Seminggu kemudian .…
Nyatanya, keinginan dan harapan Bagas dan Allena yang berharap tak akan ada lagi yang menyakitkan harus melebur setelah sosok itu menampakan diri. Sekar Novitasari, murid kelas 11 IPS 3 itu sudah terkenal dengan kenakalannya. Gengnya adalah anak-anak yang sering masuk BK. Sekar tak segan-segan untuk membully habis-habisan seseorang yang berani mendekati seseorang yang ia sukai. Bagas contohnya, lelaki tampan yang sempat menjadi perbincangan hangat di sekolahnya ini menarik perhatian Sekar, sampai-sampai Allena sendiri yang harus merasakannya.
Siang ini, Allena sedang duduk sendirian di kantin dengan juice alpukat di depannya. Allena hanya mengaduk-aduk minuman itu sambil melamun memikirkan Alleta. Ia takut, jika pikirannya tentang Alleta menjadi kenyataan, lantas apa kabar dengan masa depan Alleta kelak?
Ketiga gadis yang famous dengan kenakalannya itu menghampiri Allena tanpa Allena sendiri ketahui.
Byur!
Gadis bernama Sekar itu dengan sengaja menumpahkan minuman yang ia bawa ke kepala Allena. Allena hanya diam sambil memejamkan matanya, seolah menerima perlakuan ketiga gadis itu.
“Gak ada respons, guys? Kurang, ya?” cicit Sekar, dengan cepat ia mengambil minuman Allena lalu menumpahkannya ke baju Allena.
“Ups! Sorry, sengaja.” Ketiganya terbahak bersamaan, membuat seisi kantin memperhatikan Allena yang tengah menjadi bahan bullyan. Biasanya, seseorang yang berhadapan dengan Sekar itu langsung menunduk, sedangkan Allena, ia hanya diam menunggu apa yang akan ia lakukan selanjutnya.
“Udah?” tanya Allena dingin, membuat ketiganya melotot, kenapa gadis ini tak marah?
"Gue tanya sekali lagi, UDAH PUAS LO PADA?!” teriak Allena di akhir kalimat.
“Gue belum puas sebelum lihat lo bener-bener menderita, Allena,” bisik Sekar dengan senyum devilnya. Plak! Lengan Sekar mendarat sempurna di pipi Allena hingga meninggalkan bekas memar.
Lagi, Allena hanya diam tanpa melakukan pembalasan ataupun permohonan.
“Gue tahu niat busuk lo. Kalau lo mau Bagas, ambil aja kalau orangnya mau, jangan sampai ngerendahin harga diri lo deh dengan cara melakukan hal-hal murahan kayak gini. Basi tahu gak!” cerca Allena, ketiganya tercengang bukan main, pasalnya Allena terkenal dengan sikapnya yang lebih banyak diam daripada Alleta.
“Kenapa diam?! Kaget atau mati kutu pas tahu gue yang sebenarya?!” ujar Allena.
“Ck. Gue? Mati kutu berhadapan sama cewek cupu kayak lo? Sorry, bukan type gue.” Sekar melotot tajam, mengamati penampilan Allena, rambut dan bajunya bahkan sudah basah akibat tumpahan minuman tadi.
“Gue tahu kok lo tuh anak pembawa sial di keluarga lo. Gue tahu lo gak pernah diinginkan sama mama lo. Gue tahu lo sering lakuin hal-hal yang menyakiti lo. Gue tahu semuanya, cupu! Makanya lo jadi cupu kayak gini ‘kan?!” teriak Sekar. Dalam hati para penghuni kantin ingin berteriak, Allena cupu? Buta mata lo!
“Setidaknya kecupuan gue gak menghasilkan hal-hal murahan.” Plak! Bukan, bukan Allena ataupun Sekar yang menampar, melainkan Alleta yang tiba-tiba datang untuk membela kembarannya, sontak Sekar dan kedua temannya kaget bukan main.
"Eh, nenek lampir! Tuh mulut bisa diem gak sih sehari?! Lama-lama gue jahit juga lo,” cerca Riani yang tadi datang bersamaan dengan Alleta, sedangkan wajah Alleta sudah merah padam menaham amarahnya.
“Lo tahu ‘kan kalau gue marah kayak gimana?” ucap Alleta, memang, wanita ini sudah terkenal dengan amarahnya yang sangat hebat. “Gue peringatin sama lo, lebih baik lo pergi sendiri atau BK menunggu lo?” ancam Alleta, ketiganya mengendus kesal lalu berbalik.
“Urusan kita belum selesai. Gue yakin sakit hati lo yang sesungguhnya akan segera hadir, Allena,” bisik Sekar sebelum beranjak pergi.
“Lena lo gak disakitin sama dia, ‘kan?” ucap Alleta, Allena menggeleng.
“Astaga! Baju lo?!” decak Alleta. “Bener-bener tuh anak.” Alleta hendak beranjak namun, lengan Allena lebih dulu menahannya.
“Jangan! Ini bukan masalah besar, kok.” Alleta tahu Allena penyabar namun, apa kesabarannya tak ada batasannya jika dipermalukan di depan umum seperti ini?
“Yaudah lo ke kamar mandi, ya, nanti gue beliin seragam baru di koperasi,” ujar Alleta, sedangkan Allena dan Riani bergeges ke kamar mandi.
“Ri, bisa tinggalin gue sendirian di sini? Gue gak apa-apa kok, tinggal nunggu seragam aja.” Riani mengangguk, lantas Allena pun memasuki bilik kamar mandi.
Bukan ia menerima begitu saja perlakuan Sekar, hanya saja ia berusaha menahannya. Perkataan Sekar tadi sangat menyakitkan, apa pun yang berhubungan dengan keluarga itu nyatanya lebih menyakitkan bagi Allena.
"Gue tahu kok lo tuh anak pembawa sial di keluarga lo. Gue tahu lo gak pernah diinginkan sama mama lo.”
Perkataan itu terus terngiang untuk Allena. Membuat kerapuhannya kian bertambah usai sendirian di kamar mandi. Air matanya berhasil lolos, mulutnya seolah ingin berteriak, kakinya lemas seketika membuat Allena harus bersandari di pintu kamar mandi.
“Kenapa semua harus tahu? Kenapa bukan hal baik yang datang? Kenapa sakit lagi yang kauberikan, Tuhan?!” Allena memejamkan matanya, seolah mencari kebahagiaan yang pernah ia dapatnya namun, justru hal-hal yang menyakitkan-lah yang hadir dalam bayangnya.
“Andai, ada orang yang bener-bener sayang sama Lena seperti Lena sayang mama, Lena pasti bahagia banget, hiks ….” Mengeluh, bahkan Allena sudah lelah dengan air mata yang selalu menjadi temannya.
“Len?” teriak Alleta dari luar, mencari keberadaan Allena. Dengan cepat Allena menghapus air matanya.
“Iya gue di sini,” ucap Allena sambil membuka pintu kamar mandi itu, terlihat sekali matanya sangat sembab.
“Ini seragamnya, tadi Bagas yang beliin, terus ini juga minum dari dia buat lo katanya,” ujar Alleta.
“Hah? Kok bisa Bagas yang beliin?” tanya Allena.
“Tadi pas di koperasi gue lupa bawa duit di kelas, terus Bagas nanya ‘emang itu seragam buat siapa?’ ya gue jawab dong, terus sama dia dibayarin, yaudahlah, emang dia sesayang itu sama lo ‘kan jadi terima aja.” Allena tersenyum, ia memeluk hangat tubuh Alleta.
“Makasih, ya.”
****
Gadis sendu itu kini sudah kembali ke kelasnya, melihat Bagas yang sedang asik dengan ponselnya membuat Allena berinisiatif menghampirinya, beruntung kursi di samping Bagas kosong.
“Bagas,” panggil Allena setelah duduk di samping Bagas.
Lelaki itu menoleh dan mematikan ponselnya. “Hm? Kenapa? Kok senyum-senyum sendiri gitu,” kekeh Bagas.
“Makasih ya, seragamnya.” Bagas terkekeh, ternyata itu yang membuat Allena sesenang itu namun, ia tahu Allena usai menangis karena matanya yang sembab.
“Iya. Jangan nangis mulu, kantung matanya tambah bengkak tuh,” sindir Bagas, sontak gadis itu merampas ponsel Bagas untuk mengecek sebengkak itukah kantung matanya?
“Tapi tetep cantik,” bisik Bagas, gadis itu menoleh ke arah lain untuk menyembunyikan senyumannya.
“Kalau mau ketawa, ketawa aja lagi, gak usah so-soan cuek gitu,” sindirnya lagi, lama-lama jika seperti ini caranya jantung Allena akan terlepas dari tempat asalnya.
“Nanti pulang bareng ya, gue mau ajak lo ke suatu tempat,” ucap Bagas saat seorang guru telah memasuki kelasnya.
***
Sore ini akan menjadi sore yang paling bahagia dalam sejarah hidup Allena. Bagas berhasil, menciptakan tawa pada diri Allena. Namun, tampaknya kebahagiaan itu hanya sekejap, Allena mendapatkan telepon dari Allena yang diawali dengan isakan.
“Halo, Len, hiks ….”
“Astagfirullah! Al?! Kenapa?!” Bagas yang sedang duduk di samping Allena pun kaget ketika mendengar ucapan Allena yang begitu panik.
“Lo balik, ya, mama marah banget entah karena hal apa.” Allena langsung mematikan sambungan teleponnya, sangat jarang sekali mamanya marah kepada Alleta.
“Bagas, kita harus pulang.” Bagas mengangguk lalu menarik lengan Allena menuju motornya.
Sesampainya di rumah, Bagas yang panik pun ikut masuk ke rumah Allena atas permintaan Allena. Terlihat Nadin dengan wajah merahnya yang seolah menahan amarahnya itu menatap tajam kehadiran Allena dan Bagas.
“Duduk kamu!” suruh Nadin dingin, Allena dan Bagas pun duduk di dekat mereka.
Namun, bukannya amarah yang memuncak, Nadin justru menangis di depan mereka. Menghela napas sejenak untuk mengatur sesaknya, bahkan Nadin sendiri tak kuat mengatakannya.
“Ma, ada apa?” tanya Allena, sebab ia sangat jarang melihat Nadin menangis.
“Mama udah gagal ya jadi seorang ibu?” Allena dan Alleta belum paham, apa maksud Nadin?
Dengan gemetar, Nadin mengeluarkan sesuatu di sakunya, sebuah benda itu sontak membuat Allena dan Alleta terkejut, Allena menatap Alleta, mereka berdua sudah menangis saat itu juga. “Mama minta kalian jujur, ini punya siapa? Hiks ….” Belum ada jawaban, Bagas sendiri menatap kedua putri Nadin itu iba, tak menyangka jika perbuatan salah satu keduanya ada yang seperti itu namun, ia yakin Allena tak melakukannya.
“Sekali lagi mama tanya, tespack ini punya siapa?” tanya Nadin sesabar mungkin, keduanya malah menangis semakin deras sambil menundukan pandangannya.
“Lena, ini punya kamu, ‘kan?!” sarkas Nadin, Bagas melotot bukan main.
“Tolong jawab! Mama temuin ini semalam di kamar mandi. SIAPA YANG UDAH LAKUIN HAL RENDAHAN ITU?!” teriak Nadin. Sebagai ibu, tentu saja ia merasa gagal jika benar tespack dua garis itu milik anaknya, meskipun ia benci dengan Allena namun, sedikit masih ada rasa penyelasan, mungkin.
Brak! “Kalau kalian gak mau jawab, ma—“
“Itu punya Al, Ma.” Deg. Air matanya luruh seketika, tembok pertahanannya untuk membenci Allena seolah runtuh dengan pengakuan Alleta. Dada Nadin sesak, lemas seketika menjalar ke seluruh organ tubuhnya.
“Kenapa, Al?! Kenapa kamu lakuin itu semua?! Hiks … kamu tahu ‘kan itu zina?! Mama gak pernah ajarin kalian berdua buat senakal itu!” teriak Nadin.
Brak! Kali ini Alleta yang menggebrak meja di hadapannya, menatap sebal ke arah mamanya.
“Mama pikir selama ini Al sering pulang pagi untuk apa?! Mama pikir selama ini Al denger kembaran Al sendiri disakitin sama ibu kandungnya Al bisa bahagia?! Mama pikir, Al diem aja melihat kerapuhan Lena?!” teriak Alleta menggebu, bukan sepenuhnya salahnya, karena mamanya sendiri tak pernah mengerti tentangnya.
“Ma, Al cape! Al cape liat mama terus pilih kasih sayang antara Al sama Lena. Al pengin, Lena juga ngerasain di posisi Al meskipun saat kecil dulu Al lebih sering iri sama dia. Tapi Al sadar, keirian itu gak akan menghasilkan apa-apa. Dan Mama selalu salahin kepergian kakek dan papa itu karena Lena?! Ma! Al gak bisa denger semua itu! Al buntu! Al butuh pelampiasan.”
Setelah sekian lama, pada akhirnya kata-kata itu Alleta keluarkan di depan mamanya. Allena terisak semakin dalam, begitu pun Nadin, sedangkan Bagas hanya menunduk memahami keadaan keluarga ini, ia ingin pamit pun tak enak karena sudah terlanjur menyimak.
“Kalau begitu, itu anak siapa?” tanya Nadin. Deg. Alleta tak tahu harus menjawab apa, mencari jawaban ke sekeliling arah namun, ia benar-benar buntu saat ini.
“Siapa Al, siapa?! Jawab mama!” teriak Nadin.
“JAWAB, ALLETA!” Nadin menggoyangkan bahu Allena, membuat Alleta semakin panik dan buntu.
Tangan Alleta terulur untuk menunjuk seseorang, tangan gemetarnya tak bisa berbohong dengan sorot matanya yang enggan untuk menatap. “Di—dia.” Ucapan singkat itu berhasil membuat Allena jatuh sedalam-dalamnya.
Bagas mendongak, hal bodoh macam apa ini?!
“APA?! Al lo—“
“Kamu harus tanggung jawab, Nak,” ucap Nadin lembut.
“Saya akan tanggung jawab.”
Deg.
______
Holaaa gimana ini? Apakah benar Bagas yang ngelakuin hal sekeji itu??Btw, 18+ yang dimaksud di sini bukan adegan ya, tapi pembahasan mengenai hal itu.
Komen yang banyak biar cepet update dan tahu jawabannya di next part!
Bantu share juga, guyss❤️🥺
Thank you!!
KAMU SEDANG MEMBACA
RAPUH!
Roman pour Adolescents"Kaca yang telah retak memang tak bisa disatukan kembali. Sekalipun bisa, wujudnya tak 'kan seutuh dulu. Mudah rapuh, seperti kata maaf pada sebuah penyesalan." Setelah kepergian Papanya, sahabatnya, serta luka yang tak kunjung sembuh, lantas kerap...