Pagi ini, Bagas kembali ke rumah Alleta untuk memberi kabar setelah ia mencari Allena seharian kemarin. Belum ada hasil yang Bagas dapatkan seharian kemarin namun, ia tak pernah menyerah untuk menemukan gadis itu.
“Gimana, Gas? Lena udah ketemu?” tanya Alleta saat Bagas sudah duduk di halaman rumah Alleta, halaman yang beralaskan rumput terawat.
Bagas hanya diam atas pertanyaan Alleta. Matanya fokus menatap ke depan, seolah bertanya kepada semesta harus ke mana lagi ia mencari gadis rapuh itu.
“Gue harap Lena baik-baik aja,” ucap Bagas tanpa menatap ke arah Alleta yang berada di sampingnya.
“Lena itu kuat mentalnya, tapi enggak dengan fisiknya,” ujar Alleta, tanpa mau mengungkapkan hal yang sebenarnya terjadi kepada dirinya sendiri, ia hanya ingin Allena kembali, kembali untuk mengajarkan dirinya untuk tetap tabah dan kuat.
“Andai masih ada papa, pasti semuanya gak akan sehancur ini. Andai masih ada kakek, pasti semuanya masih tetap utuh seperti dulu. Sayang, gue hanya bisa berandai tanpa pernah bisa mengembalikan itu semua,” lirih Alleta. Setetes air mata membasai matanya, Bagas melihat itu, akhir-akhir ini Alleta berubah semakin rapuh, terlebih lagi ia harus menerima keadaan bahwa masa depannya harus hancur hanya karena sebuah kesalahan.
“Lo yang sabar, ya! Mungkin di dunia lo gak bisa mendapatkan kebahagiaan yang utuh, tapi lo harus tetap berharap, semoga lo dan Lena bisa mendapatkan kebahagiaan yang sangat utuh di akhirat kelak,” ujar Bagas sambil menepuk bahu Alleta. Alleta tersenyum atas perlakuan Bagas, bukan karena ia ada rasa namun, ia senang Allena kelak tak jatuh kepada pria yang salah. Bagas baik, lebih baik dari yang ia kira, bahkan lelaki ini tak membencinya setelah ia menuduh hal yang tak semestinya.
“Sekarang gue paham, kenapa kedua orang tua gue selalu berusaha baik-baik saja,” batin Bagas, sejak kehadiran Allena kala itu hatinya ternyuh ketika melihat kerapuhan gadis kecil yang ia temui di dekat danau.
Alleta dan Bagas terlonjak saat menyadari kehadiran Nadin. Wanita separuh baya itu mendekat ke arah mereka berdua, Alleta sudah siap dengan cacian Nadin nantinya.
“Eh, ada Nak Bagas. Masuk dulu, yuk!” ajak Nadin, Bagas dan Alleta tentu saja saling pandang, ada apa dengan Nadin?
Alleta mengangguk pertanda Bagas harus mengikuti macan ini daripada ia mendapatkan keributan.
Bagas dipersilakan duduk oleh Nadin, sepertinya wanita itu menyambut hangat kedatangan Bagas namun, apa sebabnya?
“Jadi, kapan kamu akan menikahi Alleta?” Deg. Jantung Bagas bergemuruh saat ini juga. Ia harap, wanita ini berubah menjadi pria, tangannya sangat gatal ingin memukuli orang yang berbicara seperti itu.
Wajahnya memerah, napasnya terengah, tangannya gemetar serta mengepal erat, Alleta menyadari hal itu, ia tahu Bagas tak terima dengan keputusan Nadin yang sepihak itu.
“Kapan, Nak? Jangan buat Al malu sendirian!”
“Kalau kamu lelaki baik, maka sebaik-baiknya lelaki adalah lelaki yang mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya.”
Brak!
Bukannya menjawab, Bagas memukul keras meja di depannya sambil bangkit dari duduknya. Alleta dan Nadin terlonjak kaget dengan sikap anak muda ini.“Sudah berapa kali saya bilang?! Saya bukan pelakunya! Kenapa Anda keras kepada sekali?! Kenapa Anda bersikeras untuk saya bertanggung jawab perbuatan kotor itu?!” bentak Bagas.
“Anda tidak tahu diuntung rupanya! Saya sudah baik ingin melindungi kedua putri Anda, tapi apa yang saya dapatkan?!”
“Ck! Sampai kapan Anda terus mengekang Alleta sedangkan Anda membuang Allena begitu saja?! Anda pikir Allena sampah yang seenaknya Anda buang?! Anda pikir Alleta mainan yang seenaknya Anda paksa untuk melakukan hal yang Anda inginkan?!”
KAMU SEDANG MEMBACA
RAPUH!
Ficção Adolescente"Kaca yang telah retak memang tak bisa disatukan kembali. Sekalipun bisa, wujudnya tak 'kan seutuh dulu. Mudah rapuh, seperti kata maaf pada sebuah penyesalan." Setelah kepergian Papanya, sahabatnya, serta luka yang tak kunjung sembuh, lantas kerap...