48 ♡ Arti Bagaskara 🕊

2.2K 196 15
                                    

“ASTAGFIRULLAH, LENA?!” pekik Bagas saat melihat gadis itu menangis karena jari lengannya berdarah.

Bagas langsung duduk di atas brankar Allena, meraih lengan kiri Allena, lebih tepatnya jari telunjuk Allena. Bagas mengemut jari itu hingga darah di lengan Allena berhasil tak keluar lagi.

“Kok Ba—Bagas jorok, sih! Hiks … ke—kenapa jari Lena dimasukin ke mulut Bagas, kan kotor,” protes Allena tersenggal-senggal karena masih menangis.

“Gapapa, vitamin buat hati,” kekeh Bagas namun, Allena malah menangis semakin kencang.

“HUA!!!”

“Kenapa, hm? Masih sakit jarinya? Lagian Lena kenapa bisa gini? Memang Lena tadi ngapain aja?” ucap Bagas lembut.

“Lena … hiks … Lena tadi mau ambil buah-buahan di nakas, tapi hiks ... Lena gak tahu jadi malah kena pisau, hiks … Lena gak bisa lihat apa-apa, hiks … Lena udah gak berguna, HUAAA!!!” Tangisan Allena semakin menjadi, Bagas terkekeh sejenak dengan tangisannya yang menurutnya seperti bocah.

“Udah, ih, jangan nangis lagi! Gue udah di sini, lain kali kalau mau apa-apa tunggu ada gue dulu atau enggak tunggu mama Nadin dulu,” ujar Bagas.

“Tapi hiks … Lena gak bisa ngapa-ngapain, hiks … semuanya gelap hiks … gak ada yang bisa Lena lihat huaa …,” lirih Allena.

Bagas paham, sehancur itulah Allena, sampai-sampai gadis itu merasa ia tak lagi berguna di dunia ini hanya karena kehilangan pengelihatan di kedua bola matanya.

Bagas merengkuh gadis itu, mengucapkan kata-kata penenang untuk menyemangati gadis itu. Padahal, kemarin ia berusaha untuk ikhlas, tetapi setelah ia merasakan banyak kesulitan, Allena seolah merasa hidupnya harus ketergantungan orang lain. Allena membenci itu, karena sejak dulu ia lebih senang menyendiri daripada bergantungan pada orang lain, ya … terkecuali saat ia sudah bertemu dengan sosok Bagas.

“Lo tahu artinya nama Bagaskara?” ucap Bagas tiba-tiba saat tangannya memainkan rambut Allena. Gadis itu sedang terduduk tanpa pergerakan di atas brankar, sedangkan Bagas masih duduk di sebelah gadis itu di atas brankar yang sama.

“Matahari?” ucap Allena ragu, ia mengerti beberapa kata yang mengandung diksi.

“Yap, betul. Lo tahu apa tugas matahari di kehidupan?” tanya Bagas, lagi.

“Menyinari?” ucap Allena yang merespon perkataan Bagas.

“Pinter. Itu artinya, nama gue artinya menyinari. Gue punya lo, dan lo punya gue meskipun saat ini kita cuma sahabatan, tapi it’s okay itu udah lebih dari cukup. Matahari ini punya lo, Len, tugas gue menyinari. Cuma gue beda, kalau matahari tugasnya buat menyinari bumi dan isinya, sedangkan gue cuma mau menyinari lo. Mata lo udah gak bisa lihat, tapi lo masih punya mata gue buat menyinari hidup lo,” ujar Bagas. Sungguh, rona merah di wajah Allena tak bisa lagi tahan dengan perkataan manis Bagas.

“Bagas gak benci sama Lena karena Lena gak bisa balas perasaan Bagas?” tanya Allena takut.

“Kalau gue bisa benci sama lo, udah dari dulu gue tinggalin, Len, tapi sayang … rasa sayang gue ke lo lebih besar.” Bagas mencubit gemas pipi Allena, membuat gadis itu mendesis tak suka.

“Gas, gue pengin sekolah, tapi apa gue udah gak bisa sekolah lagi, ya?” gumam Allena. Bagas terdiam seribu bahasa dengan pertanyaan itu. Mana mungkin, Allena masih bisa sekolah seperti biasa dengan keadaannya seperti ini.

“Jangan mikirin itu dulu, ya! Pikirin diri sendiri dulu, biar cepet sembuh, biar cepet keluar juga dari rumah sakit,” ujar Baga, ia hanya tak ingin menyakiti hati Allena.

“Ekhem! Permisi Abang, Mba-nya … udah waktunya sarapan buat Lena-nya,” ujar Febi yang datang bersama Elang. Kedua Dokter itu terkekeh melihat kemesraan Allena dan Bagas.

“Ck! Ganggu aja,” cibir Bagas pada abangnya yang sedang menahan tawa. Bagas bangkit dari brankar untuk duduk di sofa bersama Elang.

Allena pun ikut terkekeh, meskipun ia tak bisa melihat, tetapi ia bisa menerka bagaimana raut wajah Bagas yang kesal dengan kedatangan mereka berdua secara tiba-tiba. Febi menyuapi Allena layaknya adiknya sendiri, sedangkan Bagas membuka obrolan dengan Elang.

“Al benaran mau lakuin itu, Bang?” tanya Bagas.

Elang terdiam sejenak, ia tak tega menolak Alleta, tetapi ia juga tak bisa menerima keputusan Alleta.

“Gue gak tahu. Dia kekeuh banget dari semalam, tapi gue lagi berusaha cari pendonor mata atau alternatif lain buat nyembuhin mata Lena,” ujar Elang pelan, kedua gadis di sana tak bisa mendengar pembicaraan kedua lelaki itu.

“Gue harap semoga ada jalan keluar secepatnya. Jujur, gue gak tega lihat Lena kayak gini, apa lagi Al yang baru aja kehilangan. Tadi pagi aja, Lena sampe ketusuk pisau pas mau ambil buah-buahan,” lirih Bagas sambil menyandarkan kepalanya di sofa, mendongak ke atas meminta jalan keluar.

“Gue juga berharap yang sama. Gue udah hubungi beberapa Dokter buat tanyain masalah pengobatan mata Lena. Setahu gue, ya … cuma donor mata itu, tapi gue juga gak tahu, siapa tahu ada pengobatan lain. Gue gak terlalu paham masalah pengobatan tentang kebutaan,” ujar Elang jujur.

Ck! Dokter kepaksa, jadi pas materi dari dosen gak semua ditangkap pas kuliah,” ejek Bagas sambil terkekeh.

Elang menggaruk tengkuknya yang tak gatal, sesekali ia mengingat alasannya untuk menjadi seorang Dokter.

“Ya—ya … kan tadinya gue mau jadi pebisnis, tapi malah nyasar ke Dokter. Yaudahlah, gue gak bego-bego amat kok pas SMA, nilai biologi sama fisika gue masih di atas delapan puluh,” ucap Elang sombong.

“Lagian nih ya, gue kira Dokter umum tuh cuma nanganin penyakit ringan, eh … tapi Febi bilang selagi kita bisa lakuin apa yang kita bisa buat nolong orang, why not, gitu deh,” ujar Elang lagi.

“Gue yakin lo bisa, Bang! Cari pengobatan lain biar Al enggak harus berkorban. Gue udah lihat sendiri gimana sulitnya jadi Lena, ya walaupun kalian berdua udah sah, tapi masa iya Al mau buta selamanya karena relain matanya buat Lena,” ucap Bagas.

“Gue juga gak tega, Dek. Apa lagi … kehilangan itu masih membekas,” lirih Elang.

“Gapapa, ikhlasih aja! Toh, nanti juga kalau udah saatnya, di perut Al ada ponakan gue lagi,” kekeh Bagas, abangnya ini bukan bocah kemarin yang tak mengerti ucapannya.

“Ye! Adik gue udah gede mikirnya sampe ke situ,” kekeh Elang sambil menonyor kepala Bagas.

“Woy! Asik amat,” teriak Febi sambil melempar kerupuk bekas bubur Allena tadi sambil menghampiri keduanya.

“Asik tuh ngomongin pasangan masing-masing, Feb, gak kayak lo … dari awal kuliah sampe sekarang masih aja jomblo,” ejek Elang.

Febi melotot tajam. “Wait two years, gue kasih undangan buat lo berdua,” ucap Febi tajam.

“Undangan apaan? Undangan ulang tahun?” kekeh Elang lagi, sedangkan Bagas hanya menggelengkan kepalanya melihat abangnya yang senang mengejek sahabatnya sendiri.

“Awas lo kalau kaget sama calon suami gue!” sarkas Febi.

“Paling gue ajak baku hantam kalau dia cuma PHP-in lo,” ujar Elang.

“Inget istri inget!” sosor Bagas, Elang langsung menyentil dahi Bagas.

“Gini ya, Bagaskara adik gue yang senang buat gue darah tinggi … gue sama Febi tuh dari awal masuk kuliah sampe sekarang hanya sahabatan. Menurut gue, sahabatan itu lebih permanen daripada pacaran yang ujung-ujungnya putus terus musuhan. Lagi pun, kriteria cowok dan cewek kita beda banget, jadi ya rasa kita cuma sahabat, dan gak akan berubah sampai kapan pun. Cukup jelas, adikku sayang?”

Bagas ingin muntah rasanya mendengar kalimat terakhir Elang namun, ia percaya dengan abangnya ini.

“Bentar, ini beneran Abang gue? Gile! Sejak kapan bisa ngomong panjang?!” Bagas kaget, pasalnya Elang sempat bersikap dingin karena masa lalunya. Elang mendengar perkataan Bagas hanya menatapnya tajam.

“Iya, Bagas, lagian gue gak bakal cinta sama cowok kulkas yang sekarang malah jadi bucin ke istrinya,” kekeh Febi.

“Jadi kulkas gara-gara cewek itu ya, Bang? Terus cair lagi pas lo buat em … buat kesalahan,” ucap Bagas hati-hati. Elang tak marah, karena memang itu murni kecelakaan.

“PINTER BANGET!”


-

-

-

Part besok akan lebih seru! Nadin akan menjelaskan semuanya. Kalian pasti kaget!

Mau tahu? Vote dan komen agar besok update cepat!

Thank you yaa atas semangat dari kalian!

Big love

RAPUH! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang