42|| The Truth Untold

209 79 170
                                    

Seandainya nya saja kumpulan badai tak menerjang, namun, tiada badai datang bahwasanya hujan yang mengguyur bumi, maka semuanya takkan hancur meluluh-lantakan berbagai pertahanan diri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seandainya nya saja kumpulan badai tak menerjang, namun, tiada badai datang bahwasanya hujan yang mengguyur bumi, maka semuanya takkan hancur meluluh-lantakan berbagai pertahanan diri. Kendati itu hanyalah sebuah buana dan andai-andai semata kendati tak ada yang bisa diperbuat selain melangkah maju—menetapi beribu jalan dunia yang akan diarungi lebih lanjut. Akan tetapi terlanjur mencinta bukanlah kesalahan yang fatal yang pada akhirnya menelan beribu kekecewaan masif yang bersemayam dalam dada sehingga patut menyiksa diri.

Ketika waktu telah ditetapkan, pertemukan yang sebenarnya tak diinginkan, namun juga ingin menghapus segala buncahan kerinduan, semuanya memang tak ada yang salah sehingga turut merasakan kenangan yang menyembilu dan juga lara yang memporak-porandakan. Apa yang berandai-andai dalam segala lautan ekspetasi nyatanya sering kali berbanding balik dengan sebuah realitas yang menghajar tanpa iba, memberi tamparan kehidupan bagaimana andai hanyalah ilusi semata yang barangkali takkan tercipta dalam bentuk nyata.

Segala pilu yang menyiksa diri beserta tenggelamnya diri dalam kubangan lara yang menyayat hati. Segala sesuatu tak ada hakikat abadi jika roda kehidupan akan selalu berputar tiap titik porosnya dan akan berhenti membawa sepercik kepiluan yang terlanjur menanamkan luka dalam diri. Neurotik yang bersemayam layaknya sebuah kejadian dimana benteng kokoh yang mati-matian dibangun pada akhirnya telah hancur tak bersisa, kehilangan seluruh daya hingga beribu harapan yang mengikat hati.

Tak ada yang lebih menyakitkan bahwa pada akhirnya untaian fakta yang diterima nyaris membuat tubuh tumbang sewaktu-waktu bila tak menahan segala beban melalui sepasang tungkai yang dipijaki diatas tanah. Segala sesuatu yang menyinari dunia, separuh jiwa yang telah hidup, akan padam dan segala dunia terlihat lebih gelap, kelabu, tanpa ada sepercik cahaya menerangi batin yang tersiksa. Lantas, hanyalah ada debu yang mengurai—terbentang bebas ke udara lalu dibiarkan berjatuhan diatas tanah yang perlahan hangus terbakar.

Meski tak dapat membawa diri dalam kenyataan yang telah di arungi, kendati terasa sakit, terenyuh, merasakan sembilu yang menghentak hati, selalu saja berhasil meluluh-lantakan beribu kekuatannya menjadi tangis tak terbendung dengan bulir mening kristal tumpah ruah tak dapat diwadahi, lagi. Hancur yang menyiksa, dunia telah memporak-porandakan diri, bagaikan jatuh pada lantai jurang terdalam. Ingin rasanya meneriaki diri dari jebakan kubangan lara yang teramat menyiksa, namun sayang, dunia telah terlanjur menciptakan berbagai ulasan yang tak pernah bisa untuk dilupakan.

Mengembangkan seulas senyum terselip rasa getir dalam sudut labium yang nampak kaku bersamaan dengan kondisi hati tengah diremat begitu kuat. Ekspetasi mendamba lorong menuju kebahagiaan selalu saja berbanding balik dengan realita yang menghujami. Berakhir duka pun luka yang memiliki probabilitas lebih besar. Potensi goresan luka kian menumpuk, bersama dengan sesak yang berpusaka. Beribu ekspetasi kelewat tinggi untuk digapai layaknya lapisan tujuh macam awan yang takkan pernah membuahkan hasil, sekalipun dengan usaha yang mengimbangi hingga tak pernah membentuk hasil—lebih pada mendulang sesuatu hasil yang sia-sia.

𝐌𝐎𝐍 𝐀𝐌𝐎𝐔𝐑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang