Adara dan Alfian kini sudah sampai ditempat tujuan nya. Sangat sepi seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan di sini.
Setahu Adara, rumah kosong ini sudah di tinggal oleh Pemiliknya sekitar sembilan tahun lalu. Adara mengetahui hal itu dari Polisi yang bercerita kemarin malam.
Dan selama sembilan tahun ini, Polisi juga bercerita pada Adara, bahwa ditempat ini memang sudah banyak sekali kasus pembunuhan. Ya ... Kira-kira tiga atau dua bulan sekali pasti ada saja yang melaporkan.
Bahkan ditempat ini kasusnya bukan tentang pembunuhan saja, tindak kriminal lainnya juga ada, seperti mabuk-mabukkan, narkotika, bahkan pemerkosaan.
Jadi, bukan tidak salah Polisi menganggap kasus Mama nya juga hal yang wajar.
Tetapi Adara masih tidak percaya. Dia yakin, pembunuh Mama nya bukan orang gila yang Polisi tangkap kemarin. Bukan tidak percaya pada Polisi, tetapi melihat kasus Papa nya yang juga mati di bunuh membuat Adara menjadi yakin jika yang membunuh orang tuanya adalah orang yang mempunyai dendam pada keluarganya.
Dan pelaku itu pasti sadar sepenuhnya saat membunuh orang tuanya. Bukan seperti orang yang nggak waras yang di maksud sama Polisi.
"Dar, gue kok jadi merinding sih," ujar Alfian, takut.
"Payah!
"Bukan nya gitu, Dar. Bahaya aja, siapa tahu didalam sana ada penjahat juga."
"Kayak nya nggak mungkin deh, soalnya kemarin-kemarin kan tempat ini udah diselidiki Polisi. Penjahat-penjahat atau apa, pasti sembunyi dulu saat ini."
"Terus kita ngapain ke sini kalau nggak ada penjahatnya? Bukan nya kita mau tangkap pelakunya, ya?"
"Kita ke sini cuman mau cari bukti buat ngungkap pelakunya aja, Al. Sebenarnya–" Adara menatap Alfian ragu.
"Kenapa?"
"Polisi udah nagkap pelakunya kemarin malam. Namun, entah kenapa gue sama sekali nggak percaya. Maka nya gue selidiki lagi, meskipun Polisi udah nutup kasus ini." cerita Adara.
"Lo nggak percaya sama Polisi, Dar?" Alfian mengernyit heran.
"Bukan nya gitu. Waktu kemarin Polisi kasih kabar kalau pelakunya udah ke tangkep, gue emang bener-bener seneng banget. Tapi pas gue lihat langsung muka pelakunya, gue sama sekali nggak yakin kalau orang itu yang bunuh Mama."
"Alasan yang buat lo nggak yakin apa?"
"Perasaan gue masih nggak tenang, Al. Gue yakin, pembunuh Mama itu pasti punya dendam sama keluarga gue. Dan orang yang Polisi kasih lihat ke gue itu, sama sekali nggak kenal gue atau apa, maka nya gue ragu."
"Oh, gitu." Alfian mengangguk mengerti.
"Yaudah, masuk yuk!" ajak Adara.
Alfian mengangguk. Dia berjalan duluan membiarkan Adara berjalan setelah nya. Jadi, jika terjadi sesuatu, pasti dia duluan yang terkena.
Setelah masuk ke dalam rumah, Adara dan Alfian tercengang. Rumah ini kosong?
Bagaimana bisa?!
Adara lalu melihat satu kamar dan masuk ke dalamnya. Tetapi Nihil, tidak ada apapun juga.
Alfian juga berusaha untuk mencari sesuatu di dalam kamar mandi yang ada dibelakang. Tetapi hasil nya sama. Tidak ada!
Alfian berjalan menghampiri Adara yang sudah keluar dari dalam kamar tadi. "Ayo pulang, Dar. Nggak ada apa-apa di sini."
Adara mengela nafas. Se ingat dia, waktu Mama nya di bunuh, tempat ini tidak se kosong sekarang.
Benar-benar tidak ada apa-apa lagi. Kursi, meja, dan ... Barang-barang lainnya yang dulu ada sudah tidak ada. Hanya kosong.
"Ayo, Al." Adara berjalan lesu keluar dari rumah itu. Percuma saja dia mencari tahu sesuatu di rumah itu, dia tidak akan menemukan bukti apapun lagi. Apa sekarang Adara harus percaya pada Polisi bahwa pelakunya memang orang gila itu? Tetapi kenapa hati nya masih ragu?!
"Sabar ya, Dar. Lo pasti bisa nemuin pelakunya kok, semangat!" Alfian mengepalkan tangannya ke udara.
"Makasih, Al." Adara tersenyum.
***
Adara yang baru pulang, terkejut melihat motor Gama terparkir dihalaman rumahnya.
"Mau apa sih, dia." Adara berdecak.
Setelah menyimpan motornya di bagasi, Adara langsung masuk Ke rumahnya.
"Lho? Gama kok nggak ada?" Adara celinggukan ke setiap sudut ruang tamu nya karena Gama tidak ada.
"Cari apa, Non?" Bi Asih tiba begitu saja dengan membawa dua jus jambu merah ditangannya.
"Emang ada Gama, Bi?"
Bi Asih mengangguk. "Tapi sekarang den Gama nya ada di toilet, sakit perut katanya."
Adara hanya ber-oh-ria. Lalu melangkahkan kaki hendak pergi kamar nya.
"Nanti turun ke bawah ya kalau udah selesai ganti baju nya!" kata Bi Asih ketika Adara baru saja ingin menaiki anak tangga.
Adara menghentikkan langkahnya, lalu berbalik menatap Bi Asih. "Nggak. Oh iya, kalo Gama udah selesai sama urusannya di toilet, suruh pulang aja, Bi!"
"Kok gitu, Non?"
"Adara mau tidur, capek. Tapi terserah kalau emang Gama punya urusannya sama Bibi." Adara kembali melanjutkan langkahnya menuju kamar.
Bi Asih hanya bisa menghela nafas. Sedikit tidak enak juga pada Gama. Namun, dia juga mengerti keadaan Adara yang sedang kecewa.
***
Adara terbangun dari tidur nya. Karena merasa haus, Adara turun ke bawah.
Namun, adanya sosok Gama membuat Adara terkejut. Jadi Gama belum pulang, inikan sudah malam?
"Gam," Adara menghampiri Gama yang tengah duduk di sofa ruang tamunya sambil menonton TV. Mungkin untuk menghilangkan kebosanannya.
"Eh, lo udah bangun, Dar?" Gama nampak senang melihat Adara menghampirinya, apalagi duduk disebelahnya.
"Kenapa lo belum pulang juga?" Adara melirik jam dinding, ternyata sudah pukul sembilan lebih.
"Gue nggak akan pulang sebelum lo maafin gue, Dar."
Adara menghembuskan nafas kasar. "Ya udah, gue maafin lo sekarang dan lo bisa pulang."
"Tapi kalo lo nggak ikhlas, gue tetep nggak mau."
"Gue ikhlas kok, Gam. Gue juga minta maaf sama lo."
"Buat apa lo minta maaf? Lo nggak salah, Dar."
"Ya ... Maaf aja, hanya karena hal sepele gue sampai ngecuekin lo tadi."
Gama mengangguk lantas tersenyum. Sangat, sangat tulus. "Kita balikan, ya?"
"Ha? balikan?" Adara terkejut, sejak kapan mereka pernah pacaran?
Gama menepuk pelan bibirnya karena salah ucap. "Maksud gue, baikan, ya?"
Adara terkekeh. "Oh iya, Gam."
"Makasih, Dar." ucap Gama lalu memeluk Adara.
"Eh?" Adara sedikit terkejut. Namun dia hanya diam. Tidak membalas atau melepaskan pelukan Gama. Seolah raganya memang tidak mau, tetapi hatinya berkata yang sebaliknya.
"Gue sayang sama lo, Dar." ucap Gama, mencium kening Adara lama setelahnya.
"Makasih, Gam."
Gama melepaskan pelukannya, menatap mata Adara dalam. "Lo sayang sama gue, Dar?"
Adara membisu, bibirnya terasa kelu. Sulit sekali dia untuk mengatakan 'iya' Pada Gama.
"Dar?"
"Gue nggak tahu, Gam."
Gama menghembuskan nafas gusar. Sakit sekali hatinya mendengar kata itu. Adara masih bingung dengan perasaanya? Dan hal itu pasti membuat Gama bingung juga.
Maju terus karena ada satu kemungkinan yang siapa tahu Adara memang benar menyukainya?
Atau mundur? Karena satu kemungkinan lagi, yaitu tidak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lonely
Teen Fiction[TAMAT] Sahabat, teman, kasih sayang, kekayaan, dan kebahagiaan. Semuanya didapatkan oleh seorang Adara Adsilla. Hingga perlahan-lahan semuanya telah berubah, berbanding balik dari sebelumnya. Adara merasa sendiri didunia ini. Dia benar-benar kesep...