Sedari tadi, Allena terus termenung di dalam kamarnya. Ia belum siap kehilangan Bagas. Ia belum siap untuk melalui duri itu sendirian. Air matanya tak bisa dihentikan, setiap tetesnya tak ‘kan mengikhlaskan Bagas. Allena pikir, mungkin Bagas hanya butuh waktu sendiri, setelah itu ia akan kembali menjadi Bagas yang ia kenal. Namun, nyatanya tidak seperti itu.
“Besok gue harus ke rumah Bagas buat minta maaf,” gumam Allena sambil menghapus air matanya.
Allena merogoh ponselnya. Menghubungi Bagas, tetapi hanya ada suara operator yang mengatakan ponsel Bagas tak aktif. Allena semakin terisak, mengapa semuanya sesulit ini?
“Bagas, please, jangan salah paham! Hiks … gue bukan gak sayang lo, tapi emang kita gak bisa bersama,” lirih Allena dalam lamunannya.
“Gue pengin kita tetap bersama tanpa ada rasa lebih, Gas, bukan menghindar kayak gini.”
“Gue gak mau kita sama-sama sakit oleh rasa lebih itu, gue sayang sama lo, hiks … tapi kita gak bisa terjebak dengan rasa ini.” Allena menghapus jejak air matanya dengan kasar.
Besoknya, Allena berangkat seperti biasa, ia harap hari ini Bagas masuk sekolah dan ia akan bertemu dengan Bagas untuk meminta maaf.
Kursi yang Bagas tempati kosong, padahal bel masuk sudah berbunyi. Allena melirik kursi itu sambil menahan sesak.
“Apa Bagas gak masuk gara-gara masalah kemarin?” gumam Allena. Sakit. Pertengkaran itu hanya karena kesalahpahaman.
Sampai waktu istirahat pun, Allena tak melihat Bagas di mana pun, ia memutuskan untuk pergi ke kantin sejenak menghilangkan dahaganya.
Ketenangannya terganggu oleh kedatangan Sekar dan CSnya. Allena hanya membiarkan Sekar membullynya tanpa berniat melawan ataupun meminta untuk berhenti.
“Woi, cupu! Mana Bagas?!” tanya Sekar dengan nada tinggi sambil mendudukan dirinya di meja.
“Gue gak tahu,” cicit Allen palan.
“Halah! Gak usah banyak drama deh, lo! Lo, ‘kan? Yang buat Bagas pindah?!” Deg.
“A—apa? Pindah?” tanya Allena pelan, air matanya mendesak keluar.
Bagaimana mungkin, hanya karena permasalahan kemarin Bagas sampai pindah sekolah? Setidakmau itukah Bagas untuk dekat dengan Allena lagi?
“Iya, pindah. Tadi pagi dia di ruang kepala sekolah. Lo ‘kan yang buat dia pergi?! Ngaku lo, cupu!” bentak Sekar.
“Gu—gue gak tahu.” Allena hendak beranjak namun, lengan Sekar dengan sigap menahannya.
“Lo gak bisa lolos gitu aja, cupu!” cicitnya.
“Please, gue lagi gak mood buat berantem. Gue mau kejar Bagas!” geram Allena.
“Lo pikir gue peduli? Gue aja gak bisa dapetin Bagas, itu artinya lo juga gak akan pernah bisa! NGERTI LO?!”
Allena hanya terdiam, pikirannya terus tertuju pada lelaki itu, ia harap Bagas tak benar-benar pindah sekolah.
Plak! Sekar menampar Allena keras hingga gadis itu tertunduk sambil memegangi pipi kanannya. Tak tanggung-tanggung, Sekar menjambak rambut Allena hingga gadis itu hanya bisa menangis. Hal ini membuat seisi kantin merasa iba dengan Allena. Mereka ingin membantu, tetapi mereka takut dengan gadis bernama Sekar itu, hingga salah satu dari mereka berinisiatif memanggil sang kembaran Allena.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAPUH!
Novela Juvenil"Kaca yang telah retak memang tak bisa disatukan kembali. Sekalipun bisa, wujudnya tak 'kan seutuh dulu. Mudah rapuh, seperti kata maaf pada sebuah penyesalan." Setelah kepergian Papanya, sahabatnya, serta luka yang tak kunjung sembuh, lantas kerap...