51

35 7 0
                                    

"Pelaku yang udah bunuh Tante Elina itu adalah Mama Wulan dan gue."

"A-Apa?" Adara berdiri, dengan perlahan dia berjalan mendekat ke arah Evania. "Coba lo ulang lagi, Va. Kalimat barusan."

"Gue yang udah bunuh Mama lo!" seru Evania berteriak.

Deg.

Tubuh Adara bergetar. "Ke-Kenapa, Va?"

"Karena gue benci lihat fakta kalau lo masih punya Mama sedangkan gue nggak!"

Adara menarik nafasnya. "Tapi bukannya lo juga udah balas dendam dengan bunuh Papa gue?"

Evania terkekeh. "Nggak cukup, Dar! Kalau mau, gue juga bisa bunuh lo."

"Se benci itu?"

"Lebih dari itu."

Adara tak bisa menghentikkan air matanya turun. Fakta-fakta yang baru diketahui dia sekarang belum mampu dia terima. Hal ini jauh lebih menyakitkan dari hal yang dia alami kemarin.

"Va? Gu-Gue ma-masih nggak percaya se-sebenarnya," ujar Adara sambil menangis tersedu-sedu. "Ta-Tapi, gue inget satu kejadian yang bi-bisa buat gue percaya. Jadi, wa-waktu itu yang lo bilang lo temuin ma-mayat Mama, bu-bukan karena lo nggak sengaja lewat tempat itu? Ta-Tapi, karena lo memang ada disitu dan rencanain semuanya. Gu-Gue bodoh, Va. Gue percaya sama kebohongan lo waktu itu," lanjut Adara makin terisak.

Evania menyentil kening Adara. "Bagus kalau lo udah sadar kalau selama ini lo bodoh. Dan asal lo tahu, semua hal buruk yang lo alami selama ini, mungkin delapan puluh persennya adalah ulah gue."

"Kenapa lo tega?"

"Ssstt." Evania menempelkan telunjuknya di bibir Adara. "Gue lupa bilang satu hal lagi. Sebenarnya, kecelakaan lo waktu itu juga terjadi karena Mama Wulan dan gue."

Evania tersenyum kemudian menepuk-nepuk bahu Adara. "Maaf ya. Mungkin yang gue perbuat memang keterlaluan. Tapi, asal lo tahu kalau pembalasan itu lebih kejam, Dar."

Adara memejamkan matanya, dia berusaha meredakan sesak yang menumpuk di dalam hatinya. Namun tidak bisa! Dia merasa gejolak kemarahannya muncul, Adara mengepalkan tanganya kuat-kuat. Kemudian ...

Plakk.

Satu tamparan keras mendarat mulus di pipi Evania. Adara lalu pergi keluar kamar mandi sambil berlari.

Amara yang dari tadi hanya memperhatikan menggeleng tak percaya. Benar! Dia tidak percaya pada sikap Evania yang begitu kejam ternyata.

Sahabat sendiri saja tega dia khianati!

"Va?"

"Gue harap lo tutup mulut!"

"Tapi—"

"Kalau sampai gue denger ada yang ngomongin gue seorang pembunuh, gue juga nggak akan ragu buat bunuh lo!" Evania menatap tajam pada Amara. "Dan ... Gama juga nggak boleh tahu soal ini kalau lo masih mau jalanin hubungan bareng dia."

"Lo ngancam gue?" tanya Amara menantang.

"Bisa dibilang begitu." Evania tersenyum kemudian berlalu pergi.

Amara berdecak. Sekarang dia jadi kebawa-bawa! Berani sekali Evania ini! Dasar psycho!

***

Setelah keluar dari kamar mandi, tak lama dari itu bel masuk berbunyi. Adara merasa sudah tak semangat lagi untuk belajar dan kemudian memutuskan untuk izin pulang.

Setelah pamit pada guru piket dengan alasan sakit, Adara akhirnya bisa dibiarkan pulang. Tidak ada tanda-tanda sakit seperti panas memang, namun melihat kondisi Adara yang sangat kacau mungkin membuat guru piket itu sedikit kasihan.

Adara memberhentikan mobilnya tepat di jalanan sepi—tempat dia kecelakaan waktu itu.  Adara kemudian turun, lalu duduk lesehan di jalan, di depan mobilnya.

Adara menutup kedua telinganya dan kembali menangis. Perkataan-perkataan Evania tadi masih tengiang-ngiang dengan jelas.

"Dia merebut orang yang paling gue sayang di dunia ini, Mar."

"Papa nya dia, Om yuda itu ... Udah bunuh Mama."

"Tepat seminggu Mama gue meninggal, Papa gue akhirnya bunuh Papa lo!"

"Gue yang udah bunuh Mama lo!"

"Karena gue benci lihat fakta kalau lo masih punya Mama sedangkan gue nggak!"

"Maaf ya. Mungkin yang gue perbuat memang keterlaluan. Tapi, asal lo tahu kalau pembalasan itu lebih kejam, Dar."

"Kenapa harus kayak gini Tuhan? Kenapa hidup Adara seperti dipermainkan sekarang? Adara diberi kebahagiaan dengan dihadirkannya sahabat untuk selalu menemani Adara, tapi itu hanya untuk sementara aja. Karena pada kenyataannya, dia yang selama ini buat Adara menderita!" ujar Adara dengan menatap langit.

"Kenapa orang yang Adara kira baik, justru jauh dari kata itu?"

"Kenapa sahabat Adara sendiri tega bunuh orang tua Adara?"

"Kenapa?!"

"Terlalu berlebihan kan pembalasan Evania?"

"Adara yakin, waktu itu Papa pasti nggak sengaja."

"Tuhan juga tahu, kan? Papa nya Adara kan orang baik, dia nggak mungkin tega bunuh orang dengan sengaja."

"Tapi kenapa Papa harus mati dengan cara yang hina? Dengan cara dibunuh?"

"Papa Adara bukan pembunuh, itu cuma kecelakaan aja. Adara yakin! Sangat, sangatttt yakin!"

"Tapi kenapa Evania sampai segitu bencinya? Papa sama Mama—"

Adara menjeda ucapannya. Air matanya turun lebih deras dari yang tadi-tadi.

"—Papa sama Mama sampai harus dibunuh segala."

"Evania kenapa lo jahat sama gue?"

"Kenapa Papa lo tega bunuh Papa gue?"

"Dan lo ... Gue masih nggak percaya kalau lo adalah pelaku pembunuh Mama, Va."

"Dan Tante Wulan? Dia itu temennya Papa, tapi dia malah dukung keluarga lo dan ikut terlibat atas apa yang terjadi."

"Akhhh. Gue benci nerima takdir ini!" teriak Adara dengan menjambak sendiri rambutnya dengan kedua tangan.

"Gue benci lo, Evania!

"Gue benci semuanya!"

"Aakkhhh!!!"

Adara menundukkan kepalanya sambil menetralkan deru nafasnya yang memburu.

"Kenapa? katanya lagi dengan suara parau.

"Kenapa semua orang yang Adara sayang harus pergi?"

"Kenapa mereka semua menyakiti?"

"Kenapa mereka malah meninggalkan Adara sendiri?"

"Mama, Papa ... Adara nggak bisa hidup seperti ini."

"Terlalu sakit untuk nerima kenyataan ini."
















LonelyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang