Bagaskara, lelaki itu masih berani menampakkan batang hidungnya di depan Nadin, toh, menurutnya ia tak mempunyai salah, jadi untuk apa takut dengan ancaman.
“Makasih udah nganterin, Bagas hati-hati di jalan,” ujar Allena sambil tersenyum.
Hari ini Bagas memaksanya pulang bersama. Sedangkan Alleta? Sahabatnya masih banyak yang peduli dengan wanita itu.
“Tunggu!” Suara itu menghentikan aktivitas Bagas yang hendak menancapkan gas motornya. Bagas kembali melepas helmnya, menatap wanita separuh baya menghampirinya dan Allena.
Plak! Dengan santainya, Nadin melayangkan tamparan di pipi Allena seolah tak ada kesalahan yang ia perbuat. Dan dengan bodohnya, Allena malah tersenyum tipis ke arah Nadin. Andai saja, Bagas berada di posisi Allena, pasti lelaki itu tak ‘kan mau ditampar begitu saja tanpa sebab.
“Lena! Kamu itu bodoh atau bagaimana, sih?! Kenapa masih dekatin calon suami orang, hah?!”
Deg. Allena tak salah dengar? Calon suami, katanya? Sejak kapan Nadin memutuskan untuk menikahi Alleta dengan Bagas? Ataukan karena Alleta belum menjelaskan semuanya kepada Nadin? Atau memang ini bagian dari rencana licik Alleta? Namun, Allena terus saja menyingkirkan prasangka buruh itu.
Allena menatap dalam Bagas, bersamaan dengan kedatangan Alleta dengan sahabatnya. Alleta mengernyit, baru juga pulang sekolah, mengapa ia disambut dengan keributan?
“Maaf, Tante, saya bukan pelakunya!” tegas Bagas, entah sudah berapa kali mulutnya mengatakan hal itu kepada Nadin.
“Tapi kamu harus menikahi Al!” paksa Nadin. Sungguh, Bagas geram dengan wanita separuh baya ini, bisa-bisanya seenak jidat menyuruh menikah. Ia pikir, menikah semudah membuang ludah?
“SAYA BILANG SAYA BUKAN PELAKUNYA! KENAPA ANDA MASIH SAJA MEMAKSA?!”
Huh. Bagas menghela napas dalam kala emosinya sudah menguasai dirinya. Bagas menderita temperamental, jadi jangan salah sekalinya ia tak bisa menahan amarahnya, bentakannya akab menyakiti orang lain. Ia benar-benar kehilangan kesabaran jika terus didesak seperti ini.
“Saya mohon, hiks … saya gak mau Al malu sendirian, hiks … kamu mau ‘kan bertanggung jawab?” lirih Nadin. Bagas menggeleng kasar, tak mengerti lagi dengan jalan pikir wanita ini sampai-sampa memaksa orang lain bertanggung jawab atas hal yang tak ia perbuat.
“Saya sayang Al, saya gak mau dia menanggung malu, hiks ….” Nadin melemas, air matanya sudah luruh sedari tadi. Sedangkan Allena, gadis itu menatap mamanya tak percaya, tanpa mau berurusan, Allena pun melangkah pergi menuju kamarnya.
Entah mereka masih meributkan masalah itu ataukah tidak, Allena memilih menyendiri melepaskan sesaknya. Sedangkan Alleta? Wanita itu masih mematung dengan keputusan mamanya. Ini semua salahnya, dia yang buat Bagas terhanyut dalam permasalahan yang seharusnya tak ia rasakan.
Alleta berpikir, serapuh apa Allena saat ini? Ia yakin, gadis itu sedang menahan sesak kala mendengar orang yang ia sayangi harus mempertanggungjwabakan hal yang bukan perbuatannya.
“Saya harap kamu berpikir ulang permintaan saya, Nak Bagas,” ujar Nadin lalu melangkah pergi.
Bagas menatap tajam Alleta. “Puas lo buat gue terseret ke dalam masalah lo?!” bentak Bagas. Ia tak ada pilihan lain untuk melampiaskan kekesalannya, ia tak mau membuat gadisnya kembali terluka olehnya.
“Sorry, Gas, hiks … gue bener-bener kotor, gue bener-bener bodoh, hiks … maafin gue dan mama.” Alleta tertunduk malu, ia tak menyangka mamanya akan mengambil keputusan itu.
“Terus lo maunya gimana?! Bukannya gue tega sama lo, Al, tapi emang nyatanya ini bukan salah gue! So, gue gak berhak mempertanggungjawabkan hal ini.” Alleta mengangguk paham, matanya terus saja mengalirkan bulir air mata yang tak bisa dihentikan.
“Pernikahan itu gak akan terjadi, Bagas. Gue juga gak akan mau menyakiti Lena. Lo boleh pergi sekarang, biar ini jadi urusan gue dan mama. Makasih udah banyak udah bantu, dan maaf karena kebodohan gue.” Alleta tak berniat mengusir, ia hanya ingin Bagas kembali tenang tanpa permasalahan. Sedangkan Bagas, bukannya ia tak ingin membantu, ia hanya tak ingin orang yang melakukan itu lari begitu saja.
“Gue siap bantu lo, Al, tapi bukan dengan cara seperti ini. Gue bisa bantu lo, buat cari tahu siapa pelakunya,” ujar Bagas sambil tersenyum hangat. Bagas tetaplah Bagas, seperti yang Allena kenal, sosok lelaki yang bisa terbilang idaman karena tak berani menyakiti wanita.
“Nanti gue hubungi lagi masalah itu, gue mau selesaikan masalah sama mama dulu, thanks ya.” Bagas mengangguk, sedetik kemudian lelaki itu beranjak pergi dari hadapan Alleta.
Di sisi lain, seorang gadis masih meratapi alur kehidupan yang sudah ia lewati hingga detik ini. Tak ada tawa yang mereka janjikan, hanya luka yang semakin merekah di hatinya. Sampai kapan? Entahlah, berharap terus pun tak akan bisa mengubah keadaan.
”Semua sudah berubah,” gumam Allena berusaha tenang, tanpa tangisan.
“Sejak papa pergi, semuanya semakin berantakan.”
“Sejak Sherin pergi, kesepian itu semakin menyakitkan, padahal dulu Lena dan Sherin sering meratapi kesepian itu, tapi sekarang rasanya beda, benar-benar sepi tanpa pegangan.”
Lagi, Allena tak bisa menahan air mata di pelupuk matanya. Sudah berapa banyak buliran air mata yang jatuh hari ini? Entahlah, saking banyaknya Allena lupa.
“Kenapa semua berlomba-lomba untuk menghilang, Tuhan?!”
“Kenapa semua orang berlomba-lomba menciptakan luka?!”
Semakin sesak, kala tak ada seorang pun yang menenami isakannya. Andai, keadaannya dan Alleta masih sama seperti beberapa minggu lalu, pasti kesenduan itu tak sedalam ini.
“Apa Lena harus kehilangan lagi?”
“Berapa banyak kehilangan yang harus Lena rasakan lagi untuk mencapai titik kebahagiaan, Tuhan?! Hiks … berapa lama lagi Lena harus menunggu?!”
Detik ini juga tangisannya semakin menjadi-jadi, tak ada uluran tangan untuk menghapus air matanya. Tak ada sandaran untuk meredakan tangisannya. Tak ada pegangan untuk menahan sesaknya. Semua itu harus Allena lalui sendirian, di kamar yang menemaninya selama tujuh belas tahun dengan asupan air mata yang tak lagi terhitung.
“Lena! Keluar kamu!!” teriak Nadin sambil menggedor-gedor pintu kamar Allena.
“Ada apa, Ma?” tanya Allena sambil menetralkan isakannya.
“Pergi kamu dari rumah ini!”
Deg.
---
Jangan lupa vote, komen dan share yaaa!
Gimana? Feelnya dapat enggak, guys?😭
Btw, Allena mau diusir, terus gimana nasibnya huaa😭
Lanjut next part yaa!
KAMU SEDANG MEMBACA
RAPUH!
Ficção Adolescente"Kaca yang telah retak memang tak bisa disatukan kembali. Sekalipun bisa, wujudnya tak 'kan seutuh dulu. Mudah rapuh, seperti kata maaf pada sebuah penyesalan." Setelah kepergian Papanya, sahabatnya, serta luka yang tak kunjung sembuh, lantas kerap...