29

47 5 6
                                    

Pelajaran terakhir telah selesai. Gama dan Adara sudah bersiap hendak pulang. Namun, saat mereka pergi dengan menaiki motor Gama hendak keluar gerbang sekolah, Alfian menghadang jalannya tiba-tiba. Gama terkejut bukan main lalu segera mengerem motornya dengan kuat.

Tiitt ...

Gama mengerem sangat dalam yang membuat tubuh Adara repleks maju kedepan hingga kepalanya membentur sedikit punggung Gama.

"Aasshh. Sakit," rintih Adara. Dia memegang kepalanya lalu mengusapnya beberapa kali.

"Lo apaansih, Al? Bahaya tahu!" maki Gama pada Alfian.

Alfian mengusap-usap dadanya beberapa kali. "Untung masih selamat."

"Heh! Lo dengar gue nggak sih?" tanya Gama karena Alfian tidak menghiraukannya.

Alfian menatap Gama sambil cengengesan tidak jelas.

"Nggak waras," cibir Adara yang merasa aneh melihat kelakuan Alfian.

"Maaf," ucap Alfian singkat.

"Dih, maaf doang? Kalau lo sampai ke tabrak sama Gama gimana?!" ujar Adara marah.

"Ya maaf, Dar." ucap Alfian memelas.

"Yaudah, lo ada keperluan apa sama kita?" tanya Gama yang tidak ingin membuang waktu lama-lama.

"Oh itu–" Alfian membasahi sekilas bibirnya. "–Kalian berdua, gue denger mau jalan ya? Gue ikut boleh nggak?"

"Nggak," kata Gama cepat.  Enak saja! Niatnya ingin jalan berdua dengan pacar, masa harus diganggu setan? Eh? Maaf, Al. Gama nggak bermaksud.

"Tahu, enak aja ikut-ikut!" sahut Adara yang juga tidak setuju.

Alfian mengerucutkan bibirnya. "Please, ya? Gue janji nggak ganggu. Kalian happy aja sama urusan kalian, gue cuma pengen ikut aja biar bisa ajak Evania juga. Soalnya dia mana mau jalan berdua sama gue, ya, Gam?Dar? Bantu temen kek, bolehkan?"

Adara dan Gama terdiam. Mencerna ulang yang dikatakan Alfian yang sedikit membuat keduanya kebingungan.

"Evania?" Adara menatap Alfian serius. Dia fikir, Alfian ingin ikut bersamanya karena ingin mengganggu waktu berduanya dengan Gama. Tapi, tadi apa katanya? Supaya Evania mau jalan dengannya, Alfian suka sama Evania? What?! Secepat itukah Alfian move on dari dirinya? Tapi, bagus juga sih. Biar sama-sama enak. Alfian jadi tidak merasa cemburu lagi dan dirinya tidak perlu merasa bersalah lagi.

"Iya. Dia jadi ngehindar terus sama gue, gue jadi nggak enak sama dia. Gue udah nyakitin dia, gue pengen minta maaf, tapi masalahnya dia nggak mau ketemu gue. Ngertikan? Gue mohon," pinta Alfian.

"Nyakitin gimana maksudnya?" Adara masih bingung. Setahunya, mereka berdua baik-baik saja.

"Gue ngajak dia jadian, tapi di posisi gue masih sayang sama lo, Dar," jelas Alfian.

"Waahh. Parah sih lo! Tega banget sama Evania. Nggak salah sih kalau Evania marah sama lo," ujar Gama. Dia menggeleng tak percaya.

Adara mengangguk setuju. "Gue nggak nyangka lo sejahat itu, Al. Kalau lo pengen move on dari gue, nggak seharusnya lo jadiin Evania bentuk usahanya."

"Banyak cara lain, Al. Move on  itu nggak harus cepet-cepet. Apalagi kalau dalam usahanya sampai bisa nyakitin perasaan orang lain dulu." lanjut Adara.

"Minta maaf sama Evania, dan kalau misalnya lo pengen bisa suka sama dia, jangan anggap Evania pengalihan perasaan lo yang nggak kesampean ke Adara," usul Gama.

"Lo sendiri yang bilang, kalau dalam mencintai nggak harus di cintai juga kan? Gue pikir, waktu lo bilang gitu, lo bener-bener udah ikhlasin gue, Al. Tahu nya lo masih belum bisa, sampai-sampai lo jadiin Evania usaha buat lupain gue," sahut Adara.

Alfian membisu. Hatinya tersentil. Omongan Adara dan Gama memang benar, dia terlalu egois sepertinya. Hanya memikirkan bagimana dirinya yang harus bisa cepet-cepet move on dari Adara. Tetapi, tidak memikirkan bagaimana perasaan Evania.

Suka atau tidak, yang namanya dijadikan pelampiasan itu nggak enak. Padahal Alfian tahu itu, tetapi mengapa kemarin dia seperti tidak tahu makna itu?

Lalu, mengapa di banyaknya cewek-cewek cantik yang dia kenal, mengapa hanya pada Evania saja dirinya yakin jika suatu saat kalau dirinya berhubungan dengan gadis itu maka proses move on nya pada Adara bisa lebih cepat?

***

Gama pulang ke rumahnya dengan perasaan kecewa, dan itu semua karena Alfian. Gara-gara omongannya, Adara jadi tidak semangat lagi untuk pergi jalan-jalan dan malah menyuruhnya untuk mengantarkanya pulang saja.

Erisca yang melihat muka lesu Gama mengernyitkan dahi. Tumben sekali, pikirnya. Biasanya jika Gama pulang sekolah, dia akan berteriak-teriak sangat kencang seolah sedang tersesat didalam hutan.

"Kamu kenapa, Gam? Di putusin Adara, ya?" tanya Erisca hanya menebak saja.

Gama menatap ibunya sinis. Maksudnya apa coba? Masa baru jadian udah putus? Itu hubungan apa sandal butut?!

"Nggak, Mah. Gama lagi capek aja," jawab Gama.

"Capek kenapa? Capek nerima kenyataan kalau Adara ini cuma pura-pura suka sama kamu?"

Gama berdecak. "Mah? Mama pikir, Adara itu nerima Gama karena terpaksa?"

"Iya."

"Ya nggaklah. Adara itu emang beneraan suka sama Gama, Mah!"

"Masa sih?"

"Dahlah, terserah mau percaya atau nggak. Intinya, Gama nggak pernah maksa Adara buat terima cintanya Gama!"

Erisca tertawa kecil. "Bercanda aja, Gam. Kok marah?"

"Bercandanya kelewatan, Mah. Gama sakit hati, kenapa sih kalian nggak percaya kalau Adara bisa suka sama Gama?"

"Gama itu ganteng, anak baik-baik, humoris, romantis, ya ... Nggak mungkilah nggak ada yang suka! Ya walaupun Adara butuh waktu yang lama buat peka sama perasaanya." lanjut Gama jadi narsis.

Erisca terkekeh. "Narsis banget kamu kayak Papa."

"Enak aja, jangan sama-samain Papa sama Gama, Mah. Jelas, yang lebih segalanya itu pasti cuma Papa!" sahut Dirga dari belakang Gama. Dia baru saja pulang dari kantornya, memang sedikit lebih awal dari jam biasanya.

"Pede banget sih, Pah!" cibir Gama.

"Harus! Percaya diri itu emang penting," ujar Dirga. Dia tersenyum bangga sambil melipatkan tangan didepan dada.

Gama mendelik. "Hati-hati, Pah. Kelewat percaya diri nanti jadi nggak tahu diri."

Erisca tertawa. Lucu sekali keluarga kecilnya ini. Setiap hari, anak dan suaminya itu selalu saja ribut hanya dengan hal yang sepele. Mereka tidak pernah mau mengalah dan malah saling menjatuhkan satu sama lain.

Tetapi dengan itu, Erisca sangat bersyukur. Setidaknya keributan-keributan kecil itu bisa membuat mereka lebih dekat lagi.

Tidak ada yang salah jika masih dalam batas kewajaran. Dan Gama ini bukan anak yang kurang ajar, Erisca tahu betul itu.

LonelyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang