17

63 8 6
                                    

Pagi ini dalam perjalanan ke sekolah Gama sungguh gelisah. Dia sudah mengingkari janji nya untuk menjemput Adara. Hal ini karena dua anak kembar sialan yang memaksa nya berangkat bersama.

Amara yang melihat nya pun sontak tersenyum senang. Saat Gama memberi tahu bahwa dirinya mempunyai janji pada Adara untuk menjemput gadis itu, Amara mempunyai ide jahat dengan memaksa Gama ikut bersama kesekolah. "Rasakan, Adara pasti marah besar sama lo, Gam!" -batin Amara.

"Pak entar didepan belok kanan ya," kata Gama pada sang supir pribadi Amara dan Amira.

Saat pak supir hendak mengangguk mengiyakan, suara Amara membuatnya diam kebingungan.

"Jangan, Pak. Tujuan nya itu kesekolah, kalo belok dulu nanti telat," ujar Amara.

"Baik, Non." Sang sopir mengangguk patuh. Dia melirik diam-diam Gama yang memberenggut kesal. Dia bisa apa memang nya? Mana mungkin dia tidak menuruti majikannya, yang ada saat itu juga di akan kehilangan pekerjaannya.

"Kasihan Adara, Mar. Mobil dia itu ditinggal disekolahan kemarin, kalau gue nggak jemput dia, nanti dia naik apa?" jelas Gama. Jika saja ponsel nya tidak ketinggalan dan salah satu dari dua anak ini meminjamkan ponselnya, mungkin Gama tidak akan terlalu memikirkan hal ini. Dia akan langsung menelpon Adara dan meminta maaf padanya karena tidak jadi menjemputnya. Lalu sekarang keadaan Adara bagaimana, apakah dia masih menunggunya? Jika tidak, itu sungguh baik. Tetapi jika iya, Gama tidak bisa membayangkannya. "Maafin gue, Dar." –batinya berucap.

"Mobil dia itu nggak cuman satu kan, Gam? Santai aja kenapa sih, lagian belum tentu juga Adara mau di jemput, lo." Amira yang tadi sibuk makan kini bersuara setelah makanannya habis.

"Masalahnya itu bukan disitu, Mir. Gue udah janji, masa gue ingkari?" ujar Gama.

"Adara nggak akan marah, Gam. Santai, percaya sama gue." Amira mencoba meyakinkan.

"Diem deh!" decak Amara, jengah.

Gama mendelik tak suka. Apa ini balasan untuk kejadian kemarin? Sungguh ini berlebihan, pikir Gama.

***

Adara melirik jam tangannya cemas. Sepuluh menit lagi dia bisa telat. "Gama lo dimana sih?" gumamnya.

Sudah puluhan kali Adara menelpon Gama, tetapi tak kunjung dijawab juga oleh dia.

Baru kali ini Adara kecewa pada Gama, orang yang selalu dia percaya.
Andai saja dirinya tidak bodoh saat kemarin meninggalkan mobilnya di sekolahan, mungkin hari ini Gama tidak akan berjanji untuk menjemputnya.

"Biiii," panggil Adaraa. Dia mengencangkan suaranya agar didengar Bi Asih dari dalam.

"Iya," sahut Bi Asih sambil berlari menghampiri Adara yang berdiri diluar.

"Kenapa, Non?"

"Adara mau berangkat sekarang, kalo nunggu Gama, Adara bisa telat."

Bi Asih mengangguk, lantas tersenyum saat Adara menyalami tangan nya. "Hati-hati, Non."

"Iya," Adara berjalan menuju bagasi, mencari motor vespa punya nya dulu. Naik motor disaat sedang kepepet seperti ini memang ide yang bagus.

"Assalamualaikum, Bi." Adara muncul dari bagasi dengan Vespa yang sudah dia naiki, lalu melesat begitu saja sebelum bi Asih menjawab salam nya.

Adara nya lagi buru-buru, mohon dimaklumi.

***

Benar dugaan Adara. Hari ini, untuk kedua kalinya dia terlambat. Dan itu di sebabkan oleh Gama. Kurang ajar! Adara kini harus berlari memutari lapangan sebanyak tujuh kali. Untung nya Alfian juga terlambat, jadi Adara tidak malu-malu amat.

"Kemarin lo kemana, Al?" tanya Adara di sela-sela larinya.

"Ada," jawab Alfian enteng.

"Maksud gue, kenapa nggak sekolah?"

Alfian terkekeh. "Kenapa, kangen?"

Adara mencebik. "Jawab nya serius dong!"

"Cie ... Maunya di seriusin," ejek Alfian.

"Tahu ah! Nyesel gue nanya." Adara berjalan ke pinggir lapangan, lari tujuh keliling membuat nya hampir pingsan. Untung saja dia membawa botol minuman, dia langsung saja menegaknya sampai sisa setengah.

"Nih, minum." Adara memberikan botol minuman nya yang tersisa setengah itu pada Alfian yang juga kehausan.

"Nggak usah, gue bisa beli dikantin. Lo juga pasti masih haus, kan?" Alfian menolak dengan halus.

"Nggak kok, nih." Adara mengambil tangan Alfian dan meletakkan botol minuman nya disana. Lalu mengambil tas nya dan pergi dari sana menuju ke kelas.

"Tapi, Dar–" Ucapan Alfian terpotong oleh Adara. "Ke kantin juga butuh tenaga, Al."

Alfian tersenyum. Dia menatap botol minuman itu dengan raut bahagia dan segera menegaknya sampai tak tersisa.

Manis sekali, pikir Alfian. Bukan tentang Air nya, tetapi karena bibir nya dan bibir Adara yang menyentuh botol yang sama.

"Yesss!!! First kiss gue akhirnya jatuh pada orang yang tepat!" Dengan begitu bahagianya, Alfian belari-lari dikoridor menuju ke kelasnya. Tidak ada rasa lelah lagi, seolah-olah hukuman tadi tidak ada efek sama sekali.

LonelyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang