39|| Abbys

220 95 209
                                    

   "Ketika rasa penyesalan itu tak kunjung pergi,     dan sekarang hanyalah serpihan sakit yang     menjelma sebagai demu yang siap memporak-       porandakkan hatimu untuk merasakan hancur,          lagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ketika rasa penyesalan itu tak kunjung pergi,
dan sekarang hanyalah serpihan sakit yang
menjelma sebagai demu yang siap memporak-
porandakkan hatimu untuk merasakan hancur,          lagi. Dan untuk kesekian kali, kelabat sesak
yang melilit hati tengah berlangsung."

••••••••

                      
Bayang-bayang rembulan menggantung dibalik awan berserta deburan bintang yang bertabur menemani malam kelam yang berlangsung. Dengan atensi yang menyorot penuh langit, hanya ada memori yang membekas dalam jengkal ingatan bersama sesak yang melilit pada ulu hati. Kendati rasa penyesalan takkan berbuah apapun, sebab sesuatu telah terjadi tak dapat diulang— ataupun dihitung mundur layaknya sebuah rekam peristiwa yang kapan saja dapat diubah mengenai jalan durasinya akan berlangsung.

Masih sama, sejumput air mata itu kian berlangsung ditemani dengan sang rembulan yang nampak sendu menampakkan pijarnya diangkasa. Bulir bening yang tumpah ruah tak dapat dibendung ataupun di wadahi hingga sekelabat rasa sesak yang membelengu kembali hadir, melilit hingga meremat kuat rongga dada taktala secara paksa ruang ingatan mempersembahkan kejadian beberapa saat lalu.

Pun Jina sadar bahwa dirinya sekarang hanyalah serpihan dari cangkang kosong yang tak lagi berarti; tak memiliki makna dari segala rasa penyesalan yang membuainya. Barangkali terus menangis tanpa henti, semuanya takkan berubah, lagi. Aku masih mencintainya? Yang benar saja, Jeon Jina. Kau bahkan sekarang tak pantas untuk mengatakan hal sedemikian rupa perihal cinta. Melantunkan tawa getir yang terselip pada isakannya, Jina merasa seluruh kasih yang telah ia bentangkan hanya terdengar seperti bualan belaka—meski itu memang benar, adanya.

Mulut yang terasa sulit untuk untuk berujar, meski hati kecil kian berteriak menggelegar menyudahi semua kebohongan yang tersimpan apik dalam sebuah laci. Barangkali melupakan itu adalah sebuah hal yang terasa sulit untuk dilakukan meski berucap mudah—kendati kita tidak tahu bagaimana kabar hati yang tengah tersiksa sebenarnya. Menunjukkan rupa; topeng yang tengah dipakai didepan khalayak ramai dengan pancaran senyum apik yang melingkari sudut bibir, hati tetap tak kuasa memindai kebohongan.

Terasa sulit walaupun berulang kali mencobanya, tetap bangkit meski berkali-kali pula telah gugur pada medan perang yang memporak-porandakan isi hati layaknya sebuah badai keributan yang tak dapat dicegah ataupun dihentikan. Sekian banyak afirmasi yang Taehyung terima, rasanya ia begitu kepayahan menatap gadis Jeon itu menangis, hampir satu malam ia habiskan dengan isakan tangis yang menggema pilu memasuki celah rungu. Kendati hal itu juga tak dapat membendung lara yang tengah Taehyung hadapi, pun mati-matian tetap tegar layaknya pahlawan utama meski ia hanyalah berperan sebagai orang kedua, disini.

Dengan sepasang tungkai yang dipacu gerak mendekati entitas gadis Jeon, buru-buru Jina menghapus derai anak sungai yang membasahi pipinya taktala sorot radarnya menangkap sosok Taehyung mencabut akar spasi yang terbentang. Dengan keadaan getir yang melingkupi separuh jiwa, Jina tetap berusaha mengulas senyum terbaik—sudut labium yang bergerak lebar meski terlihat begitu pahit dan penuh kebohongan. Pun jauh dari kata baik-baik saja.

𝐌𝐎𝐍 𝐀𝐌𝐎𝐔𝐑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang