Sore ini keluarga Vidirian berkumpul di kamar Bagas bersama Allena dan Febi yang tak diperbolehkan pulang dulu oleh Bagas. Bagas yang baru saja keluar dari balkon langsung menghampiri Allena, melepas rindu yang selama ini terpendam.“Jam lima ada yang mau Elang bicarain sama kalian semua, nanti Elang tunggu di ruang tamu,” ujar Elang.
Semuanya hendak bubar namun, Bagas menahan lengan Allena
“Di sini dulu.” Perkataan Bagas membuat semuanya menghentikan langkahnya. George dan Tania mengernyit, ada apa dengan Allena dan anaknya?
“Biasa, Ma, Pa, urusan anak muda,” kekeh Elang melihat raut wajah kedua orang tuanya.
“Jangan macem-macem lo, Gas,” kata Elang sambil menatap kesal wajah Bagas.
“Ck! Gue bukan kayak lo, Bang,” cibir Bagas dengan nada dingin, mereka semua bubar dari kamar Bagas, Febi yang masih belum mengerti pun meminta penjelasan di ruang kerja Elang, ternyata masalah ini adalah masalah yang pernah Elang ceritakan dulu.
Kembali ke Bagas dan Allena, saat ini Allena sedang termenung sambil duduk di sofa yang berada di kamar Bagas, sedangkan Bagas sendiri hanya memperhatikannya gadis itu dari pinggiran kasurnya.
“Lo tuh kenapa sih, Gas?! Dateng-dateng langsung pukulin Dokter Elang. Memang dia salah apa?” Bagas gemas dengan tingkah sok polos Allena. Entah itu benar polos atau hanya menutupi topengnya. Ia mendekati gadis itu tanpa melepaskan tatapannya.
“Abang gue udah jadi cowok brengsek, Len, dia emang pantas dapatin pukulan dari gue, atau kalau perlu dari papa juga nanti,” ujar Bagas, Allena semakin tak mengerti dengan situasi ini.
“Jangan sok jadi paling bener, deh! Tuh lihat, muka lo banyak lebam gitu,” cibir Allena namun, tak ayal, gadis itu mengambil kapas dan obat merah yang tersedia tak jauh dari keberadaannya.
“Gak usah! Nanti juga sembuh sendiri,” tolak Bagas secara halus.
“Udah, sini!”
Allena meraih wajah Bagas yang masih menatapnya, sudut bibirnya terluka akibat pukulan Elang. Sedangkan Bagas, lelaki itu malah tersenyum senang dalam hatinya karena mendapatkan perhatian dari Allena.
“Aw! Sakit, ih!” teriak Bagas saat Allena menekan kuat kapas itu.
“Lagian, jaga tuh mata! Jangan lirik-lirik!” peringat Allena sambil menghentikan aktivitasnya.
“Makasih udah perhatian, Lenlen,” kata Bagas sambil terkekeh kecil, Lena membeku pendapatkan panggilan spesial dari Bagas itu.
“Nanti bang Elang bakal jelasin semuanya tentang kenapa gue mukulin dia tadi. Dan satu hal yang perlu lo tahu, dia kakak gue, dia yang udah buat seseorang hancur,” kata Bagas, senyumannya seketika memudar mengingat perlakuan Elang yang sesungguhnya.
Allena terdiam cukup lama di samping Bagas, lelaki itu sudah terlajur lelah dengan kejadian hari ini, tampaknya pundak Allena adalah sasaran tepat untuknya bersandar.
“Ih, ngapain, sih?!” cicit Allena tak nyaman dengan kepala Bagas yang bersandar di pundaknya.
“Diem! Gini bentar, Len. Gue kangen banget sama lo,” ujar Bagas sambil memejamkan matanya, sedangkan Allena hanya acuh dengan sikap manis Bagas.
“Lebay,” cibir Allena namun, tangannya malah terulur untuk mengelus rambut Bagas.
“Andai lo itu milik gue, Gas, pasti gue nyaman-nyaman aja ketika lo berperilaku manis kayak gini. Sayang, lo bukan siapa-siapa gue, lo cuma orang yang hadir kala gue kesepian,” batin Allena sambil tersenyum miris.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAPUH!
Teen Fiction"Kaca yang telah retak memang tak bisa disatukan kembali. Sekalipun bisa, wujudnya tak 'kan seutuh dulu. Mudah rapuh, seperti kata maaf pada sebuah penyesalan." Setelah kepergian Papanya, sahabatnya, serta luka yang tak kunjung sembuh, lantas kerap...