8 ♡ Al VS Lena🕊

4.5K 378 21
                                    

Jangan lupa vote, yaa:')---

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jangan lupa vote, yaa:')
---

Alleta Mutia Agatha, ternyata masih mempunyai sisi kemanusiaan ketika melihat kembarannya dibentak, disiksa dan disakiti oleh ibunya sendiri. Ia merasa bersalah atas kerapuhan Allena namun, nyatanya kesadarannya tak membuat Nadin bergeming untuk tetap menyakiti Allena.

Saudari kembar Allena kini sedang mencurahkan isi hatinya pada sosok pria yang menjabat sebagai ‘pacar’ Alleta. Stevano Erlangga, murid kelas 12 IPS 1 ini diketahui sudah 2 bulan enyusuri suka duka bersama Alleta. Ini kebahagiaan Alleta, ini teman Alleta untuk membagi kisah tawa maupun sendunya namun, bagaimana dengan Allena? Gadis itu nyatanya tak pernah tahu arti bahagia yang sebenarnya. Hanya tawa paksa yang terukir di sudut bibirnya, bukan bahagia yang benar-benar tercipta.

“Lo ada masalah apa, sih?” tanya Stev.

“Lena, ternyata dia selama ini disakiti mama karena gue, gue gak tahu ujungnya jadi seperti ini, selama ini dia sering kunci kamar ternyata cuma untuk mencurahkan kerapuhannya, dia sakit, Stev, cuma kasih sayang mama obat untuknya,” ucap Alleta, Stev merangkulnya, ia tahu ini sekolah yang merupakan tempat umum namun, jika hati sudah berkata sendu, jati diri bisa apa?

“Bukannya itu yang dulu lo mau?” cerca Stev. Awalnya ia senang dengan Alleta yang sudah sadar, tetapi ia sangat mengingat saat Alleta sangat menginginkan gadis itu hancur karena rasa cemburunya pada orang tua mereka.

“Nggak, Stev! Gue cuma dikelabuhi rasa yang sebenarnya gak ada! Selama ini yang gak pernah dapat kasih sayang orang tua tuh nyatanya Lena, justru gue yang dititipkanlah yang terlindungi dan tersayangi.” Alleta benar-benar bodoh, air matanya perlahan lolos begitu saja. 

Nasi sudah menjadi bubur, cinta sudah menjadi benci, lantas apa yang dapat kita lakukan untuk mengembalikan masa yang jelas-jelas tak akan terulang ke-sekian kali? Berpendapat sepihak memang boleh namun, jika pendapat itu malah berbanding terbalik dengan realita, tampaknya hanya penyesalan-lah yang tersisa.

“Yaudah gini aja, nanti kita coba ngomong baik-baik sama Lena-nya, ya,” saran Stev, Alleta menuruti.

“Kamu mau ‘kan bantu aku?” ucap Alleta.

Stev gemas, ia mencubit gemas hidung Alleta. “Iya dong, sayang, ih!” Alleta kembali tersenyum, kebahagiaan memang sesederhana itu baginya, berbeda dengan Allena yang sangat sulit menemukan kebahagiaan itu.

“Aku antar kamu ke kelas, ya? Atau mau ke kelasnya Lena dulu?” tanya Stev ketika di depan gerbang.

“Antar ke kelas Lena dulu, mau? Tadi niatnya mau berangkat bareng, eh kamu jemput,” ucap Alleta.

“Yaudah ayo! Hapus dulu tuh air matanya, nanti jelek.” Alleta tersipu, benar-benar mudah untuk mencipkan tawa itu.

Sesampainya di kelas Allena, gadis itu sedang mengerjakan tugasnya di tempat duduknya bersama lelaki yang kemarin ia temui di UKS—Bagas. Rupanya kedua insan itu mulai menempatkan diri, lebih dekat setelah Bagas memahami keadaan Allena yang merupakan gadis rapuh. Awalnya Bagas berniat untuk meninggalkan, tetapi ia paham bahwa ia harus merangkul orang-orang seperti Allena.

“Len,” panggil Alleta saat sampai di hadapan Allena.

Allena menatap jengah. Kemudian fokusnya kembali pada buku itu dan Bagas, sedangkan Bagas tak mengerti mengapa Allena bersikap seperti ini.

“Al, gue mau ngomong, tadi pagi gue mau ngomong lo malah udah ber—”

“Berisik! Ngapain sih lo di sini? Kelas lo bukan di sini, ‘kan?!” sarkas Allena, Alleta semakin dibuat merasa bersalah atas hal ini.

“Len, gue serius,” lirih Alleta, berharap bisa meluluhkan gadis ini.

Brak! Allena menggebrak meja di hadapannya sambil berdiri mengimbangi Alleta.

“Gue udah bilang kata maaf lo itu gak akan mengubah semuanya, Al!” Allena mengeraskan suaranya, semua mata di kelas itu tertuju pada gadis yang dulunya sangat kesepian sepeninggal Sherin.

“Gue akan tetap dicap sebagai anak pembawa sial oleh mama! Lo paham itu, ‘kan?!”

“Tapi, Len—”

“Bahkan pertolongan lo aja gak dihiraukan sama mama! Terus lo mau apa lagi?! Mau buat gue tambah tersiksa, hah?!” Tangan Bagas terulur mengelus bahu gadis ini, begitu juga dengan Stev yang langsung merangkul Alleta yang sudah menangis sejak Allena membentaknya.

“Gak usah so paling tersalahkan deh, Al! Lo gak pernah tahu seberapa banyak tetesan air mata gue yang tumpah beberapa tahun terakhir ini!” cibir Allena, Alleta berdecak, ia meninggalkan kelas itu sambil berlari menyusuri koridor yang ramai.

“Len, Al tuh bener-bener nyesel, bahkan selama ini gue gak pernah liat dia nangis karena masalah keluarga, lo tega sama dia?” ujar Stev, ia memutuskan untuk meluruskan daripada harus mengejar Alleta.

“TERUS KE MANA AJA DIA SAAT GUE BUTUH SANDARAN DULU, HAH?! Apa dia kasihan? Apa dia peduli? Apa dia lakuin suatu hal sama gue dulu?!” sarkas Allena. Stev bisu, mungkin memang benar kata Allena, Alleta itu egois … selalu ingin dikasihani tanpa mau mengasihani. 

“Jawab, Kak Stev yang terhormat! Ke mana aja pacar lo saat gue rapuh, hah?!” Allena benar-benar dikuasai emosi, bahkan lengan Bagas yang sedari tadi menepuk bahu Allena pun tak berpengaruh akan hal ini.

“Kak, lebih baik lo pergi dulu deh, biarin Allena dan Alleta merenungkan kesalahan mereka dulu,” ujar Bagas, Stev mengangguk lalu melangkahkan pergi dari kelas itu.

Seusai Stev pergi, cairan bening yang sedari tadi ditahan itu akhirnya lolos juga dari sudut mata Allena. Bagas mengerti, ia membawa Allena kembali duduk di tempat duduknya.

“Udah, jangan nangis lagi! Sebentar lagi bel masuk bunyi.” Tangan Bagas sendiri-lah yang menghapus air mata itu, Allena tersentak, sontak menatap pria itu yang juga menatapnya. Mencari arti dari tatapan itu, Allena mengerti sekarang kenapa Bagas peduli dan mau menerima kehadirannya.

“Makasih,” ucap Allena sambil tersenyum.

“Nah gitu dong senyum, jangan nangis terus! Air mata itu ada batasnya loh, kalau habis gimana?” kata Bagas.

“Gue pinjem air mata lo buat nangis, haha!” Akhirnya, setelah sekian lama Bagas melihat tawa dari gadis itu meskipun bukan tawa bahagia.

“Lo cantik kalau ketawa, sayangnya sendu terlalu mendominasi.” Bagas berkata saat tatapannya kosong, seolah tatapan itu di luar kesadarannya, Allena tersenyum penuh arti dengan ucapan singkat itu.

“Makasih udah bilang cantik, jujur lo cowok pertama yang bilang kata itu,” bisik Allena tepat di telinga Bagas. Bagas yang awalnya menatap kosong pun menoleh ke asal suara.

“Hah? Serius?”

Allena mengangguk. “Bahkan papa gue sendiri gak pernah ucapin hal itu, sejak keretakan itu hadir … gak ada lagi kata kasih sayang antara gue dan orang tua.” Allena kembali menatap sendu, hadirnya Bagas ia harap sebagai obat penyembuhnya setelah sekian lama berjuang menciptakan tawa.

“Udah, sekarang biar gue yang gantiin posisi itu,” ujar Bagas.

“Ma—Maksud lo?”

-

-

-

Apa maksud Bagas?

Sampai sini, ada yang bisa nebak?

Jangan lupa vote, komen dan share cerita ini, yaa^^

RAPUH! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang