“Hiks … Lena di mana? Teh Febi ya? Lena di mana, Teh? Lena udah meninggal, ya? Hiks … kenapa semuanya gelap?”
Deg.
Perkataan Allena membuat semuanya kaget, terutama Bagas dan Nadin yang baru saja datang di ambang pintu. Bagas menghentikan langkahnya, lidahnya kelu untuk berbicara, tubuhnya lemas untuk kembali melangkah ketika orang yang ia sayangi harus merasakan penderitaan baru.
“Lena kenapa, Teh?! Hiks ….” Elang dan Febi panik mendengar lirihan Allena.
“Feb, lo bawa penlight?!” pekik Elang panik, Febi yang menyadari benda itu yang selalu ada di saku almamaternya segera mengeluarkannya. Ia tak sanggup untuk memeriksa Allena, alhasil ia memberikan penlight atau senter medis itu kepada Elang.
Elang mengarahkan benda itu ke mata Allena. Kembali menegang. Elang hanya bisa menunduk saat Alleta menangis semakin deras.
“Udah gue duga, kecelakaan itu pasti berakibat parah buat mereka,” batin Elang.
“Lena kenapa, Lang?” tanya Febi pelan.
“Lena … Lena mengalami kebutaan.”
Deg. Tiga kata singkat dari Elang berhasil membuat air mata semuanya jatuh kembali. Gadis itu tak lagi bisa melihat, bahkan untuk sekadar menemukan sebuah kebahagiaan.
“ENGGAK! LENA GAK MUNGKIN BUTA! HIKS … INI PASTI GARA-GARA LO ‘KAN, AL?! DI MANA LO AL?! ARGH! GUE GAK MAU BUTA!!!” teriak Allena sambil berusaha memberontak namun, sekujur tubuhnya terasa nyeri akibat kecelakaan itu.
“Gue juga gak mau kehilangan dia, Len,” batin Alleta semakin sesak.
“Maaf ….” Satu kata tulus dari mulut Alleta. Allena menyadari bahwa ada Alleta di sampingnya. Telinganya yang masih bisa mendengar, ia menghadap ke arah sumber suara yang tadi ia dengar.
“LO BAHAGIA ‘KAN LIHAT GUE KAYAK GINI?! JAWAB LO! LO SENGAJA ‘KAN BUAT KITA CELAKA TERUS LO SENENG SAAT GUE BUTA, IYA?! JAHAT LO, AL! GUE BENCI BANGET SAMA LO!!!” maki Allena seraya meraih rambut Alleta. Allena menarik keras rambut Alleta membuat Alleta meringis kesakitan.
Elang dan Bagas yang melihat itu langsung memisahkan keduanya. Bagas yang sedari tadi mematung di ambang pintu langsung mendekat dan memeluk Allena. Sedangkan Nadin, ia masih tak percaya dengan hal yang ia dengar dan lihat.
“Lena, tenang, ya! Al gak salah kok, ini semua udah takdir Tuhan,” ucap Bagas berusaha mengendalikan emosi Allena.
Gadis itu sesenggukan sambil bersandar di dada bidang Bagas, membuat baju yang Bagas kenakan basah karena air mata gadis itu.
“Gue cape sama lo, Al. Kenapa lo gak bisa berhenti buat gue rapuh, hah?! Dulu lo ambil kasih sayang mama dan papa, buat mereka benci sama gue, buat gue dijauhin banyak orang, buat gue bener-bener menyendiri, buat gue benci untuk pulang ke rumah. Dan sekarang? Lo hancurin hidup gue dengan kebutaan gue?! Bahkan lo gak izinin gue melihat kebahagiaan sekalipun, Al! Hiks … hiks …,” lirih Allena tanpa merubah posisinya.
“Lena gue minta maaf, hiks … gue gak ada niatan. Gue juga gak tahu kalau akhirnya bakal kayak gini, Len, hiks … maafin gue, maaf …,” lirih Alleta sambil meraih lengan Allena namun, dengan cepat gadis itu menepisnya.
“Halah! Bilang aja lo seneng lihat gue kayak gini, ‘kan?!” maki Allena.
“Lena, CUKUP!” sentak Elang yang sudah tak tahan.
“Lo jangan salahin Al terus! Ini semua kecelakaan! Asal lo tahu! Dia lebih rapuh dari lo, dia lebih sakit dari lo! Bahkan kecelakaan ini buat dia kehilangan darah dagingnya! LO TAHU ITU?! ITU HAL YANG MENYAKITKAN BAGI SEORANG IBU, LENA! Tapi Al berusaha baik-baik aja.”
KAMU SEDANG MEMBACA
RAPUH!
Novela Juvenil"Kaca yang telah retak memang tak bisa disatukan kembali. Sekalipun bisa, wujudnya tak 'kan seutuh dulu. Mudah rapuh, seperti kata maaf pada sebuah penyesalan." Setelah kepergian Papanya, sahabatnya, serta luka yang tak kunjung sembuh, lantas kerap...