagi tujuan awalnya. Alfian. Mana dia sekarang?
Adara mempertajam penglihatan nya. Mencari Alfian disetiap sudut parkiran sedikit membuatnya kesusahan. Tempat ini lumayan luas, apalagi diparkiran ini masih bayak orang.
Tetapi mata Adara teralihkan pada seseorang, yaitu Gama. Adara merasa heran, kok Gama menumpang pulang pada Lutfhi sih? Motornya kemana emang?
Sudah lah, nggak penting juga dipikirin. Pikir Adara.
Alfian berlari menghampirinya. "Maaf, Dar. Lo nunggu lama ya?"
"Lumayan, ya udah yuk!"
Alfian mengangguk. "Ngomong-ngomong kita naik apa?"
"Motor masing-masing aja," jawab Adara.
"Ha? Nggak usah lah. Pake motor gue aja biar nggak ribet," usul Alfian yang tidak disetujui sama sekali oleh Adara.
"Al, lihat ke sana," tunjuk Adara pada mobil nya yang dia tinggalkan kemarin. "Itu mobil gue. Kemarin gue pulang bareng Gama, makanya mobil itu gue tinggal. Terus sekarang? Apa harus gue ninggalin motor di sini juga?"
"Serius lo nyimpen mobil disekolahan, Dar?" Alfian terkejut.
"Iya."
"Nggak takut dicuri? Sekolah kan nggak ada yang jaga kalau murid-murid sama Guru-guru udah pada pulang."
"Oh, iya ya. Gue nggak mikirin itu kemarin sih, Al."
"Jangan gitu lagi ya, Dar!"
"Iya, tapi itu gimana? Gue juga bingung sih bawa pulang nya gimana."
"Bentar, Dar. Gue punya solusi." Alfian lalu memanggil Azka dan Dzikra–teman sekelas nya yang kebetulan sedang lewat di depannya.
Azka dan Dzikra menoleh pada Alfian. "Kenapa, Al?" tanya Azka.
"Lo berdua bisa bantu kita, nggak?"
"Bantu apa?" Kini Dzikra yang bertanya.
"Mobil Adara bisa lo bawa nggak, tolong banget anterin ke rumahnya ya?"
"Gimana ya," Azka memandang Dzikra meminta pendapatnya. "Boleh," kata Dzikra sambil tersenyum.
Adara bernafas lega. Ya ... Setidaknya Azka dan Dzikra ini termasuk anak-anak yang baik. Setidaknya untuk menitipkan Mobil nya Adara bisa mempercayai mereka.
"Ya udah, mana kuncinya?" Azka bertanya.
"Mana, Dar?" Alfian menoleh pada Adara, lalu menerima kunci yang Adara beri dan menyerahkannya pada Azka. "Hati-hati. Oh iya, kasih kunci ini ke Bi Asih ya nanti."
Azka mengangguk. Lalu memberikan kunci motornya pada Dzikra. "Bawa motor gue, biar gue yang bawa mobilnya Adara."
Dzikra hanya menurut saja.
"Makasih, ya." Adara tersenyum.
"Sama-sama," jawab Azka dan Dzikra barengan. Lalu pergi dari sana setelah pamit dulu sebelumnya.
"Ayo!" ajak Adara.
"Motor lo tetep lo yang akan bawa?" tanya Alfian memastikan.
"Ya gimana lagi," Adara mengedikkan bahu.
"Ya udah, tapi lo jangan jauh-jauh dari gue, ya!"
Adara mengangguk mengiyakan. "Ayo!"
"Let's go!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lonely
Teen Fiction[TAMAT] Sahabat, teman, kasih sayang, kekayaan, dan kebahagiaan. Semuanya didapatkan oleh seorang Adara Adsilla. Hingga perlahan-lahan semuanya telah berubah, berbanding balik dari sebelumnya. Adara merasa sendiri didunia ini. Dia benar-benar kesep...