33

43 7 0
                                    

Pagi ini, untuk pertama kalinya Evania membawa mobil sendiri ke sekolah. Dan karena masih takut, gadis itu meminta Adara ikut berangkat bersamanya.

Tentunya Adara senang bukan main. Karena memang, akhir-akhir ini mereka berdua sudah tidak lagi berangkat dan pulang bersama.

Tapi, berbeda dengan Gama. Lelaki itu malah ngambek karena Adara tidak berangkat bersamanya.

"Lo berangkat sendiri dulu lah, Gam. Nggak kasihan apa sama gue? Gue masih belum lancar tahu jalanin mobilnya." Evania berusaha membujuk. Gadis itu memelas, semoga saja Gama ini punya hati dan mengizinkan Adara bersamanya.

"Nggak," tolaknya cepat.

Adara dan Evania menghela nafasnya.

"Gam, ya? Paling dalam satu minggu aja, please?" Adara menunjukan tatapan memohonnya.

Gama menggeleng. "Nggak. Meski untuk satu hari pun gue nggak akan kasih izin!"

"Come on lah, Gam. Emangnya kenapa sih?" Evania berdecak.

"Lo yang kenapa? Lo bisa sampai kesini sendirikan, kenapa ke sekolah nggak bisa?" Gama balik bertanya.

"Ya—" Evania menjeda ucapannya. Dia bingung ingin mengatakan apa atau misalnya alasan yang tepat untuk meyakinkan Gama. Karena sebenarnya, dia sudah bisa mengendarai mobilnya sendiri. Hanya saja, untuk saat ini dia ingin sekali berangkat bersama Adara.

"Apa?" Gama menaikkan sebelah alisnya. Dugaannya benar, itu hanya alasan Evania saja. Buktinya Evania bisa sampai ke rumahnya Adara tanpa kendala apapun kan?

"Yaudah gini deh—" Adara menatap Gama dan Evania. "Kita berangkat bareng pake mobilnya Evania, terus buat motor lo, Gam. Lo titip di rumah gue. Gimana? Cepet! kita bisa telat kalau banyak debat."

"Yaudah," ucap Gama dan Evania barengan.

Adara bernafas lega. Setidaknya ini lebih baik. Dan untuk besok-besok, mungkin Adara akan membujuk Gama agar nanti dia bisa berangkat bersama dengan Evania untuk beberapa hari kedepan.

***

Alfian mempertajam penglihatannya. Apa dia tidak salah lihat? Evania membawa mobil sendiri?

Setelah melihat Evania, Adara dan Gama keluar dari mobil dan berjalan menuju ke kelas mereka, Alfian segera berlari menyusulnya.

"Hai." Alfian menepuk pundak Evania.

Evania menoleh begitupun dua orang di depannya.

"Hm?" balas Evania malas.

Adara tersenyum. "Hai, Al."

Alfian balas tersenyum. "Kalian nggak takut apa?" tanyanya.

"Takut apa?" Adara mengernyit.

"Ya ... Dibawa sama orang yang baru bisa nyetir."

"Oh." Adara mengangguk mengerti. Ternyata Alfian sedang mengejek Evania. "Takut sih, tapi kasihan juga kalau yang nyetirnya kenapa-kenapa sendiri."

Gama dan Alfian tertawa. "Setia kawan lo, Dar."

"Pasti dong." Adara merangkul Evania yang mukanya menahan kesal saat ini. "Iya kan, Va?"

"Hm," balas Evania datar. Dan segera pergi dari sana.

Adara hanya terkekeh melihat Evania pergi begitu saja.

"Yaudah gue ke kelas dulu ya? bye,"  pamit Alfian sambil melambaikan tangannya.

Adara dan Gama mengangguk. Mereka juga melanjutkan lagi langkahnya menuju ke kelas mereka.

"Gam?"

"Kenapa, Dar?"

"Semenjak Alfian mau jadiin Evania pacarnya, entah kenapa gue ngerasa Eva berubah ya? Dia kayak sering kesel gitu sama Alfian."

"Evania emang kayak gitu kan dari dulu?"

Adara menggeleng yakin. "Nggak, Gam. Mungkin Evania masih ngerasa sakit hati sama Alfian yang seenaknya aja mau jadiin dia pacarnya disaat perasannya masih buat gue, iya kan?"

"Bisa aja. Tapi, setelah gue lihat-lihat, Alfian mulai suka beneran deh sama Evania."

"Ya gue juga lihat gitu sih, syukurlah kalau iya." Adara menatap Gama. "Hubungan kita nggak ada yang akan ganggu berarti."

"Jelas lah nggak boleh. Meskipun ada, gue nggak bakal biarin hal itu terjadi dengan mudah. Enak aja, gue dapetin lo susah-susah mau di ganggu gitu aja."

Adara tertawa pelan.

Gama mengacak rambut Adara dan menciumnya singkat . "Pipitku ini."

***

Amara mengepal tangannya kuat-kuat. Hal yang baru dilihatnya benar-benar membuat hatinya panas.

Adara? Gadis itu sudah merebut Gama dari hidupnya. Ya ... Meskipun dirinya hanya seorang teman bagi Gama, tetapi dalam hidupnya Gama adalah segalanya.

"Kenapa lo?" Amira yang berdiri dibelakang Amara merasa heran melihat tingkah Kakaknya.

Beberapa detik yang lalu Gama dan Adara melawati mereka dengan tingkah romantisnya. Apa Kakaknya ini cemburu? Memang sih, dia ini sedikit curiga pada Kakaknya dari dulu. Karena hanya pada Gama Kakaknya ini mau berbicara dengan lawan jenisnya.

Amara menggeleng dan segera masuk kedalam kelasnya, dikelas IPA X1 3.

Amira berdecak ditinggal begitu saja oleh sang Kakak. Namun, ketika hendak menyusul, niat itu dia urungkan karena merasakan sakit diperutnya.

Untuk saat seperti inilah dia selalu merutukki hobbynya yang suka sekali makan makanan pedas. Kalau sudah mules begini? Kan malu kalau harus buang air besar di toliet sekolah.

Dengan cepat Amira berlari menuju toilet. Sangat-sangat menyebalkan hal ini. Sebentar lagi bel masuk berbunyi dan dia ini tidak mungkin sebentar kalau urusan di kamar mandi.

Brukh ...

Punggung seseorang lali-laki baru saja ditabraknya. Alhasil, Amira jatuh kebelakang karena itu.

Inilah akibatnya jika jalan tidak lihat-lihat, Amira benci ini. Harusnya, dia bisa berhati-hati.

"Shit!" umpatnya kesal. Sudah mules, jatuh, apa lagi yang akan menimpanya?

Laki-laki yang ditabraknya tadi berbalik. Menjulurkan tanganya ingin membantu.

Amira mendonggak untuk melihat orang yang ditabraknya. "Al–Alfian k–kan?" katanya terbata.

"Iya, gue Alfian. Lo kenal gue?"

Amira menerima uluran tangan Alfian dengan gembira. "Kenal lah, masa nggak kenal sama calon pacar."

"Ha?"

"N-nggak kok." Amira hanya menyengir. Sudah hampir satu minggu dia sekolah disini, dan dia baru ketemu Alfian hari ini? Takdir memang suka ngulur-ngulur waktu terus ya untuk mempertemukan.

"Kenalin, gue Amira Elsa Zipora. Pindahan dari bandung, dan gue baru sekolah disini beberapa hari yang lalu."

Alfian mengangguk. "Pantes, gue kayak nggak pernah lihat lo. Tapi, gue nggak perlu ngenalin diri kan?"

"Harus lah."

"Buat apa, katanya udah kenal gue?"

"Ya nggak apa-apa."

"Yaudah. Gue Alfian Bima Aditama, anak IPS 1."

Amira mengangguk sambil tersenyum tipis. Singkat, tapi ya sudah.

"Gue duluan ya?" pamit Alfian.

Amira hendak melarang namun sakit perutnya kembali dia rasakan. Menyebalkan! "Iya."

Setelah Alfian pergi, dia juga segera melesat ke kamar mandi. Bisa bahaya, ini sudah di ujung. Repot jika dia keluar sendiri.



LonelyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang