Bagas memperhatikan dengan saksama kedua lelaki yang sangat ia kenali. Tangannya mengepal erat, rahangnya mengeras, matanya memburu ketika mengetahui lelaki berengsek yang selama ini ia cari.“Astagfirullah! Bang Elang?! Bang Noval?!” Emosi Bagas nyaris saja terlampiaskan saat itu namun, ia berusaha menahannya di depan Alleta.
“Al, kita pulang sekarang!” ajak Bagas, nada bicaranya seketika berubah dingin, Alleta takut akan hal itu.
“Ta—tapi, lo kenal orang itu?” Bagas tak bisa menjawab sekarang, ia menarik paksa lengan Alleta setelah mengucapkan terima kasih kepada pemilik club tersebut.
“Bagas, lepas! Lo kenapa, sih? Siapa orang itu? Lo kenal?” Lagi, pertanyaan itu malah membuat emosi Bagas seolah ingin meledak saat ini juga, tetapi Bagas rasa itu tak mungkin, ia tahu situasi dan kondisi saat ini.
“Gue bawa lo balik dulu, biar gue yang selesaikan,” ujar Bagas tanpa menatap Alleta.
Bagas mengemudikan motornya dengan kecepatan tinggi, ia benar-benar ingin cepat menghajar kedua lelaki itu. Ia yakin itu sebuah kecelakaan namun, bagaimana bisa abangnya sendiri yang melukai kembaran orang yang ia sayangi?
“Gas, please, jawab gue, siapa orang itu?” tanya Alleta sesabar mungkin.
Bagas menghentikan motornya kala sampai di depan rumah Alleta.
“Dia orang terdekat gue, dan gue janji sama lo, gue akan selesaikan hal ini secepat mungkin.”
Setelah perkataan itu, Bagas berlalu dari hadapan Alleta, Alleta yang dihantui rasa penasaran pun hanya bisa menunggu kabar selanjutnya dari Bagas. Ia yakin, Bagas bisa menyelesaikan persoalan ini.
Tujuan Bagas saat ini adalah rumahnya sendiri, ia tak peduli kedua orang tuanya akan memarahinya. Yang terpenting sekarang kondisi Alleta, ia tak ingin Alleta menanggung semuanya sendirian.
“Bagas, katanya kamu pulang telat, Nak?” tanya Tania saat Bagas sudah memasuki rumahnya namun, bukannya menjawab pertanyaan Tania, Bagas justru mencari seseorang dengan wajahnya memerah menahan amarah yang sedari tadi ia tahan.
“Bang Elang di mana, Ma, Pa?” tanya Bagas dengan nada dingin, kedua orang tuanya saling menatap, tak biasanya Bagas seperti ini.
“Ada apa, sayang? Kamu kenapa? Bang Elang sedang ada tamu,” ujar Tania, tanpa menjawab lagi Bagas langsung naik ke lantai dua, lebih tepatnya ke ruang kerja kakaknya itu.
“Bang Elang! Woi! Keluar lo, berengsek!” teriak Elang sambil menggedor-gedor pintu ruang kerja Elang.
Tania dan George hanya bisa menyaksikan bagaimana Bagas saat ini. Mereka berdua sama-sama tahu, Bagas seperti ini pasti ada alasan, apa lagi ia sampai menggunakan kata-kata kasar terhadap kakaknya sendiri.
Clek. Pintu itu terbuka, menghadirkan sosok Elang dengan almamater kedokterannya.
Bugh!
“Berengsek!”
Bugh! Bugh!
Baru saja Elang menutup pintu itu kembali, ia sudah dihadiahi tonjokan oleh adiknya sendiri. Nyaris saja Elang tersungkur, tetapi ia masih bisa menahannya.
“Bagas! Apa-apan sih, lo?! Ngapain lo nonjok gue tiba-tiba?!” bentak Elang tak terima.
“Lo bener-bener berengsek, Bang! Lo udah—”
Clek. “Ba—Bagas?”
Suara itu menghentikan perkataan Bagas. Bagas menoleh ke belakang, rasanya jantungnya ingin berhenti saat ini juga, gadis yang beberapa hari ini ia cari sekarang ada di hadapannya? Bagaimana bisa?
“Le—Lena?”
Bagas tak bisa berkata lagi, ia menghampiri gadis itu dan memeluknya. Allena kaget sebenarnya, tetapi sejak awal ia sudah menduga bahwa nama Viridian dari Elang ada kaitan keluarga dengan Bagas. Namun, di sisi lain ia bahagia bisa dipertemukan kembali dengan Bagas. Setetes air mata Allena berhasil lolos, begitu pun dengan Bagas. Pertemuan mereka seolah mengakhiri perjuangan Bagas untuk mencari sosok gadis ini.
“Len lo baik-baik aja, ‘kan?! Enggak ada yang sakit, ‘kan?! Lo ke mana aja, Len?! Gue nyariin lo dari kemarin-kemarin!” lirih Bagas setelah melepaskan pelukannya.
Tania dan George melihat ada kejanggalan di antara kedua putranya, mereka bergegas menghampirinya, Febi yang tak tahu apa-apa pun hanya bisa diam menyaksikaan.
“Lena gapapa. Maaf udah buat Bagas khawatir, Lena ditolong Dokter Elang sama Teh Febi beberapa hari lalu,” ujar Allena.
“Kak? Makasih udah nolongin Lena,”ujar Bagas pada Febi, Febi hanya mengangguk sambil tersenyum.
Namun, tatapan membunuhnya kembali ia sorotkan kepada Elang, lelaki itu belum sepenuhnya mengerti tentang mereka berdua.
“Ini ada apa, sih? Bagas, kenapa tiba-tiba mukulin Elang?” tanya George.
Bagas hampir saja lupa misi utamanya. Ia menyeret lengan Elang menuju balkon kamarnya, ia mengunci pintu pembatas balkon dan kamarnya itu agar tak ada yang mendengar perkataan mereka berdua.
“Kenapa, sih? Mau mukulin gue lagi? Salah gue sama lo apa sampai lo ngelunjak gini?” Elang melepaskan alamamater kedokterannya kemudian melemparnya ke sofa, ia menggulung lengan kemejanya, seolah ingin meladeni pukulan dari Bagas.
Bugh! Bugh!!!
Berkali-kali Bagas memukuli Elang tanpa menjelaskan kenapa ia melakukan itu. Elang tak terima jika terus tertindas seperti ini.
Bugh!
“Kurang hajar! Lo tuh bener-bener gak tahu sopan santun, ya?!” cerca Elang.
“Lo berengsek, Bang! Lo berengsek!!! Bisa-bisanya lo hancurin kembaran Allena!” teriak Bagas, semua orang menyaksikan mereka dari kamar Bagas tanpa bisa mendengar perkataan mereka. Allena sudah menangis sedari tadi melihat amarah Bagas yang begitu meluap, beruntung Febi ada di sampingnya untuk menenangkan.
“Lo udah hamilin cewek tanpa ada rasa tanggung jawab sama sekali, berengsek!”
Deg. Elang menyerah untuk hal ini, dari mana adiknya bisa tahu? Sedangkan, Elang berusaha menutupi semuanya dari keluarganya.
“Da—dari mana lo bisa tahu?” tanya Elang melirih, badannya sudah lemas ketika mengetahui wanita itu bukan hanya rusak, tetapi sudah hancur.
“Gue tadi ke club tempat dia datangi, niat gue cuma mau bantu dia karena gue terus didesak tanggung jawab sama mamanya, sedangkan gue gak melakukan itu. Dan gue pikir bajingan itu siapa, ternyata kakak gue sendiri?! Gue malu, Bang!!” maki Bagas, berkali-kali ia menahan kata kasar agar tak keluar, tetapi sudah tak bisa.
“Jaga ucapan lo! Gue ngaku gue emang salah! Tapi ini semua gak seperti yang lo pikirin! Ini kecelakaan, Bagas!” ujar Elang sambil menahan amaranya agar tak melukai adiknya.
“Tetep aja lo berengsek! Lo udah hancurin gadis orang!” maki Bagas.
Plak!
Elang menampar keras pipi Bagas, wajahnya merah padam menahan amarah.
“Iya gue berengsek! Iya gue bajingan! Gue jauh dari kata baik, TAPI GAK GINI CARA LO BICARA SAMA YANG LEBIH TUA! HARGAIN GUE SEBAGAI KAKAK LO!” bentak Elang.
“Argh!” Bagas mengelap wajahnya frustrasi, ia sudah dibutakan karena emosi. Setelah emosi Bagas mereda, ia kembali berkata dengan abangnya itu.
“Gue minta lo segera tanggung jawab, Bang! Kasihan dia, dia nanggung malu sendirian,” kata Bagas.
“Gue udah lama cari orang itu, Gas, tapi nihil karena gue gak tahu namanya, bahkan wajahnya aja gue gak terlalu ingat. Sekarang lo tunjukin di mana keberadaannya, gue akan tanggung jawab secepatnya,” tegas Elang, Bagas menghela napas lega mendengar keputusan Elang.
“Tapi sebelum itu, gue akan jelaskan semuanya ke mama dan papa juga, biar gak terjadi kesalahpahaman. Makasih lo udah nemuin cewek itu.” Bagas terharu dengan keputusan Elang, ia mendekat dan langsung memeluk Elang ala lelaki.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAPUH!
Fiksi Remaja"Kaca yang telah retak memang tak bisa disatukan kembali. Sekalipun bisa, wujudnya tak 'kan seutuh dulu. Mudah rapuh, seperti kata maaf pada sebuah penyesalan." Setelah kepergian Papanya, sahabatnya, serta luka yang tak kunjung sembuh, lantas kerap...