Pagi ini, semua murid di kelasnya Adara dibuat pusing oleh tingkahnya Adinda. Entahlah, gadis itu terus saja menangis dari awal dia tiba.
"Kamu kenapa, Adin?" tanya Haura cemas.
Adinda menggeleng lemah.
"Kalau ada apa-apa cerita, Din. Aku siap dengerin kok."
Adinda menggeleng lagi. Terus saja begitu, sampai-sampai semua orang memilih untuk bodo amat. Salah sendiri lagian!
Evania berdecak sambil memperhatikan Adinda dengan raut wajah yang tidak santai. "Mau nya apa sih, dia? Ditanya, nggak mau jawab. Nggak ditanya, entar mikirnya kita nggak perduli lagi sama dia."
Adara mengangguk membenarkan.
"Dar?" Evania menoleh pada Adara. Dia sedikit merasa ada yang janggal dari sikap Adinda.
"Kenapa?"
"Jangan-jangan ... Dia nangis karena denger kabar lo jadian?"
"Ha?"
"Kemarin dia kan nggak sekolah, makanya baru tahu sekarang soal kabar lo jadian. Gue sempet nguping tadi sih, waktu si Almetta ngasih tahu dia."
"Serius?"
"Iya. Setelah denger itu, si Adinda langsung lari sambil nangis-nangis gitu, Dar. Kasihan sih gue lihatnya."
"Lo denger di mana ya, Va? Adinda kan udah nangis dari sebelum dia masuk ke kelas, sedangkan gue kan dari tadi di kelas?"
"Di parkiran."
"Oh. Kayaknya emang bener deh, Va." Adara mengangguk sekilas lantas menoleh pada Adinda. Sedikit merasa kasihan tentunya. Ya ... Meskipun dia belum tahu rasanya bagaimana di posisi dia, tapi dia yakin rasanya pasti sakit. Lihat saja, Adinda bahkan tidak bisa berkata-kata apa lagi.
"Lucu ya, Cinta. Dia bisa buat orang lain bahagia, tetapi bisa juga buat orang lain terluka," gumam Adara pelan.
***
Jam kedua adalah pelajaran olahraga. Ah senang sekali, pikir Adara. Setelah tadi tenaganya habis karena mikir hebat saat pelajaran Kimia, sekarang dia bisa menchargernya dengan berolahraga untuk mengembalikan semangatnya.
Semuanya sudah berbaris di lapang dengan rapi. Pemanasan dimulai dengan Aldo sebagai pemimpin.
Setelah beberapa menit melakukan pemanasan, mereka semua mulai melakukan olahraga intinya. Minggu ini, materinya adalah bermain sepak bola.
Dalam permainan sepak bola ini, murid di kelasnya Adara di bagi menjadi empat Tim, dua Tim laki-laki, dan dua Tim perempuan.
Tim pertama laki-laki, dipimpin oleh Aldo. Lalu Tim laki-laki yang kedua dipimpin oleh Anjar. Dan untuk Tim perempuan, Tim pertama dipimpin oleh Adara. Lalu Tim yang keduanya dipimpin oleh Adinda.
Permainan lalu dimulai dengan Tim laki-laki yang bermain terlebih dahulu.
Para perempuan tak cuma diam menonton, mereka berteriak-teriak memberi dukungan membuat suasana makin tambah hidup. Seperti sedang bertanding beneran saja.
Adara mendukung Tim yang dipimpin oleh Aldo, ya ... Karena ada Gama tentunya. "Ayo, Gam. Lo harus menang!" teriak Adara kencang.
Di tengah lapang, Gama tersenyum dan mencungkan jari jempolnya pada Adara.
Adinda yang melihatnya hanya bisa membisu. Hatinya seperti teriris-iris oleh pisau. Sangat perih. Dia bahkan hampir saja menangis lagi.
Dengan perasaan yang hancur, Adinda menatap Gama dengan sorot mata yang tajam. Mengapa Gama bisa mendapatkan Adara yang jelas-jelas dari dulu tidak mencintainya? Sedangkan dia tidak! Bukankah Gama juga tidak pernah mencintai dirinya? Mengapa sih harus Gama yang diberi bahagia, sedangkan lukanya diberikan padanya semua.
Dari dulu, apa kurang semua perjuangannya? Dan ... Berapa kali sih dia harus mendapat hinaan hanya untuk mengharapkan cintanya Gama? Berapa kali juga sih dia harus sakit hati karena Gama juga tidak pernah perduli padanya?
Jujur, dalam lubuk hatinya Adinda tidak pernah mau semarah dan sekecewa ini pada Adara. Tetapi dia juga tidak bisa menahannya, untuk kali ini hatinya terlanjur sakit hati.
***
Beberapa menit berlalu, Tim laki-laki telah selesai bermain. Tidak ada yang menang karena point mereka sama. Tapi, ya sudahlah. Inikan hanya olahraga, bukan ajang perlombaan yang memang diharuskan ada yang menang dan yang kalah.
Sekarang giliran Tim perempuan untuk bermain. Para laki-lakipun sudah siap bergantian untuk memberikam dukungan dipinggir lapangan.
"Semangat, Dar!" Gama mengepalkan tangannya ke atas.
"Pasti!" Adara tersenyum pada Gama. Dengan sedikit rasa sombong dia berjalan ketengah lapang.
"Yang serius ya, Dar. Gue beneran mau menang, gue mau ngalahin si Almetta." Evania berbisik pada Adara.
"Tenang aja, soal kayak gini mah gue jagonya, Va!"
"Iyain aja, deh."
Adara hanya terkekeh.
***
"Huuh. Capek banget, gue." Adara menegak habis minuman yang baru dibelinkan Gama tadi di kantin.
Setelah berganti pakaian, Adara dan Evania langsung menuju ke kelas karena merasa sangat lelah. Hanya untuk membeli minuman ke kantin saja rasanya tidak sanggup, makanya dengan sangat terpaksa Adara menyuruh Gama untuk membelikannya.
"Baru kali ini gue olahraga secapek ini," keluh Evania.
"Iya, ini kayak lagi perang aja." Adara menambahkan.
"Parah sih, si Adinda kalau lagi patah hati tenaganya tambah dua kali lipat, ya? Si Almetta juga, nggak mau ngalah sedikitpun lagi!" Evania menggelengkan kepalanya heran.
Adara mengangguk. Kepalanya terdunduk menatap sepatunya dengan lurus. Mengingat bagaimana kejadian tadi ketika Adinda berusaha mengalahkannya di lapangan membuatnya merasa cemas. Bagaimana jika gadis itu mulai membencinya sekarang? Tapi, itu bukan salahnya kan? Gama sendiri yang tidak mencintainya lalu mengapa dia yang harus disalahkan dalam hal ini?
"Udah, Dar. Jangan dipikirin," ujar Gama yang bisa sedikit menyimpulkan apa yang sedang dipikirkan oleh Adara.
"Adinda itu baik, dia juga pasti tahu kalau cinta itu nggak bisa dipaksakan. Dia cuman kaget aja, secara yang dia tahu kan kalau selama ini lo nggak cinta sama gue, terus sekarang lo tiba-tiba aja jadian sama gue. Wajar, Dar. Yang kaget bukan Adinda aja, se kelas juga keget dengernya," lanjut Gama.
Adara menoleh pada Gama. "Iya ,Gam."
Gama tersenyum, tangannya meraih tangan Adara yang kemudian dia usap-usap secara lembut. "Jangan pernah mau tinggalin gue hanya karena nggak enak sama seseorang. Dan itu berlaku juga bagi gue, Dar. Sekuat-kuatnya kita berdua wajib pertahanin hubungan ini sama-sama."
Adara tersenyum lantas mengangguk.
Evania menghela nafas kasar. "Kapan gue punya pacar?"
Gama dan Adara yang mendengarnya langsung menoleh pada Evania.
"Sekarang juga bisa, Va. Noh sama Alfian, lumayan kok dia." Gama menatap Evania dengan senyum jahil diwajahnya.
"Alfian?" Evania memutar bola matanya malas. "Nggak ada yang lain apa selain dia?"
"Ya gimana lagi, Va. Yang suka sama lo kan cuma dia aja." Gama terkekeh.
"Enak aja, emangnya gue nggak laku apa?!" Evania memajukan bibirnya karena kesal.
"Se tahu gue, bukan nya iya ya, Va?" Gama mengejek lagi.
Evania hanya berdecak. Malas meladeni karena memang itu kenyataanya. Dia juga heran, dia ini punya wajah yang lumayan. Tetapi, sampai sekarang belum pernah dia mendengar ada laki-laki yang mencintainya selain Papa nya dan ... Alfian? "Ck."
Adara tertawa. "Maaf ya, Va. Gama emang suka jujur orangnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lonely
Teen Fiction[TAMAT] Sahabat, teman, kasih sayang, kekayaan, dan kebahagiaan. Semuanya didapatkan oleh seorang Adara Adsilla. Hingga perlahan-lahan semuanya telah berubah, berbanding balik dari sebelumnya. Adara merasa sendiri didunia ini. Dia benar-benar kesep...