Hari ini hari ke-4 Allena dan Alleta dirawat usai kecelakaan itu. Alleta tetaplah Alleta, yang bersikeras terhadap suatu hal yang ia inginkan. Ia terus memaksa Elang dan Febi untuk melakukan yang ingin ia lakukan untuk Allena.
“Plis, Kak, cuma ini caranya gue kasih kebahagiaan buat Lena.” Alleta terus merengek ingin segera mendonorkan matanya untuk Allena namun, Elang melarang keras Alleta untuk tidak melakukan hal itu.
“Enggak, Al. Aku gak akan izinin kamu! Nanti siang aku berangkat ke Subang buat nemuin temen aku. Aku yakin, banyak cara lain, gak harus kamu yang berkorban.” Alleta hanya bisa tersenyum tipis melihat pengorbanan suaminya.
Sesuai ucapan Elang, siang ini ia berangkat ke Subang untuk menemui temannya. Alleta, Nadin dan Bagas berkumpul di ruang rawat Allena. Keadaan Alleta sudah jauh lebih baik dari Allena, luka-lukanya sudah mulai mengering, begitu pun bekas operasi di perutnya namun, Bagas tetap memerintahkan Alleta untuk berjalan menggunakan kursi roda karena ia tak mau dimarahi abangnya.
Alleta prihatin dengan keadaan Allena. Sedari tadi gadis itu hanya terdiam dengan tatapan kosong. Sekalipun ada yang mengajaknya bicara, gadis itu tetap menatap nanar ke depannya.
Bagas dan Nadin pamit untuk membeli makanan untuk mereka, sedangkan Alleta masih di kursi rodanya tepatnya di samping brankar Allena. Allena hanya duduk sambil bersandar di kepala brankar, bingung hendak melakukan hal apa.
Allena tersentak saat lengan mulus milik kembarannya menggenggam lengannya erat sambil berkata, “Len, maafin gue,” lirih Alleta yang tak bisa lagi menahan air matanya.
“Jujur gue benci lo, Al, lo yang ambil semua kebahagiaan gue, tapi gue sadar, itu semua bukan murni kesalahan lo. Jadi, jangan diungkit lagi, ya?” pinta Allena, gadis itu hanya tak ingin mengungkit masa-masa dirinya sangat terpuruk.
“Tapi gue tetap ngerasa bersalah, Len. Hm, apa yang bisa gue lakuin biar gue gak dihantui rasa bersalah terus?” ucap Alleta.
Allena tersenyum lebar. “Buat gue bahagia, dengan cara yang lo punya.”
Deg. Alleta mengerti sekarang apa yang harus ia lakukan. Ya, ia tak mungkin menunggu Elang yang belum tentu membawa kabar baik sepulang dari Subang.
“Maafin gue semuanya,” batin Alleta.
**
“
Ma, Lena benaran mau dioperasi? Siapa yang donorin matanya, Ma? Kenapa orang itu baik banget sama Lena? Lena mau ketemu orangnya, Ma, Lena mau ucapin terima kasih sama dia. Terus dia nanti gimana, Ma? Masa dia gak bisa lihat nantinya.”
Pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari mulut Allena semakin membuat Nadin sesak.
Nadin tak bisa berbuat banyak, begitu pun dengan Bagas, karena menurut mereka semua orang berhak atas apa yang mereka lakukan.
“Dia anak mama juga, Len,” batin Nadin.
“Kamu tenang, ya! Kamu berdoa aja sama Allah biar dilancarkan semuanya,” ucap Nadin.
Satu jam berikutnya operasi untuk mata Allena telah dipersiapkan. Alleta yakin setelah ini Allena akan semakin membencinya namun, hanya ini yang bisa Alleta laukan untuk mengembalikan kebahagiaan Allena yang telah lama hilang.
“Gue sayang lo, Len, semoga nantinya lo lebih bahagia dengan mata gue. Meskipun kelak gue gak bisa lo bahagia dengan tangan gue, setidaknya gue bisa tahu lo bahagia dengan mata gue,” batin Alleta sambil menatap kembarannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAPUH!
Fiksi Remaja"Kaca yang telah retak memang tak bisa disatukan kembali. Sekalipun bisa, wujudnya tak 'kan seutuh dulu. Mudah rapuh, seperti kata maaf pada sebuah penyesalan." Setelah kepergian Papanya, sahabatnya, serta luka yang tak kunjung sembuh, lantas kerap...