Selarik kalimat yang digangungkan oleh Jungkook setelah lama beradu argumen, menyeret Jina hingga jatuh pada sebuah kesalahan terbesar. Alibi yang digunakannya sepertinya tak terkesan apapun taktala kalimat pemuda Jeon itu masih ternginang jelas di pikirannya. Menampilkan bilah-bilah memori yang telah usai. Jina tahu betul penyampaian aksara yang tak seperti biasanya; terkesan dingin. Seraut wajah Jungkook masih memutar setiap jengkal ingatannya. Sederet aksara pun agaknya terdengar klise, namun, Jina juga tak dapat menyangkal bahwa kalimat itu memiliki impresi kuat, bila mana Jina tahu bahwa Jungkook tak pernah membual sekalipun dalam ucapannya.
Terbukti sekali bahwa penyampaian itu memang selalu menelisik baik melalui rungunya secara telak. Kedua kalinya, Jina pun sepertinya tak berani menyangkal lagi bahwa peyampaian perasaan Jungkook itu benar-benar tulus. Jina dapat merasakan adanya debaran aneh, desiran yang dirasakannya berupa kehangatan yang mendominan kepada kenyamanan manakala ia selalu berada disamping pemuda tersebut. Harap-harap ingin menjelaskan bagaimana perasaannya, Jina justru salah sasaran. Memang benar-benar diluar pemikirannya bahwa justru pemuda itu marah besar.
Agaknya, setelah peyampaian aksara terakhir, Jungkook terlihat mengubah selarik pelafalan kalimatnya menjadi dingin kembali. Seraut wajah berkharismanya tak ada senyum kentara yang terpatri seperti sebelumnya. Merenungkan perihal tersebut memang tak ada habisnya. Ingin meminta maaf berkali-kali, rasanya itu tak mungkin dan selalu ditolak. Sebagaimana Jungkook mampu mengalihkan topik dan mengabaikan permintaan maafnya.
"Jangan menjadi sosok yang egois. Karena kau tak tahu bagaimana pertanyataan hatiku menganggap dirimu bagaimana. Berhenti berpikiran buruk jika suatu saat nanti aku akan memenuhi semua apa yang kau ucapkan sebelumnya, "seraut keras masih kentara didominasi dengan senyuman getir yang membingkai jelas. Sejemang pandangannya berpaling yang kemudian laju aksara kembali lolos dari labiumnya, "Kurasa, pendengaranmu berfungsi dengan baik bahwa penyampaianku bukan untuk main-main."
Melucut bagaikan tembakkan yang berhasil menembus jantungnya. Mungkin terdengar agak berlebihan, namun, seperti itulah pernyataan yang menggambarkan bagaimana kondisi Jina yang masih terpaku taktala ungkapan itu menembus kuat gendang telinganya. Ditemani dengan setetes cairan bening yang tak dapat terbendung, bersamaan dengan munculnya rasa sesak dalam dada. Berusaha mati-matian Jina menahan tangisnya dengan sebuah tundukkan kepalanya. Nyatanya, ia sama sekali tak sanggup untuk sekedar menatap sepasang netra yang rupanya masih tertuju kepadanya. Nyalinya menciut bukan berarti pengecut. Hanya saja, lidahnya nampak tak bisa bekerja sama, kelu yang seolah menginginkan dirinya untuk bungkam.
Atmosfir terasa tak sejejuk dahulu, Jina dapat merasakan aura kecanggungan yang pekat disaat dalam sebuah ruangan hanya berisi dirinya dan juga Jungkook. Ada kekecewaan masif yang dilihat Jina manakala ia mulai mengangkat kepala, sorot mata jatuh pada lembaran netra kelam. Hingga, tanpa sukar senyum getir, mengimbangi dengan kekehan kecil terpatri pada permukaan wajahnya, ulasan senyum terlihat begitu dipaksakan. Sayup-sayup hingga pandangannya meremang dihalangi oleh air sungai kecil yang semakin deras merembes dipermukaan wajahnya. Meski rasanya tenggorokan tercekat, bibir pun sepertinya sangat enggan sekali terbuka walau hanya sepersekian senti, terasa sulit.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐌𝐎𝐍 𝐀𝐌𝐎𝐔𝐑
PoetryHighest Rank : 1# Btsimage 1# Kpopfanfiction Genre : Romansa - Drama Rahasia-rahasia dipendam, terkubur jauh bersama kehidupan kelam. Rahasia adalah sebuah kunci sebagai jawaban untuk orang yang memilih bungkam, melindungi semuanya. Kalimat tanya be...