"JANGAN HARAP SETELAH INI KAMU BISA BAHAGIA LAGI! DASAR ANAK PEMBAWA SIAL!"
BRAK!
Nadin menutup kasar pintu itu, menguncinya, membiarkan Allena merenungkan kesalahan yang sebenarnya bukanlah sebuah kesalahan. Padahal, baru kali ini ia merasakan tak kesepian, baru kali ini ia tahu bahwa bahagia itu sesederhana itu. Namun, mengapa Nadin tega merenggut kembali kebahagiaan Allena?
"Tuhan, kenapa Kau ambil kembali kebahagiaan itu? Hiks ... kenapa tawa itu kian beralih menjadi luka kembali?" Tangisnya kembali tumbah, tubuhnya tersungkur lemas di balik pintu.
Derai air matanya sama sekali tak meluluhkan Nadin, padahal, hampir setiap detik sudut mata itu mengeluarkan cairan bening.
"Lena pernah minta sama Tuhan buat kasih tahu Lena bahagia itu seperti apa, sayangnya Lena lupa ... untuk meminta agar Tuhan gak ambil kembali kebahagiaan itu, untuk tak mengubahnya menjadi luka kembali secepat ini."
Rapuh. Nyatanya, bahagia tak semudah yang orang lain kira. Nyatanya, tawa itu benar-benar sulit tercipta di atas kesunyian yang menerpa.
Gadis sendu ini sudah lelah jika harus berdebat kembali dengan ibu kandungnya, ia memilih beristirahat di tempat terindah yang pernah ia temui-kamarnya. Pintu yang terkunci dari luar membuat Allena terkurung dari dalam. Perutnya meronta ingin diisi, tetapi tak ada seorang pun yang peduli di dunia ini dengan kondisi Allena.
Di samping sakitnya menahan lapar, Alleta dan Nadin justru bersenang-senang di luaran sana.
Seolah tak ada rasa bersalah terhadap anak kandungnya sendiri, Nadin justru memanjakan Alleta sang kakak saat di luaran. Sedangkan Alleta, sebenarnya ia sedikit kasihan dengan Allena-adik kembarnya, tetapi apa yang dilakukan ibunya sama sekali tak bisa ia tangkal, ia tak bisa berbuat banyak atas perilaku ibunya."Laper, sesek," gumam Allena lirih setelah berbaring di kasur. Tangan kanannya kini memegangi perutnya yang sangat terasa perih, sedangkan tangan kirinya terulur untuk mengambil minyak angin di nakas.
"Mungkin kalau minum bisa meredakan sedikit perihnya," ucap Allena sambil membuka tas sekolahnya namun, minuman yang ia bawa tersisa sedikit.
"Yah, minumnya dikit lagi," keluh Allena namun, tak ayal, ia tetap mensyukuri nikmat Tuhan meski sekecil itu.
Allena bangkit, berjalan lunglai menuju pintu, berharap bisa terbuka setelah ia memaksa. Namun, nihil, pintu itu masih tertutup rapat dan terkunci tanpa bisa ia buka.
Tok ... tok ... Allena mencoba mengetuk pintu itu, berharap ibunya bisa mendengar lirihannya.
"Ma ... buka!! Hiks ... Lena lapar, obat asma Lena juga di dapur. Tolong buka, Ma! Hiks ...."
Hanya derai sunyi-lah saksi bisu Allena. Hanya suara jarum jam yang menjawab lirihan Allena.
"TUHAN! APA LENA HARUS MATI DULU BIAR MEREKA SAYANG SAMA LENA?!" teriak Allena.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAPUH!
Teen Fiction"Kaca yang telah retak memang tak bisa disatukan kembali. Sekalipun bisa, wujudnya tak 'kan seutuh dulu. Mudah rapuh, seperti kata maaf pada sebuah penyesalan." Setelah kepergian Papanya, sahabatnya, serta luka yang tak kunjung sembuh, lantas kerap...