“Dor!” Allena tersentak saat lengan kekar menyentuh bahunya.
Bagas, lelaki itu melihat Allena sedang termenung di belakang rumah Febi, dengan jahilnya mengagetkan Allena dan langsung memeluk gadis itu dari belakang.
“Alleta gimana? Dia mau ‘kan menikah sama bang Elang?” tanya Allena, Bagas langsung duduk di samping gadis itu.
“Dia enggak bisa nolak. Karena sekarang dia bukan cuma mikirin egonya, tapi juga mikirin janinnya. Gue kira mama lo akan marah-marah kayak gue ke bang Elang, tapi ternyata enggak, mama lo justru menyambut baik, kayak kebalikan banget kalau lagi sama lo,” ujar Bagas sambil menyandarkan kepalanya di bahu Allena tanpa penolakan dari gadis itu.
“Mama akan berubah baik jika menyangkut Alleta,” lirih Allena.
Bagas menatap gadis itu tanpa mengubah posisinya. “Jangan sedih gitu, dong! Katanya mau belajar mandiri tanpa mama,” ujar Bagas.
“Ih, enggak! Gue cuma kangen Al aja, dia apa kabar, Gas?” Pertanyaan Allena sukses membuat Bagas bungkam sesaat.
Beberapa hari lalu, Alleta masuk rumah sakit karena depresi ringan ditambah ia meminum obat-obatan yang membantunya untuk tenang sejenak namun, Bagas tak mau membuat Allena khawatir.
“Al baik kok.” Bohong. Bagas hanya tak mau membuat gadisnya merengek ingin segera dipertemukan dengan Alleta.
“Beberapa hari lalu Lena sempat lihat kalian di rumah sakit. Al kenapa? Bagas bohong, ya? Sebenarnya Al kenapa-kenapa, ‘kan?”
Benar saja dugaan Bagas, gadis ini pasti tahu sesuatu sampai bertanya seperti itu.
“Hm, anu—itu, Al cuma kecapean. Dia hampir pingsan karena debat sama mamanya.”
Ucapan Bagas tak sepenuhnya salah, Alleta memang terlalu lelah menghadapi Nadin sendirian namun, bukan itu masalah utamanya.
“Kapan gue bisa ketemu Al, Gas?” tanya Allena sambil menatap bola mata milik Bagas.
“Besok mau? Atau pas mereka nikah aja? Mereka nikah tiga hari lagi,” ucap Bagas.
“Besok aja deh, ya? Gue belum siap ketemu mama lagi.”
“Jangan dendam sama mama lo! Bagaimanapun dia tetap mama lo,” ujar Bagas. Allena gemas, ia menarik hidung Bagas hingga empunya meringis kesakitan.
“Apa, sih! Sakit sa—eh, Len,” kekeh Bagas.
“Sa? Nama siapa?”
“Gak jadi, bukan siapa-siapa, kok,” ujar Bagas sambil mengacak-acak rambut Allena.
“Sayang, Len, bukan nama orang,” batin Bagas.
“Lena sayang banget sama mama meskipun mama gak pernah sayang sama Lena. Dulu Lena pernah janji, kalau ada orang yang bisa buat mama sayang ke Lena, Lena akan belajar sayang sama orang itu,” ujar Lena, Bagas hanya tersenyum menanggapinya.
“Dan gue udah janji akan bantu lo buat disayangin mama lo, Len,” batin Bagas.
Keesokan harinya Bagas menepati janjinya. Ia sudah menghubungi Elang agar mengajak Alleta ke dekat danau yang Bagas maksud. Orang tua mereka sedang disibukkan dengan persiapan pernikahan Alleta dan Elang, makanya tak ada yang mengekang Alleta.
“Kok ke danau, Gas? Mau ngapain?” tanya Allena saat Bagas menyuruhnya turun di pinggiran danau.
“Mau nyemplungin lo,” celetuk Bagas sambil terkekeh. Allena hanya memutar bola matanya malas.
“Mau ketemu Al-lah, Len-Len! Dia ke sini sana bang Elang, sebentar lagi mereka datang, kita duduk aja di sana, ya?” ajak Bagas sambil menunjuk ke pinggiran danau tersebut. Suasana begitu indah, Bagas dan Allena mendapatkan waktu berdua cukup lama sebelum kedatangan Alleta.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAPUH!
Ficção Adolescente"Kaca yang telah retak memang tak bisa disatukan kembali. Sekalipun bisa, wujudnya tak 'kan seutuh dulu. Mudah rapuh, seperti kata maaf pada sebuah penyesalan." Setelah kepergian Papanya, sahabatnya, serta luka yang tak kunjung sembuh, lantas kerap...