Allena Mutiara Agatha, mulai detik ini harus merubah semua kebiasaannya. Allena, mulai saat ini dipaksa kuat untuk tetap bertahan hidup di Kota Bandung ini. Pagi ini, Allena sudah mulai bekerja membantu Febi di rumah sakit, mungkin sekadar membantu namun, itu sebagai rasa terima kasih Allena untuk Febi yang sudah mau menolongnya.
“Bagas apa kabar, ya? Al juga? Gue akan temuin kalian setelah keadaan membaik,” gumam Allena sambil tersenyum sebelum ia berangkat menuju rumah sakit.
Di sisi lain, Bagas melihat mamanya yang sedang bersantai, tak ada kegiatan saat ini. Seperti hari kemarin, Bagas memilih manja kepada mamanya, karena hanya dia-lah yang bisa mengerti Bagas.
“Kenapa, nak?” tanya Tania yang melihat Bagas berjalan lunglai menghampirinya.
“Bagas bingung, Ma,” lirih Bagas.
“Bingung kenapa? Masalah pacarmu itu?” tanya Tania, Bagas menunduk, bukan masalah Allena, tetapi masalah kekangan yang diberikan Nadin.
“Ma, kalau Mama enggak salah, terus dipaksa tanggung jawab, apa yang akan Mama lakuin?” tanya Bagas, menatap bola mata mamanya itu.
Tania mengernyit, Bagas anak baik, meskipun nakal namun, Bagas tak seburuk itu, tetapi Bagaimana mungkin putranya ini diperlakukan seperti itu?
“Apa yang terjadi, Nak?” tanya Tania halus.
“Bagas dipaksa tanggung jawab yang bukan kesalahan Bagas. Mamanya maksa, dia terus ngekang Bagas karena gak mau anaknya nanggung malu sendirian,” jelas Bagas tanpa menutupi apa pun.
Tania mengusap halus kepala Bagas, sesekali mencium puncak kepala Bagas.
“Nak, kalau kamu gak salah, buktikan! Kamu bantu dia buat cari tahu siapa pelaku aslinya. Kalau kamu diam aja, sama aja kamu membiarkan diri kamu sendiri buat terlarut dalam masalah ini.”
Benar saja, hanya dengan mamanya-lah ia mendapatkan solusi. Bagas langsung pamit menuju rumah Alleta, ia akan membantu wanita itu menemukan titik terang demi kebaikannya dan juga Alleta.
Pikirannya tak bisa berbohong, ada rasa sesak kehilangan Allena namun, sudah ke mana-mana ia mencari, tetapis sampai sekarang belum juga membuahkan hasil.
Alleta mengetahui kehadiran Bagas di depan rumahnya, ia dengan cepat menghampiri lelaki itu yang berdiri di dekat teras rumahnya.
“Udah ada kabar tentang Lena, Gas?” tanya Alleta sambil menghampiri lelaki itu.
“Belum. Gue udah cari ke mana-mana, gue kira dia udah balik ke rumah ini, tapi ternyata belum. Gue bingung, Al, sebenarnya Lena pergi ke mana.”
Alleta menepuk pundak Bagas, karena ia tahu apa yang Bagas rasakan, kehilangan. Alleta lebih sakit daripada Bagas, ia lebih tertekan daripada Bagas.
“Buat apa lagi Anda datang ke sini?! Atau Anda berubah pikiran dengan perkataan Anda kemarin?!” Suara itu membuat Bagas dan Alleta menoleh bersamaan, Nadin rupanya.
Awalnya Bagas enggan untuk meladeni Nadin namun, demi masalahnya cepat selesai, mau tak mau ia harus berhadapan dengan wanita berhati iblis ini.
“Mama udah dong, Ma! Kenapa sih Mama ini selalu bersikeras dengan keinginan Mama?! Mama sadar gak apa yang Mama lakuin itu malah buat anak-anak Mama semakin terluka!!” Sudah sekian lama Alleta bungkam, kali ini ia tak mau harga dirinya dan Bagas terinjak-injak begitu saja oleh Nadin.
“Selama ini Al begini karena Mama kalau Mama mau tahu! Al cape, Ma! Al butuh pelampiasan! Al butuh sandaran untuk nenangin Al. Tapi papa udah gak ada, dan harusnya Mama yang jadi sandaran buat Al dan Lena, tapi apa yang Mama lakuin?! Semuanya malah buat Al dan Lena pengin pergi lebih cepat dari waktu yang Tuhan berikan!”
Bagas tercengang dengan perkataan Alleta, Nadin sebenarnya sesak dibentak oleh anak kesayangannya sendiri namun, mau bagaimana lagi? Semua sudah terlanjur rapuh, bahkan hancur berkeping-keping sampai nyaris tak terbentuk lagi.
“Puas, Ma?! Puas buat Lena pergi dan menderita di luaran sana?! Puas buat Al hancur dan buat orang lain terlibat masalah ini?!” Nadin hanya diam, ia kehabisan kata-kata oleh amaran Alleta saat ini.
“Kalau Mama belum puas, tolong lampiasin semuanya ke Al, Ma! Jangan ke Lena! Al sakit lihat Lena disakitin terus sama Mama kalau Mama mau tahu!”
“Al …,” panggil Nadin lirih, setetes air matanya berhasil lolos tanpa seizinnya.
“Kalau Al boleh milih, Al lebih baik ikut papa saat papa dan Mama dulu mau berpisah. Tapi sayang, Tuhan memilihkan maut untuk memisahkan papa dan Mama. Dan Al pengin, Al pengin banget ikut papa agar Al gak terus merasa tertekan di sini.”
Keadaan Al saat ini benar-benar rapuh, pipinya sudah menjadi lautan air mata. Ia bukan ingin menjadi anak pembangkang namun, ia juga ingin memiliki keluarga akur meskipun sudah tak utuh.
Bukan hanya dadanya yang sesak, perut Alleta seolah ikut sesak. Alleta memagangi perutnya erat, sesekali meringis, Bagas yang di dekatnya pun dengan cepat menyanggah tubuh Alleta agar tak tumbang.
“Aw! Sa—sakit,” lirih Alleta sambil memegangi perutnya.
“Astagfirullah, Al!” Bagas kaget saat Alleta semakin melemah.
Tanpa meminta izin Bagas langsung membawa Alleta ke rumah sakit terdekat. Nadin ingin mencegahnya namun, Bagas dengan cepat membawa Alleta masuk ke dalam taxi yang ia hentikan.
“Al? Astagfirullah, jangan buat mama khawatir, nak,” gumam Nadin setelah kepergian Bagas dan Alleta, air matanya sedari tadi terus saja mengalir namun, ia belum bisa sepenuhnya menerima Allena.
Di sisi lain, Bagas berusaha menenangkan Alleta yang setengah sadar. Kesadaran Alleta memang nyaris hilang namun, air matanya terus saja membasahi pipinya. Bagas menjadikan pahanya sebagai bantalan untuk Alleta yang sedang kesakitan.
“Bertahan ya, Al!” Hanya itu kalimat yang bisa Bagas ucapkan, ia khawatir dengan Alleta, tetapi ia juga khawatir dengan gadis yang ia cintai, Allena.
Sesampainya di rumah sakit, Bagas langsung menggendong Alleta menuju UGD yang disambut oleh suster sambil membawa brankar. Bagas menunggu Alleta di luar ruang UGD, ini kedua kalinya ia melihat wajah yang sama tetapi orang yang berbeda di ruang UGD. Seketika ia teringat Allena, gadis itu tak boleh memikirkan hal yang menyebabkan lukanya kambuh kembali. Bagaimana jika itu terjadi? Bagas tak tahu di mana keberadaan Allena saat ini.
Lama Dokter menangani, sekitar 15 menit Dokter itu keluar dari ruang UGD.
“Keluarga pasien?” panggil Dokter bername tag Ria itu, Bagas menghampirinya.
“Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya Bagas.
“Keadaannya sangat lemah, terutama kandungannya, hal ini disebabkan karena pasien terlalu banyak pikiran serta mengonsumsi obat-obatan dalam dosis lebih. Saya harap, Anda menjaga istri Anda agar tidak stres, ya.”
Deg. Perkataan itu tak sengaja terdengar oleh Allena. Allena memang bekerja di rumah sakit itu mengikuti Febi, ia tak sengaja melihat Bagas membawa Alleta tadi, pembicaraannya dengan Dokter Ria sangat menyayat hati Allena.
“Jadi, Al dan Bagas udah menikah?” gumam Allena, dadanya bergemuruh menahan sesak, air matanya berhasil lolos dari pelupuk matanya.
Allena tak kuat, ia memilih kembali ke ruangan Dokter Febi. Ia memilih enggan untuk menemui Bagas dan Alleta saat ini. Bukan karena ia tak sayang dengan kembarannya namun, ia belum siap sakit hati untuk ke-sekian kalinya.
“Kalau emang semua yang pernah gue miliki bisa buat lo lebih bahagia, gue ikhlas, Al, gue harap gak ada lagi yang lo rebut setelah mama, papa dan Bagas,” gumam Allena, tangannya mengusap kasar matanya yang sudah sembab.
“Semuanya udah benar-benar hilang. Mungkin gak akan kembali, tapi Lena harap, masih ada setitik kebahagiaan untuk Lena.”
***
Huaa gimana ini makin rumit?😭
Malam ini cukup 7 part dulu yaa!
Mau next?
Vote dan komen yang banyak oke!
See you!
KAMU SEDANG MEMBACA
RAPUH!
Roman pour Adolescents"Kaca yang telah retak memang tak bisa disatukan kembali. Sekalipun bisa, wujudnya tak 'kan seutuh dulu. Mudah rapuh, seperti kata maaf pada sebuah penyesalan." Setelah kepergian Papanya, sahabatnya, serta luka yang tak kunjung sembuh, lantas kerap...