Jangan lupa vote:')
---“Nyatanya keretakan itu sulit untuk dipersatukan kembali jika luka sudah mendominasi.”
--
“Udah, sekarang biar gue yang gantiin posisi itu,” ujar Bagas.
“Ma—maksud lo?”
“Gue yang akan mencintai lo, seperti yang lo mau dari papa lo. Mungkin gak sebesar cinta lo ke mama dan papa lo, tapi gue tulus, Len." Bagas menatapnya lekat, tatapan itu seolah melupakan keadaan bahwa mereka sedang berada di keramaian.
Allena tak bergeming, ia masih kaget dengan perkataan Bagas yang menyatakan bahwa ia mencintainya. Kata yang ia harapkan terlontar dari mulut mama ataupun papanya.
"Ba—Bagas serius?" tanya Allena gugup.
"Gue emang pernah nakal, Len, tapi gue bisa berubah kalau nemuin cewek yang bisa buat gue nyaman sama satu cewek." Allena benar-benar bungkam, masih tak percaya dengan perkataan Bagas. Air matanya seketika berubah menjadi air mata bahagia, meskipun bukan bahagia yang ia inginkan.
"Ja—jadi?"
"Selamat pagi, Anak-anak!" suara familier itu bergema di kelas itu, membuat Bagas yang sedari tadi bertatapan dengan gadis sendu itu terpecahkan.
"Gue ke tempat duduk gue dulu, istirahat nanti kita ngobrol lagi," ujar Bagas, Allena mengangguk.
Pelajaran fisika sedang berlangsung namun, Allena masih saja tersenyum sambil memikirkan ucapan Bagas tadi. Mungkin, ini adalah awal tawa yang Tuhan kirimkan meskipun sesederhana itu. Bagas memperhatikan Allena dari tempat duduknya yang terhalang dua meja di depannya.
"Lena senyum-senyum sendiri? Karena ucapan gue tadi?" gumam Bagas, tanpa sadar dirinya ikut tersenyum ketika melihat gadis itu bersemu.
Bel istirahat berbunyi, baru saja Bagas hendak melanjutkan percakapannya dengan Allena yang tertunda ... Setya—teman sekelasnya memaksa Bagas untuk ikut sparing futsal.
"Len, gue mau futsal dulu. Nanti pulang bareng, ya," ucap Bagas sambil menahan lengan Setya. Allena mengangguk sambil tersenyum, membuat semangat dalam diri Bagas seketika bangkit.
Lama Bagas bermain, membuat Allena keluar kelas sejenak untuk melihat Bagas. Begitu gesitnya pria yang baru saja menyatakan cinta pada Allena itu bermain. Allena berinisiatif untuk membeli minuman untuk Bagas. Benar saja, pria itu menghampiri Allena dengan keringatnya yang sudah bercucuran.
"Hei, nungguin?" ucap Bagas sambil duduk di samping Allena di pilar depan kelasnya.
"Hm, ini minum," ucap Allena sambil menyodorkan minuman pembangkit ion.
Bagas tersenyum hangat. "Makasih, cantik."
"Sikap lo hangat, Len, itu yang buat gue gak bisa jauh dari lo. Gue nyaman. Gue harap lo rasain apa yang gue rasain," batin Bagas tanpa melepaskan tatapannya dari bola mata Allena.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAPUH!
Ficção Adolescente"Kaca yang telah retak memang tak bisa disatukan kembali. Sekalipun bisa, wujudnya tak 'kan seutuh dulu. Mudah rapuh, seperti kata maaf pada sebuah penyesalan." Setelah kepergian Papanya, sahabatnya, serta luka yang tak kunjung sembuh, lantas kerap...