37|| Life Goes On

277 118 250
                                    

Sesak membumbung menaiki permukaan relung hati bersama gumpalan tangis tak terbendung melintasi permukaan pipi, sekujurnya nyaris tumbang menjadi kerangka koyak tak berarti yang telah kehilangan segenap benteng pertahahan barangkali telah tertelan...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sesak membumbung menaiki permukaan relung hati bersama gumpalan tangis tak terbendung melintasi permukaan pipi, sekujurnya nyaris tumbang menjadi kerangka koyak tak berarti yang telah kehilangan segenap benteng pertahahan barangkali telah tertelan sejuta nestapa tanpa iba menggerogoti. Kendati begitu sulit membungkam sepetak lara yang begitu menyiksa batin, gumpalannya berangsur meluruh membiarkan serpihan kewarasan tetap terjaga.

Jina begitu rapuh jika dihadapkan perkara hati yang tak berujung sehingga menanggalkan jejak luka baru, barangkali luka lama yang belum mengering telah tumbuh apabila semua perkara yang ia lewati tersimpan apik, meski hal itu dapat memporak-porandakan. Aku harap ini adalah pemberian terakhirku untukmu sebelum aku menyelesaikan misiku, Sunbae. Kuharap kau menyukai bubur ini sebagai kenangan.

Semuanya terasa hancur tak tertata lagi selayaknya kepingan yang berserakan menjadi puing-puing tak bersisa tanpa mampu terkendali. Agaknya Jina begitu benci manakala pribadinya yang begitu ringkih, rapuh, diporak-poranda oleh gelembung takdir yang terombang-ambing oleh pilu. Selempeng memori usang mampir dibalik inti kepala. Banyak kubangan lara yang menantinya hingga menyeret lebih dalam. Menyeret paksa akan buaian luka yang tumbuh mengakar menjamah relung hati.

Aksara yang Jina lecutkan berhasil membuahkan darah si pemuda Jung berdesir tak karuan bersamaan dengan buncahan gila yang perlahan menyapa. Mendadak kepalanya terasa pening lantaran berbagai spekulasi buruk yang bercokol berkembang. Setitik sorot teduh yang menikai vertikal sepasang netra kepunyaan sang lawan tak berkedip, barangkali Jaehyun tak menyangka bahwasanya gaungan frasa terdengar serupa seperti bualan gila yang tak pernah ia anggap nyata. Kendati Jaehyun dapat mengetahui dalam selarik aksara yang membentangi terdapat sekelumit pilu yang bertengger ringkih didalamnya.

Pun Jaehyun mengerti mengapa tempo hari Jungkook terlihat sangat kacau dan hancur, bahkan untuk dijamah pun sepertinya enggan sekali. Namun, dari sekian banyak afirmasi yang ia dapat, Jaehyun benar-benar kehilangan akal untuk membujuk gadis itu kembali. Bahwasanya ia tahu bahwa Jungkook akan lebih hancur jika ia tak mengetahui sumber kebenaran yang terjadi. Semua fakta telah tersingkap, Jaehyun rupanya masih tak menyangka.

Satu sisi, Jaehyun memang tak kuasa menyimpan rahasia sedalam ini. Terlebih seorang diri, memendamnya dan berhadapan dengan orang lain seolah tidak tahu apapun yang terjadi. Barangkali disini Jungkook memang berhak mengetahui kebenarannya. Namun, sisi lain, sebagian besar yang telah ia asumsikan bisa saja Jina akan justru lari—menghilang tanpa jejak kembali jika ia membongkarnya.

Satu keputusan yang begitu berat untuk diambil, kendati jika ia akan memilih opsi lain akan justru mengorbankan pihak lainnya. Pun berbuah sekelumit sulit yang akan terjadi. Sunyi mendadak menyusupi, lengan si pemuda Jung bertumpu pada dinding sembari meraup seraut frustasi yang menyambangi pikirannya. Mendadak keruh, Jaehyun merasa ia mulai kehilangan pilihan yang tepat kendati dua pilihan memang terasa sulit untuk dipilih salah satu.

"Jangan gila, itu takkan pernah terjadi, Ji. Aku tak bisa berbohong pada Jungkook. Kau harus tahu jika ini bukan jalan yang terbaik bagi kalian."

𝐌𝐎𝐍 𝐀𝐌𝐎𝐔𝐑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang