Jangan selalu berbohong hanya untuk menyembunyikan luka, Len. ~Bagas.
"Ck. Apa tadi? Nangisin lo? Sorry, gue gak mau air mata gue terbuang sia-sia buat cowok kayak lo! Baik di depan munafik di belakang!" cecra Allena, sungguh, ini bukanlah Allena yang Bagas kenal."Lo boleh benci gue, lo boleh jauhin gue, bahkan kalau perlu lo boleh gak usah kenal gue lagi. Tapi gue titip pesan satu hal sama lo, jangan pernah dengarin apa kata orang!" ujar Bagas, setelah sejak tadi perkataan itu ia simpan dalam-dalam.
Allena mengalihkan tatapannya, ia menatap lawan arah dengan kehadiran Bagas, sedangkan lelaki itu terus memperhatikannya, ia tahu bahwa Allena sedang menahan air matanya. Allena adalah gadis kuat, ia tak mungkin menangis di depan banyak orang namun, ketika sudah membuka topengnya, ia akan sangat rapuh.
"Gue gak akan ke mana-mana, sampai lo sendiri yang akan kembali buat gue. Gue akan tetap jadi Bagas yang lo kenal, cowok sok kenal yang gak sengaja ketemu di dekat danau." Lagi, air mata Allena keluar tanpa seizinnya, ia tahu Bagas orang baik, tetapi ia tak bisa menolak ancaman itu.
"Kalau lo butuh, lo bisa panggil gue, gue akan selalu ada untuk lo, Allena." Setelah itu Bagas pergi entah ke mana. Jam istirahat belum usai, tetapi Allena yang semula hendak mencari makan mengurungkan niatnya untuk terus menangis di dalam kelas.
Semua orang mungkin mengira Allena tertidur, duduk di kursi pojong barisan tengah membuatnya sulit untuk diperhatikan. Matanya terus saja mengeluarkan cairan bening itu, sedangkan mulutnya seolah mengatakan maaf, ia tahu Bagas sakit hati dengan perubahannya.
"Makasih, Gas, makasih udah mau bertahan buat gue yang terlalu buruk di mata orang," gumam Allena, tanpa ia sadari Bagas yang sedari tadi berdiri di sampingnya yang terhalang oleh jendela dan dinding namun, Bagas masih bisa mendengar perkataan Allena.
"Gue sayang lo, Len, gue gak akan biarkan orang lain menyakiti lo lagi, termasuk diri gue sendiri," batin Bagas, setelah itu ia kembali ke dalam kelas karena bel masuk telah berbunyi.
Sudah banyak buih air mata yang Allena tumpahkan pagi ini. matanya yang bengkak tak lagi bisa membohongi Riani.
"Allena?! Astaga! Jadi bener dari pagi lo nangis?! Lo nangisin apa? Jangan bilang lo nangisin Bag-mph!" Allena dengan cepat menutup mulutnya, sudah ia duga, pasti lelaki yang akan Riani sebut itu memperhatikannya.
"Gue cuma lagi ada masalah keluarga, Ri," ujar Allena.
"Kebohongan lo hanya akan menyakiti lo lebih dalam, Len," gumam Bagas sangat pelan sampai tak ada seorang pun yang mendengar.
"Kenapa? Ada masalah sama Alleta lagi?" tanya Riani.
"Nggak, kok, gue sama Al udah baikan." Allena tersenyum, ia tak mau masalah hidupny semakin rumit.
"Jangan selalu berbohong hanya untuk menyembunyikan luka, Len," gumam Bagas lagi, ia seolah menyahut perkataan Allena meskipun tak ada yang mendengarnya.
"Hm, yaudah, jangan nangis lagi, ya! Ini udah bel masuk, gue ke tempat duduk gue dulu." Allena mengangguk tanda mengiyakan.
Bukan hal mudah untuk menyembunyikan luka, bukan hal mudah pula menyembunyikan air mata. Pada dasarnya semua yang terlalu sendu bisa terbongkar begitu saja ketika semua itu sudah tak bisa lagi ditahan dalam diri sendiri.
Ini memang bukan pertama kalinya bagi Allena tersakiti namun, entah mengapa kecewa untuk kesekian kalinya ini sangat sakit untuk diungkapkan. Hanya orang-orang tertentu yang mengerti Allena, Alleta contohnya, meskipun jarak mereka seolah jauh namun, nurani mereka sebagai saudari kembar sangatlah kuat.
Pulang sekolah, untuk pertama kalinya Allena mau diajak pulang bareng dengan Alleta, meskipun hanya naik kendaraan umum namun, Alleta sangat bersyukur, karena dengan bergitu Allena secara tak langsung membukakan pintu maaf untuknya.
"Le-Len? I-itu bukannya Bagas?" Lagi, Allena mendapatkan bukti dari pesan yang ia dapat semalam. Bagaskaran, seorang lelaki yang Allena sayangi setelah papanya itu entah mengapa menerima begitu saja ciuman dari sang gadis yang entah itu siapa. Gadis itu berbeda dengan gadis yang Allena temui di kantin, mungkinkah Bagas selama ini sebusuk itu? Pipi kanan Bagas lebih tepatnya, tanpa adanya penolakan dari lelaki itu, bahkan Bagas mengulum senyuman setelah ciuman itu mendaran di pipinya.
"Kita pulang!" Bruk! Allena nyaris saja tertabrak mobil yang melintas di dekat gerbang namun, dengan cepat Alleta menariknya.
"Lo kalau patah hati gak usah bego mau bunuh diri segala, Lena!" bentak Alleta tak suka.
"Ck. Gue gak sengaja, bukan cari mati!" bantak Allena, ia meneruskan langkahnya namun, sepertinya Bagas melihat keberadaannya, wajahnya merah menahan tangis, napasnya seolah tak teratur menahan sesak di dada.
"Bagas benaran ngeduain lo, Len?" tanya Alleta hati-hati, ia tak mau saudari kembarnya ini kembali merasakan sakit yang lebih dari sakit yang ia terima di rumah.
"Ngeduain? Bahkan status gue dan Bagas pun gak jelas, maybe just friend yang terlibat rasa yang salah." Allena terkekeh meskipun dadanya sesak.
"Udah, jangan dipikirin! Kalau Bagas itu orang baik, dia pasti akan ketemu orang baik juga, contohnya lo." Alleta tersenyum di akhir kalimat, sedangkan Allena hanya acuh menatap jalanan.
"Bahkan lo gak tahu kerapuhan gue di belakang lo, Len," batin Alleta, ia tak mau saudari kembarnya tahu, karena dengan begitu Alleta seolah mendapatkan balasan dari perlakuannya beberapa tahun terakhir.
Di sisi lain, Bagas yakin, Allena salah paham dengan ciuman yang gadis itu berikan kepadanya. Bagas yakin, saat istirahat tadi pun Allena seolah kecewa dengan sikapnya yang dipeluk begitu saja oleh seseorang yang Bagas sendiri tak tahu itu siapa.
"Apa gue ke rumah Lena aja buat minta maaf?" gumam Bagas, saat ini ia belum beranjak dari sekolah, sedangkan gadis yang tadi bersamanya sudah terlebih dahulu pulang.
"Tapi 'kan Lena lagi marah sama gue, entah itu karena hal apa," lanjutnya lagi.
Bagas bingung, ia bisa saja menjauh dari Allena jika alasan Allena itu masuk akal. Namun, Allena sama sekali tak memberinya alasan untuk menjauh, lantas bagaimana rasa itu bisa menghilang jika alasan untuk bertahan masih sangat kuat daripada alasan untuk menjauh.
"Mungkin Lena butuh waktu sendiri. Gue emang harus cari tahu, tapi cari tahu ke mana? Lena tuh anaknya tertutup kalau sama orang baru." Bagas semakin dibuat kesal dengan pemikirannya sendiri yang beradu pendapat.
Di satu sisi Bagas tak ingin membuat Allena semakin sakit hati namun, di sisi lain Bagas tak ingin menjauh dari Allena. Bagas sudah janji pada dirinya sendiri, ia akan menjaga gadis yang ia temui di danau tiga tahun lalu, ia akan menemukan dan selalu bersama gadis itu namun, kini saat sudah dipertemukan kembali, mengapa ranting yang menghalangi itu semakin besar?
Semakin besar rasa yang kita miliki, semakin sulit untuk kita pergi. Meskipun sudah berkali-kali diminta untuk pergi, pada dasarnya rasa itu tak akan benar-benar pergi dari hati. Sulit memang, tetapi Bagas akan mencobanya. Jika rasa itu tak kunjung pergi juga, mestinya perjuangannya harus semakin besar untuk Allena.
Jangan lupa vote, komen dan share cerita ini, yaaa!
Thank you!
KAMU SEDANG MEMBACA
RAPUH!
Teen Fiction"Kaca yang telah retak memang tak bisa disatukan kembali. Sekalipun bisa, wujudnya tak 'kan seutuh dulu. Mudah rapuh, seperti kata maaf pada sebuah penyesalan." Setelah kepergian Papanya, sahabatnya, serta luka yang tak kunjung sembuh, lantas kerap...