47

35 6 1
                                    

"Makasih, Al. Infonya." ucap Adara tanpa semangat.

"Sama-sama. Sorry ya, Dar. Mungkin yang gue bilang barusan bukan hal yang lo harapkan. Tenang aja, ntar gue bantuin lo supaya baikan sama Gama."

"Nggak perlu, Al. Ini urusan hubungan gue."

"Nggak ada salahnya kali gue bantuin kesalahpahaman kalian."

"Hmm ... Iya deh, Makasih."

"Oke, gue tutup ya?"

"Iya."

Setelah sambungan terputus, Adara hanya terdiam memikirkan kenapa Gama harus berbohong kepadanya. Jika ingin mengantar-jemput Amara, ya bilang saja. Jangan bikin alasan yang mengada-ngada. Jujur, Adara kecewa berat sekarang.

Kenapa secapat itu sih kejadiannya sampai-sampai Adara tidak memahami semuanya. Kenapa dengan mudah Gama menjauhinya, dan Adara tidak tahu sama sekali letak salahnya dimana.

Ayolah, mengapa jadi rumit seperti ini?

Adara memegang kepalanya frustasi. "Akh! Ngeselin banget si, Gam. Gue nggak tahan lo cuekkin gue gini!"

"Gue kangen tahu!"

"Jangan gini, jangan deket-deket Amara lagi!"

"Gue cemburu!"

"Kenapa nggak ngerti sih?!"

Adara berteriak di dalam kamar. Dia tidak peduli jika ada yang terganggu dengan ini, dia hanya ingin melepas semua kegundahannya sekarang.

Detik selanjutnya ada terisak, dia menangis memeluk boneka panda disampingnya.

"Pah, laki-laki emang kayak gini ya? Suka ngejauhin tiba-tiba, terus nanti cari cewek lain?" ujar Adara seolah sedang mengobrol dengan Papa nya.

Adara menggeleng tidak setuju. Selama ini dia tidak melihat Papa nya melakukan hal itu.

"Mah, kalau Papa lagi marah ke Mama, yang dilakuin Mama biar Papa luluh lagi apa?" Sekarang Adara seolah berbicara dengan Mama nya.

"Adara nggak tahu harus lakuin apa, Adara pengen cepet-cepet baikan terus kayak dulu lagi."

"Bantu Adara ya?"

***

Pagi ini Adara diantar pergi ke sekolah oleh Om nya lagi. Dan seperti yang Adara lihat sekarang ini, Gama berangkat bersama dengan Amara.

Tanpa memperdulikan Adara, Amara memeluk pinggang Gama mesra. Kemudian setelah Amara turun, Gama membantu melepas helm yang ada dikepala Amara. Kemudian sedikit membenarkan tataan rambut gadis itu juga.

Adara menghela nafas kemudian berjalan ke kelasnya cepat-cepat.

Setelah sampai dikelas. Adara menghempaskan tubuhnya kasar mendudukki bangkunya. Dia kesal!

"Kenapa lo tega sih, Gam? Nggak gini caranya kali kalau lo marahan sama gue," gumam Adara.

"Sebenarnya gue salah apa? Apa sebesar itu sampai lo nggak mau maafin gue?"

Adara merasa air matanya ingin jatuh, dia lalu menenggelamkan wajahnya pada tangan yang dia lipat di atas meja.

Adara menangis, berusaha mengurangi rasa sakit hatinya.

Gama sampai di kelas, yang dia lihat hanya ada Adara disini.

Dia ingin kembali lagi ke luar, setidaknya sampai bel masuk berbunyi. Namun dia mendengar suara isakan.

Gama memperhatikan Adara. Suara isakannya berasal dari dia. Terlihat jelas karena bahu gadis itu juga sedikit bergetar.

Gama memejamkan matanya. Ikut merasakan sakit melihat orang yang dicintainya pasti menangis karena ulahnya.

Gama melangkah pelan menghampiri Adara. Baru saja beberapa langkah, Amara lalu mencekal tangannya.

"Anterin aku, yuk? Aku mau ke perpus cari buku. Tapi takut kalau sendiri."

Gama menatap ragu

"Ayo lah, Gam."

Gama menghela nafas pelan lalu mengangguk singkat.

"Nah gitu dong sayang," ujar Amara. Lalu dengan sengaja mengeraskan suaranya.

Gama segera pergi dari sana dengan menggandeng tangan Amara. Dan Gama pikir Adara tidak mendengar kata 'sayang' yang Amara bilang, ternyata salah.

Adara mengangkat kepalanya. Pendengarannya masih normal kan? Adara berlari keluar, dari kejauhan Adara memang melihat Gama dan Amara yang sedang berjalan sambil bergandengan.

Berarti benar, kata sayang yang Amara ucap, memang ditujukan untuk Gama.

Adara menutup mulutnya tak percaya. Dia menangis kembali tanpa sadar. Beberapa orang yang memang sedang berada diluar kelas melihat itu, tapi tidak ada yang memperdulikannya.

Mungkin mereka menganggap Adara yang bersalah dalam hal ini. Dipikiran mereka, mungkin saja Gama sedang marah soal kemarin. Jadi apa soal Om-om itu pacarnya Adara bisa dibenarkan? Mereka mempunyai asumsi sendiri!

***

Bel istirahat berbunyi, Adara memutuskan untuk berdiam dikelas saja. Dia tidak nafsu makan, tapi sebenarnya dia sudah sangat kelaparan.

Amira dan Alfian memasuki kelas Adara. Mereka berdua langsung saja duduk dibangku yang dekat dengan Adara.

"Hai, Dar?" sapa Alfian.

"Hm," balas Adara malas.

Amira menatap Adara dengan perasaan tak enak. "Dar?"

Adara mengangkat alisnya tanpa menoleh.

"Gue—" Amira membasahi sekilas bibirnya. "—Gue minta maaf soal Amara. Gue nggak tahu lo tahu soal ini apa nggak, tapi Amara bilang, dia udah jadian sama Gama."

Alfian menangguk membenarkan. "Bahkan tanpa malunya mereka panggil sayang-sayangan di tempat umum kayak gini."

Amira meraih tangan Adara. "Dar?"

Adara meneteskan kembali air matanya tanpa sadar. "Gue tahu, Mir. Kenapa Gama tega, sih?"

Amira memeluk Adara menenangkan. "Bukan salah Gama, gue yakin ini semua karena Amara. Dia terlihat berbeda akhir-akhir ini. Lo jangan benci Gama ya? Gue yakin sampai detik inipun cinta Gama pasti masih buat lo."

"Kita nggak tahu yang ada dihati Gama, Mir. Lo bisa aja bilang kayak gitu, tapi buktinya Gama selingkuhin gue kan?" Adara makin terisak.

Alfian membantu menenangkan dengan mengusap-usap punggung Adara.

"Dar, masalah lo sama Gama apa sih awalnya?"  tanya Alfian.

"Gue nggak tahu, Al."

"Lo nggak berusaha cari tahu?"

"Gue bingung, gue udah mikir soal letak kesalahan gue, tapi gue tetep nggak tahu."

Alfian menatap Adara prihatin. "Tenang aja, gue sama Amira pasti bantu. Lo tenangin dulu, mungkin Gama cuma main-main soal hubungannya dengan Amara."

Adara mengangguk samar. Dia terus saja menangis karena air mata itu tidak bisa berhenti jatuh. Padahal dia sudah lelah, hidungnya terlihat sangat merah saat ini. Keadaan Adara kacau, apalagi hatinya!


LonelyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang