44|| Trapped In Love

185 71 185
                                    

Taehyung POV

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Taehyung POV

Bagiku semuanya telah terlanjur dan takkan dapat diulang lagi sebagaimana dentingan waktu yang berkumandang menunjukkan titik pusatnya yang bergulir menyusupi malam penuh keheningan. Mencintai Jina tanpa mendapatkan intuisi yang pada awalnya telah ku damba-dambakan sejujurnya takkan mendulang hasil sia-sia atas segala perlakuanku baginya. Karena setidaknya, kehadirannya ia kedalam graha dunia, aku belajar bagaimana rasa terluka yang sesungguhnya dan selalu berusaha untuk menyembuhkan dari tumpukan luka yang telah memupuk dalam relung hatiku.

Meski beberapa orang beranggapan tidak mudah untuk melupakan barangkali masih ada secarik kenangan yang tertinggal dalam kapasitas kepala. Hingga saat ini pun, jikalau aku boleh mengungkap segala perasaan yang telah digarab oleh hatiku, aku masih telak menyukainya, bahkan jauh dari itu. Aku mencintainya. Jika diceritakan pada bentangan semesta mempertemukan kami, aku masih tetap meninggalkan jejak rekam pertemuan pertama itu dalam laci ingatanku.

Pertemuan kami bermula disebuah restoran daerah Daegu, sewaktu akhir tahun menjelang dimana sekolahku diliburkan untuk beberapa hari sampai salju mengguyur bumi. Ibuku mempertemukan kami pada acara malam yang menjadi titik awal aku dan dirinya bertemu sapa ramah tamah. Malam itu, disebuah restoran elit, ia datang menggunakan gaun dibawah lutut berwarna putih terkesan glamour yang memikat aksen pada seluruh tubuhnya. Beserta rambut panjang pekat yang digerai bebas membiarkan udara menyapu setiap helaian surainya itu.

Beberapa detik sesaat ia menjejakan kakinya dengan alas high heels cukup tinggi, aku sempat terpana dan hanyut dalam angan buaianku taktala sepasang kepingan coklat madu itu menyorotku teduh penuh lemah lembut dibalik retina matanya. Tidak dapat kuelak, aku berhasil membungkam celah labiumku lantaran wajah ayu itu berhasil membuat ritme jantungku berdebar telak abnormal. Seulas senyum manis yang masih ia pertahankan, membuatku tak sadar bahwa ia telah mengulurkan tangan lantaran memintaku berjabat tangan sembari melafalkan namanya. "Namaku Jeon Jina. Kau bisa memanggilku Jina."

Jangka kala, kesadaranku kembali merengsek kembali pada separuh ragaku setelah lama menyusuri buaian intuisi, dentingan waktu sesaat ibu melampirkan senyum penuh goda sembari menggerlingkan sepasang netranya kearahku hingga refleks aku membuang pandang ke arah lain guna menimimalisir degup abnormal itu agar hanyut—tak lagi terbuai.

Tetapi bagiku, tidak semudah itu mencintai seseorang hanya karena terpikat akan pandangan pertama yang berlangsung. Aku memang merasa terpana hingga pacuan debar jantungku telah dikatakan abnormal, namun aku sadar bahwa tidak semudah itu menaruh rasa kendati aku tak ingin berakhir sakit. Persis sama apa yang dilakukan ibu semasa remaja. Kisah percintaan ibu memang persis seperti diriku.

Jika kuceritakan bagaimana spesifiknya, ibu dan ayahku menikah karena mereka saling menyukai pada pandangan pertama lalu melanjutkannya ke jenjang pernikahan tanpa mengambil keputusan pun risiko yang akan menimpa diri. Namun, berangsur-angsur titik berjalan menempuh waktu yang kian menambah, setelah ibu berhasil memperkenalkanku ke dunia, keluar dari rahimnya, saat itu lah ibu merasakan kehancuran yang tiada tara—hingga saat ini pun aku masih mengingat secara rinci bagaimana rapuhnya hati ibuku mengetahui ayah telah menikah dengan wanita lain. Jauh sebelum ayah dan ibu memiliki hubungan.

𝐌𝐎𝐍 𝐀𝐌𝐎𝐔𝐑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang