5 ♡ Harapan, Bagaskara 🕊

6.4K 479 54
                                    

Bawangnya dikit dulu, ya, nanti dilanjut lagi versi tersadnya, hihii^^

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bawangnya dikit dulu, ya, nanti dilanjut lagi versi tersadnya, hihii^^

Jangan lupa vote dan ramaikan!

-

-

Satu-satunya teman Allena detik ini adalah ... Bagas. Bagaskara Grigio Viridian, nama yang cocok dengan kehidupan Allena. Bagaskara berarti matahari dalam artian menyinari, sedangkan Grigio berarti warna abu-abu (Italia) dan Viridian artinya warna hijau, artinya ... Bagas adalah penyinar kelabu kehidupan Allena yang akan mengubahnya menjadi kebahagiaan.

Allena harap, ini adalah awal terciptanya tawa meskipun tak sebesar luka yang ia terima. Bagas, pria kelahiran Jakarta ini pernah terkenal karena kenakalannya dulu saat masa SMP. Namun, kini, kenalakan dalam dirinya berangsur berkurang beriringan usianya yang semakin bertambah dewasa.

"Allena, tunggu!" cegah Bagas saat Allena hendak pergi ke kantin.

"Kenapa? Bagas gak istirahat?" tanya Allena. Namun, tatapan Bagas beralih pada lengan yang ia pegang-banyak goresan yang tercipta di benda halus itu.

Bagas mengernyit, kenapa luka itu seolah hal yang disengajai? Bukannya menjawab pertanyaan Allena tadi, Bagas justru membawa Allena ke lorong yang sepi, bukan untuk melakukan hal negatif, tetapi Bagas tak ingin jika hal yang ia tanyakan adalah privasi Allena yang tak mau terbongkar.

"Kenapa ngajak Lena ke sini?" tanya Allena.

"Boleh jelasin, tangan lo kenapa?" Allena kini terkaku, ia lupa mengobati lukanya. Tak tahu harus berkata apa, tampaknya diam lebih baik untuknya.

"Kenapa diam? Lena sering lakuin hal itu?" tanya Bagas tertuju pada lengan yang masih ia pegang.

"Hei, jawab!" Bagas menggoyangkan pelan lengan Allena, membuat gadis yang semula tertunduk itu mengangkat wajahnya.

"Iya, Lena sering lakuin ini. Lena cape, Bagas! Lena cape!! Hiks ...." Cairan berning bernama air mata itu kembali tumpah di sudut kantung mata Allena, membuat pria tampan ini semakin tak mengerti dengan keadaan Allena yang sebenanrnya.

"Lo boleh cerita apa pun sama gue kalau lo siap, terutama masalah keluarga lo," ujar Bagas. Tangannya terulur untuk membawa Allena ke pelukannya, menenggelamkan wajah Allena di dadanya, sontak Allena dibuat kaget karena Bagas adalah orang pertama yang memeluknya.

"Ma-makasih udah mau jadi teman Lena. Selama ini Lena selalu kesepian tanpa ada seorang pun yang tahu. Lena pengin ungkapin ke sahabat Lena dulu, tapi keadaan gak memungkinkan karena dia pun sedang berjuang buat penyakitnya." Allena menghapus air matanya, tak mau terlihat rapuh di depan lelaki ini.

"Nangis aja kalau mau nangis! Jangan ditahan! Kalau perlu, tangan gue yang akan terulur untuk menghapus air mata lo, Len," ujar Bagas sambil mengelus lembut pipi gadis cantik ini.

"Makasih banyak." Untuk pertama kalinya, air mata bahagia itu Allena tampakkan. Untuk pertama kalinya, gadis sendu ini merasakan hal yang selama ini ia inginkan meskipun bukan dengan orang yang ia harapkan-mamanya.

Lewat pria yang baru bertemu tadi pagi ini Allena selalu berharap, Tuhan tak akan mengambil sosok ini lagi darinya. Allena tak peduli dengan latar belakang pria ini, yang terpenting untuknya bagaimana bisa merasakan hal indah atas nama kebahagiaan.

"Kantin, yuk? Kelamaan nangis juga pasti butuh tenaga," ujar Bagas.

"Hm, ayo!" Allena berantusias, untuk pertama kalinya juga ia dekat dengan seorang pria.

Belum pernah merasakan jatuh cinta terhadap pria, karena selama ini Allena hanya mencintai seseorang yang tak pernah mencintainya seutuhnya-Nadin, mamanya. Singkatnya, Allena dipaksa kuat oleh alur kehidupan yang membawanya terus maju.

"Rumah Lena di mana? Boleh gue antarin pulang?" tanya Bagas setelah mereka sampai di kantin.

"Nggak jauh dari danau tempat kita bertemu dulu." Allena mengangguk setelahnya, pertanda mempersilakan Bagas untuk mengantarkannya pulang.

"Duh, lupa jalanannya," ucap Bagas.

"Yaudah nanti sekalian Lena kasih tahu biar tahu." Bagas mengangguk, lagi pun ini baru hari keduanya tinggal di Kota Bandung.

Kali ini, tawa itu benar-benar tercipta meskipun sesingkat itu. Singkatnya, kini Allena tahu bahagia itu seperti apa. Singkatnya, kini Allena paham, atas hal yang teman-temannya selalu publikasikan tanpa Allena bisa merasakan di posisi mereka. Kini, perlahan Allena melupakan jati dirinya yang teramat rapuh, ia lupa bahwa tawa itu 'kan menjadi luka lagi di suatu saat nanti.

Bersama Bagaskara, sang pemberi cahaya untuk kehidupan Allena yang terlalu gelap bagai malam tanpa rembulan, menyusuri sudut demi sudut Kota Bandung, merasakan hal yang belum pernah ia rasakan bersama kedua orang tuanya.

"Bagas, makasih, ya," ucap Allena tiba-tiba saat Bagas masih mengendarai motornya.

"Untuk?"

"Untuk kehadiran Bagas, karena udah buat Allena tahu bahagia itu seperti apa." Allena tersenyum seolah lupa atas luka yang pernah ia rasakan.

"Kalau soal itu ... berterima kasihnya ke Tuhan, Len, karena Tuhan adalah pembuat skenario terbaik untuk umat-Nya. " Allena benar-benar tak menyangka, lelaki yang di hadapannya ini ternyata bisa sebijak itu dalam berkata.

"Kalau itu udah pasti, tapi izinkan Lena berterima kasih pada tokoh di skenario itu." Lengkungan sabit di sudut bibir keduanya terpampang jelas.

Detik ini bahagia, siapa sangka detik selanjutnya Allena kembali terluka? Siapa yang tahu detik keduanya merasakan duka kembali? Semoga, itu hanyalah pikiran Allena yang berkelana karena terlalu bahagia dengan hal yang saat ini ia rasa.

Sudah sampai di rumah Allena. Bagas melihat rumah itu sunyi, seolah tak ada kehidupan di dalamnya. Mugkin ada, tetapi tak sebaik pinta.

"Gue pulang ya, sampai bertemu lagi besok di sekolah," pamit Bagas sebelum beranjak dari kediaman gadis sendu itu. Gadis itu tersenyum, sambil memberi tahu pada semesta bahwa ia sedang merasakan bahagia.

Allena melangkahkan kakinya menuju pintu rumah-ralat, pintu tempat yang memberinya banyak luka. Tangannya terulur untuk membuka pintu rumah itu namun, terlebih dahulu sang penghuni rumah yang sebenarnya sudah membuka pintu masuk itu.

Allena menunduk pada sang mama. Tak berani menatapnya. Padahal, ingin sekali ia berkata 'ma, Lena pulang' sambil mencium tangan dan kening sang mama. Sayangnya, itu hanyalah angan yang tak bisa menjadi realita.

"Ke mana aja kamu baru pulang? Kelayapan sama cowok tadi?!" sarkas Nadin sambil menatap tajam kehadiran sang putri yang sudah tak ia anggap ini.

"I-Iya, Ma. Dia Bagas, teman baru Lena," ucap Allena masih menunduk. Lagi pun, peduli apa mamanya dengan dirinya? Bukankah tak pernah saling mengusik? Bukankah hanya menciptakan luka yang semakin mendominasi?

"Bagus! Main aja teru sampai lupa kerjaan rumah banyak buat kamu!" cicit Nadin. Tangan yang selama ini sering menampar Allena kembali menjambak rambutnya, membawanya ke tempat beristirahatnya.

"JANGAN HARAP SETELAH INI KAMU BISA BAHAGIA LAGI! DASAR ANAK PEMBAWA SIAL!"

BRAK!

-
-
-

Ada yang mau disampaikan untuk Allena? Menguatkannya, mungkin?

Jangan lupa vote, komen, ramaikan san share cerita ini, yaa^^

Thank you!





RAPUH! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang