37

39 6 0
                                    

Bel istirahat berbunyi. Amara dan Amira bersiap pergi ke kantin untuk mengisi perutnya yang sudah berbunyi dari masih mereka belajar tadi.

Mereka berdua berjalan beriringan. Dalam perjalanan, mereka berdua banyak sekali di sapa atau di goda oleh laki-laki. Sudah biasa! Dari semenjak mereka pindah kesini, laki-laki itu tidak pernah bosan meski sering kali mereka berdua abaikan.

"Kak, gue mau ke toilet dulu ya? Mau nata penampilan gue, biar kalau ketemu Alfian kan nggak malu-maluin," pamit Amira.

"Jangan lama-lama!"

"Iya. Tapi pesenin makanan gue ya?"

"Ya."

Amira langsung melesat begitu saja membuat Amara menggeleng heran. Dasar bucin!

Semenjak pertemuan Adiknya dengan Alfian waktu lalu, Adiknya itu selalu saja kecentilan dimanapun dan kapanpun. Katanya, nanti kalau ketemu Alfian terus dia nggak cantik bagaimana? Padahal belum tentu juga Alfian meliriknya meskipun dia cantik.

***

Alfian memdesah. Kantin saat ini sangat ramai, padahal kemarin-kemarin tidak seramai ini.

Alfian mempertajam penglihatannya ke segala sudut kantin ini, semoga saja ada satu meja yang kosong, atau paling tidak satu bangku untuk dia duduk meski harus bergabung pada orang yang tidak dikenalinya sekalipun.

Matanya berhenti pada sosok gadis berkacamata yang duduk seorang diri di meja pojok. Kayaknya tidak masalah jika dia ikut bergabung bersamanya. Lagian, mana ada cewek yang menolak duduk dengannya? Orang ganteng gini!

Alfian memesan soto ayam terlebih dahulu sebelum menghampiri gadis berkacamata tadi.

Setelah satu mangkuk soto dan satu gelas es jeruk berada ditangannya, Alfian mulai berjalan ke arah gadis berkacamata itu pelan tapi pasti.

"Hai, boleh ikut duduk nggak?" sapa Alfian tidak lupa dengan senyumannya.

Gadis berkacamata itu mendonggak, menatap Alfian dengan satu alis yang menaik.

"Gue boleh duduk disini kan?" tunjuk Alfian dengan matanya pada kursi yang kosong disampingnya.

"Kenapa?"

"Ya ... Karena nggak ada meja yang kosong lagi."

Amara menatap keseliling, ternyata benar. Maklumlah, dari tadi dia hanya fokus pada mie ayamnya. "Terserah."

Alfian bernafas lega. Segera dia duduk dan menyimpan makanannya di meja. "Makasih."

"Hmm."

"Eh? Tunggu!" Alfian mendekatkan wajahnya pada Amara, sepertinya wajah gadis berkacamata ini tidak asing baginya. "Lo kenal gue nggak?"

Amara memundurkan tubuhnya repleks. "Emang lo siapa?"

"Lo nggak kenal gue? Bukannya dua hari yang lalu kita baru aja kenalan? Semudah itu lo lupa sama gue, hah?"

Amara mengernyitkan dahi. Sejak kapan dia berkenalan dengan lelaki ini? "Maaf, tapi gue nggak ngerasa pernah kenalan sama lo."

"Yaudah deh, mungkin lo lupa," ujar Alfian acuh dan segera menyantap sotonya.

Tak berselang lama, Amira akhirnya datang juga di kantin. Dia menatap Kakaknya yang sedang duduk bersama laki-laki. "Kak Amara tumben banget mau duduk sama cowok selain Gama, siapa ya?" gumam Amira. Dia tidak bisa melihat wajah lelaki itu, karena lelaki itu membelakanginya.

Dengan cepat dia menghampiri Kakaknya. "Kak?"

Amara menoleh mendengar suara Adiknya. "Lama banget sih!"

Amira hanya menyengir dan segera mendudukkan dirinya di samping Kakaknya yang duduk berhadapan dengan lelaki itu.

Amira menoleh pada lelaki itu. Dia terkejut bukan main mengetahui siapa sebenarnya lelaki yang duduk berhadapan dengan kakaknya. "Alfian?!!"

Amara dan Alfian repleks menoleh pada Amira yang sudah menjerit girang.

"Hai, Al?" sapa Amira pada Alfian yang kebingungan.

"Lho? Muka kalian?"

Amira menyengir. "Kita kembar. BTW  lo masih inget gue nggak, Al?"

Alfian mengangguk meski tidak ingat betul nama gadis ini.

Amira tersenyum. Setidaknya Alfian tidak melupakannya begitu saja.

Amara menoleh pada Amira. "Dia siapa?" tanyanya tanpa bersuara.

"Alfian."

"Ha?!" Amara kaget. Bisa-bisanya dia lupa wajah lelaki yang membuatnya sangat rugi satu tahun yang lalu.

"Kenapa?" tanya Alfian pada Amara.

"Gue ke kelas duluan, makanan gue juga udah habis," pamit Amara.

"Yaudah sana, hati-hati ya?" usir Amira halus.

Amara berdecak sambil berjalan. Dasar bucin! Ada Alfian saja, dirinya dilupakan! Untung saja makanannya cepat habis, kalau tidak? Malas sekali dia harus duduk satu meja dengan lelaki itu.

"Ira, kakak lo emang pendiem ya?" tanya Alfian

"Ira? Siapa tuh?"

"Eh? Nama lo kan?" Alfian menatap ragu juga takut. Sudah dia bilang, dia tidak benar-benar ingat nama gadis ini.

"Gue Amira, Al. Kok Ira sih?" Amira mengerucutkan bibirnya kesal.

"Ya ... Ira itu panggilan dari gue yang gue Ambil dari tiga huruf terakhir nama lo."

Amira yang semula kesal kini mengulum bibirnya sendiri menahan senyum.

"Lo keberatan ya gue panggil nama lo Ira?"

Amira langsung menggeleng dengan cepat. "Nggak kok, Al. Gue suka."

"Bagus deh." Alfian tersenyum lega. Untung saja alasan yang dia beri sangat tepat. Kalau gadis itu tahu dia lupa namanya bagaimana?

"Nama lo Amira, terus yang berkacamata itu siapa?" tanya Alfian.

"Amara."

"Mirip banget namanya."

"Ya lo lihat aja muka kita, hampir nggak ada bedannya! Makanya Kak Amara rela buat pake kacamata meskipun matanya nggak kenapa-napa. Males banget dimirip-miripin sama gue katanya."

Alfian terkekeh. "Bukannya mirip ya?"

Amira tertawa. "Aneh emang kakak gue."

"Gue boleh minta nomor lo nggak?" Amira menyodorkan ponselnya ke hadapan Alfian.

"Boleh." Alfian merima ponselnya Amira dan mengetikan sesuatu disana. Setelah selesai, dia mengembalikan lagi pada pemiliknya.

"Makasih ya, Al." Amira tersenyum berusaha tetap kalem, meskipun dalam hatinya sudah besorak kegirangan.




LonelyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang