47|| Silencio

179 50 189
                                    

Rasa lelah kian merambat pada setiap saraf-saraf hingga denyut pada pelipis kian menghampiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rasa lelah kian merambat pada setiap saraf-saraf hingga denyut pada pelipis kian menghampiri. Menyandarkan punggung tubuh pada kursi ruangan kerja, Seokjin berdecak dengan kepala yang mulai menyorot langit malam kendati cakrawala telah meninggalkan angkasa dan telah berganti dengan pijar rembulannya. Bersamaan dengan jemari melepas sebuah kaca mata yang membingkai pada sudut kelopak matanya. Pening menggerayangi kendati banyak perkara yang belum rampung berdatangan. Atensinya kembali direngut oleh laporan investasi bulanan yang akhir-akhir ini menurun. Hingga bagaimana celah konversasinya bersama Jaehyun tempo hari berdengung kembali dalam tempurung kepala.

"A-ada apa, Hyung?" Berusaha memecah gelembung sunyi yang mendadak berkalaborasi dengan kecanggungan beserta ketegangan masif, Jaehyun mengundarakan tanya dengan kuriositas yang membumbung tinggi taktala dengan gamblangnya Seokjin melempar sorot tajam kendati ia sendiri masih tak dapat meramu situasi.

"Kurasa kau melewatkan sesuatu selama ini, Jae. Kau bahkan telah melewatkannya tiga hari." Menginsterupsinya suara baritone membuat Seokjin mengulas sudut miring pada celah labiumnya.

Mencoba meramu lemparan aksara dari Seokjin, Jaehyun benar-benar tidak tahu apa yang dimaksud pemuda itu. Kendati otaknya terasa buntu, "Apa maksudmu, Hyung? Melewatkan apa? Aku bahkan tak tahu apa yang kau maksud." Intonasi yang Jaehyun mainkan sedikit melonjak guna menuntut jawaban lantaran hanya keabu-abuan yang selama ini ia yang mendengung bungkam.

"Benarkah? Kau yakin tidak mengerti maksudku, Jung Jaehyun?" Menggerakan sepasang tungkainya— mendekati si pemuda Jung bersama dengan tangan yang diselipkan dalam saku celana, seraut pongah yang terpahat agaknya mencoba memancing sepercik emosi pada sang lawan. Pergi membawa tubuh dengan api emosi yang meradang dalam hati. "Cukup sampai disini, Jae. Jangan bersandiwara seolah-olah kau tak mengetahui apapun disini."

Kerutan samar yang mendominasi ceruk keningnya terhenti dipersimpangan jalan lantaran tempurung kepala dilema kosong tak berarturan yang menjatuhkan pada sebuah gaungan aksara mendadak kembali membatu sebab tak dapat meramu. Jangka kala, Seokjin kembali menginsterupsi, membuat darahnya berdesir dengan tempo jantung mendadak abnormal.

"Bukankah kau pelaku atas kejadian tempo hari? Dimana Jina dan Jungkook terlibat dalam pengeboman serta penembakan di markas, kau salah satu diantara mereka yang menyamar jadi Mafia, bukan? Bukankah itu terdengar seperti kejutan?"

Menghela nafas terasa berat, atensi Seokjin terdistraksi pada benda mipih yang tergeletak diatas meja. Mengetukkan jemari diatas meja, secercah gelisah bernaung dalam hatinya, pada akhirnya tetap memutuskan mengirimkan selarik pesan harap-harap segera dibalas. Jung, aku ingin bertemu denganmu dirumah sakit. Apakah bisa?

                  ─── 。゚☆: *. .* :───

Niat Seokjin mengundang Jungkook untuk melakoni pertemuan dadakan justru berakhir tak pertikaian yang tak pernah di duga-duga. Barangkali alasan Seokjin hanya ingin mengungkapkannya, namun, justru mengundang geledak amarah yang memburu dari si Jeon kendati ia mendadak kelimpungan bagaimana cara menghentikannya. Agaknya, sekelabat rasa bersalah menggelung diri, Seokjin tak pernah tahu bila Jungkook akan mengatasinya dengan amarah yang bergolak.

𝐌𝐎𝐍 𝐀𝐌𝐎𝐔𝐑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang