Taktala hari mulai meredup, pun cahaya senja kembali ketempat pengabdian, terlihatlah lampu-lampu temaran jalanan sebagai penerang sekaligus petunjuk sebagai penyambut datangnya malam. Nampaknya, jalanan sudah mulai sepi, pun hanya ada suara mesin deru mobil yang menggebu saling bersahutan disampingnya. Jungkook masih bergeming dengan stir kemudi, sorot mata lurus jatuh menelisik kian menajam setiap celah jalanan yang dilintasinya melalui kendaraan roda berempat, melajukan sebuah roda besi yang menembus aspal diatas kecepatan rata-rata.
Sekon berikutnya, sekilas tatapannya jatuh pada samping kiri, mengintip jalanan kota yang nampak sepi akan lalu-lalang aktivitas melalui kaca jendela yang transparan. Menyaksikan bagaimana kehidupan kota metropolitan yang nampak berbeda. Agaknya perbandingan balik pada keadaan pagi hari. Jungkook bisa lebih leluasa memutar stir kemudinya tanpa banyak penghalang mobil yang turut andil melintas disekitarnya. Sepasang netra jelaga itu masih menatap bergantian objek yang hadir, manakala terlihat sebuah gedung pencakar langit yang nampak indah ditemani dengan sebuah cahaya keemasannya.
Pun sudut kota mulai terlihat lalu-lalang manusia yang mulai keluar dari sebuah gedung. Tak dapat dipungkiri, dalam keadaan sunyi atau bahkan ramai sekalipun, sudut kota tetap terlihat indah berserta penerangannya. Namun rupanya, hal itu tak dapat menyegarkan sama sekali. Sekalipun mencoba mengosongkan pikiran dan berhenti menjebak diri pada premis buruk, tak ada gunanya. Bercamuk pada satu titik.
Jauh dari hal itu, entah untuk kesekian kalinya, untaian kata kembali menggaung dalam benaknya, menyisihkan sedikit rasa sesak pada rongga dadanya. Pun rasanya nafas terasa mulai tak beraturan kendati ia harus menahan rasa sesak yang mulai menggebu. Senyum getir tanpa pertimbangan lebih pun terbit taktala ada rasa perih yang sekoyong-koyong menyentak dirinya. Memori yang agaknya terlihat samar pun turut hadir pada benaknya manakala mencoba untuk abai, namun kata hati tak bisa dielak, Jungkook nyatanya larut pada perasaannya.
Kekecewaan masif masih menjadi pusat dirinya untuk enggan menemui bertatap muka dengan Jina sementara waktu hingga pikirannya menjadi netral. Hanya dengan kalimat yang berhasil mengacak-acak bilik hatinya. Pemuda itu memukul stir kemudi berkali-kali, tak ayal sebagai pelampiasan, surai hitam pekat menjadi sasaran empuk baginya untuk diacak-acak. Rasanya, harapannya untuk mencintai Jina harus lurus taktala ucapan demi ucapan dari labium gadis itu masih berkeliaran pada pikirannya, menghantui setiap sudut dan menanggalkan jejak luka. Kali pertama, Jungkook dapat merasakan bagaimana definisi sakit yang mendominan kecewa.
Terlebih dari hal itu, Jungkook tak dapat menampik bahwa awal hubungan yang dijalani pada keduanya atas kemauannya sendiri. Menjadikan gadis itu sebagai miliknya, tanpa sedikit pun bantahan. Sebuah otoritas yang dilakukannya pada Jina, mungkin terkesan sebuah paksaan. Tak dapat dielak lagi, Jungkook memang jatuh dalam pesona gadis polos seperti Jina. Sekalipun Jina sudah membuatnya merasakan kekecewaan, tetap Jungkook akan mencintainya, tak sedikitpun meluruhkan rasa benci.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐌𝐎𝐍 𝐀𝐌𝐎𝐔𝐑
PoesiaHighest Rank : 1# Btsimage 1# Kpopfanfiction Genre : Romansa - Drama Rahasia-rahasia dipendam, terkubur jauh bersama kehidupan kelam. Rahasia adalah sebuah kunci sebagai jawaban untuk orang yang memilih bungkam, melindungi semuanya. Kalimat tanya be...