Baru saja beranjak beberapa langkah … “Aw!” pekik Alleta ketika rasa sakit di perutnya kembali datang. Elang melihat itu, dengan cepat ia menompang tubuh Alleta agar tak tumbang.
“Astagfirullah!” pekik mereka bersamaan.
“Al kamu kenapa? Astagfirullah,” lirih Elang sambil memegangi bahu dan tangan Alleta.
Alleta meremas kuat lengan Elang yang menggenggamnya untuk menyalurkan rasa sakit yang menjalar.
“S—sakit, Kak, aw!”
Tanpa menunggu lama, Elang langsung menggendong Alleta menuju rumah sakit. Meskipun ia seorang Dokter namun, ia bukan spesialis kandungan yang mengerti sepenuhnya tentang kandungan.
“Tahan, Al! Kamu jangan banyak pikiran dulu!” ujar Elang sambil memasukkan Alleta ke dalam mobilnya.
Allena dan Bagas ikut beranjak, mereka khawatir dengan Alleta tanpa mempedulikan Nadin yang masih menangis. Allena tahu Nadin pasti akan menyesal karena sudah mengusir Alleta meskipun itu refleks dari emosinya. Alleta memang bisa terbilang temperamental jika menyangkut orang-orang yang ia sayang namun, sejauh ini, ini adalah pertengkaran terbesarnya dengan sang mama.
“Gas, gue takut Al kenapa-kenapa, hiks …,” lirih Allena yang kini sedang di jok belakang motor Bagas, sedangkan Bagas, lelaki itu masih fokus mengikuti mobil abangnya yang sangat cepat.
“Udah lo tenang dulu aja! Al gak akan kenapa-kenapa, kok,” ujar Bagas berusaha menenangkan.
Sesampainya di rumah sakit, Elang ikut masuk untuk memastikan istri dan anaknya baik-baik saja. Namun, di luaran malah Allena yang tak mau tenang.
“Lena lo tenang dulu, ya! Di dalam udah ada bang Elang juga yang bantu nanganin,” ujar Bagas sambil mengelus rambut Allena yang sekarang berada di dada bidangnya.
“Hiks … Lena takut Al kenapa-kenapa.”
Dada Allena sesak, mungkin karena Alleta adalah kembarannya, seolah ia ikut merasakan hal yang sama lewat nuraninya.
“Sini duduk dulu! Tenang dulu, jangan mikir macem-macem!” ujar Bagas sambil menggiring Allena untuk duduk di kursi tunggu di depan ruang UGD.
“Semoga kejadian itu gak lo lakuin lagi, Al,” batin Bagas, ia masih ingat saat Alleta masuk rumah sakit karena terlalu banyak meminum obat-obatan tanpa resep Dokter.
“Bagas, Al kenapa lama banget, hiks … hiks …,” lirih Allena. Sudah setengah jam mereka menunggu Elang keluar namun, lelaki itu masih belum keluar juga dari ruang UGD.
Tak lama, pintu ruang UGD itu terbuka, menampakan sosok Elang dengan seorang perawat yang langsung menghampiri Allena dan Bagas.
“Bang Elang, gimana keadaan Al?” tanya Allena yang langsung menghampiri Elang.
Mata Elang sembab, bisa Allena tebak bahwa lelaki ini juga sangat khawatir dengan Alleta.
“Janinnya lemah. Dia sering minum obat-obatan tanpa resep Dokter. Al bandel banget, katanya dia juga pernah masuk rumah sakit karena hal ini, tapi masih aja dilakuin,” ujar Elang sedikit sendu.
Allena sontak melirik ke arah Bagas. Jadi, waktu itu Bagas berbohong soal Alleta?
“Bagas, antar gue ke rumah!” pinta Allena dingin, mau tak mau Bagas menuruti keinginan gadis ini.
Allena berjalan cepat menuju kamar Alleta, entah ke mana perginya Nadin, menyesali perbuatannnya, mungkin?
Allena menggeledah laci di kamar Alleta. Benar saja, banyak obat-obatan yang Alleta simpan di sana. Allena bukan orang bodoh, ia mengerti kegunaan obat itu, terlebih lagi ia anak kelas IPA yang sedikit mengerti tentang obat-obatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAPUH!
Teen Fiction"Kaca yang telah retak memang tak bisa disatukan kembali. Sekalipun bisa, wujudnya tak 'kan seutuh dulu. Mudah rapuh, seperti kata maaf pada sebuah penyesalan." Setelah kepergian Papanya, sahabatnya, serta luka yang tak kunjung sembuh, lantas kerap...