Hari ini adalah hari kedua Allena terbaring lemah di atas brankar rumah sakit. Bagas, Alleta, mereka berdua terus berkata tanpa jawaban sepatah kata pun dari Allena. Bagas dan Alleta samasama keras tak ingin meninggalkan Allena sendirian di sini, hingga pada akhirnya Bagas memutuskan untuk bergantian menjaga Allena, begitu pun dengan sekolah, mereka berdua bergantian untuk izin kepada pihak sekolah.
Alleta, kini menatap nanar kamar Allena yang tak ada penghuninya itu. Nadin tak pernah menanyakan, karena ia pun tak peduli dengan anak gadisnya yang satu itu.
“Len, kenapa lo tuh baik banget sih dulu? Kenapa lo gak coba untuk melawan? Hiks … kenapa lo lebih memilih memendam sendu daripada mencari kebahagiaan?” Alleta duduk di pinggir ranjang Allena, menatap ke arah boneka berukuran sedang … banyak goresan dan bercak darah yang kering di sana, sangat persis dengan kejadian yang pernah Alleta lihat dengan mata kepalanya sendiri saat Allena mencoba untuk bunuh diri.
“Maafin gue, lo rapuh karena gue, lo tersiksa karena gue, dan penyesalan itu gak akan mengubah kerapuhan lo ‘kan, Len? Gue terlambat, mestinya lo yang sadarin gue sejak dulu,” gumam Alleta lirih, masih dengan tatapan kosong.
Alleta bangkit namun, ia menjatuhkan sebuah benda, sebuah buku berwarna abu-abu lengkap dengan pulpennya.
“Buku diari?” gumam Alleta.
“Jadi, selama ini Lena hanya mengungkapkan semuanya lewat goresan pena? Bahkan dia gak berani untuk cerita sama gue.” Alleta semakin merasa bersalah. Ia kembali duduk untuk membaca buku diari itu.
Lembar awal, hanya tertera tiga kata, “Aku ingin kebahagiaan!” Deg. Dada Alleta kembali sesak, padahal itu baru halaman paling depan. Lanjut ke halaman kedua yang cukup panjang. Alleta membacanya hingga tanpa sadar derai air mata kembali membasahi pipinya.
(btw, ini aku ambil dari podcastku, kalau mau menikmatinya dengan nada, silakan cek di IG @dind.ny podcast RINDU, dan dengarkan dalam kesunyian, selamat mencoba! )
Aku hanyalah insan bisu, membiarkan titik sendu, terus menggelora dalam kalbu. Menatap ingin, yang selamanya hanya ‘kan menjadi angan semata. Bukan aku tak ingin menciptakan titik temu itu benar-benar kembali lagi. Hanya saja, mustahil untuk dipertemukan kembali dalam nyata. Aku kehilangan lagi, atas rindu yang belum sepenuhnya usai. Atas pilu, yang masih mendominasi dalam kalbu.
Tuhan, mengapa Kau renggut sayap pelindung dan sandaran itu dariku? Mengapa harus keabadian, yang menjadi tembok penghalang terbesar untukku? Kerinduan itu kian menggebu, tanpa aku bisa melihat sayap itu dalam pembatas dinding tebal dari-Mu? Aku sayang dia, tanpa dia meminta untuk diucapkan di napas terakhirnya. Aku mencintai sayap pelindung itu, tanpa aku meminta balasan untuk dicintai kembali.
Tuhan, izinkan titik temu itu benar-benar kembali lagi … meski hanya satu detik yang Kau ciptakan untukku melihat bayangnya. Meskipun hanya hadir dalam sapa, tanpa bisa kumelihatnya.
Tuhan … aku tak ingin menjadi gelar Sang Gadis Pilu, aku hanya ingin titik temu itu kembali untukku dan sayap pelindungku. Meskipun itu mustahil, tapi kuharap itu benar-benar terjadi, Tuhan … aku rindu, sayap pelindungku, yang telah pergi menuju surga-Mu.
Selama ini aku selalu berharap, agar bisa dipertemukan kembali untukku mengadu sendu yang telah mendominasi. Namun, hingga detik ini titik temu itu belum dapat kugapai. Apa aku harus pergi dulu, untuk bisa dipertemukan kembali dengan sosok itu? Sudah kesekian kalinya aku mengadu SAKIT, Tuhan, apa belum cukup untukku dipertemukan dengannya?
Tuhan … izinkan sendu ini segera berakhir, agar rindu … tak semakin mendominasi dalam kalbu. Agar sendu, kian terobati setelah kumengadu.
Sayap pelindungku telah hilang, tolong jangan biarkan sandaranku pun Kau ambil untuk kedua kalinya, Tuhan! Biarkan aku pergi lebih dulu darinya! Aku tak ingin kembali terluka. Aku sayang mereka, meskipun balasan itu hanyalah mimpi.
Mungkin kehadiran sosok itu menjadi awal tawa itu tercipta, dan kumohon, biarkan tawa itu abadi meski tak ada rasa, biarkan tawa itu terus terukir meski tak sebesar luka. Aku akan kuat, hingga pada saatnya nanti … waktu memintaku untuk berhenti menjadi gadis kuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAPUH!
Roman pour Adolescents"Kaca yang telah retak memang tak bisa disatukan kembali. Sekalipun bisa, wujudnya tak 'kan seutuh dulu. Mudah rapuh, seperti kata maaf pada sebuah penyesalan." Setelah kepergian Papanya, sahabatnya, serta luka yang tak kunjung sembuh, lantas kerap...