"Saya akan tanggung jawab." Deg. Sontak perkataan Bagas meremukkan hati Allena, Alleta pun melotot tajam dengan perkataan Bagas tadi namun, nyatanya lelaki itu kembali melanjutkan perkataannyaa. "Saya serius akan tanggung jawab, jika memang itu perbuatan saya, tapi sayang, saya tidak tahu apa-apa hal ini."
"Apa maksud Anda?" ucap Nadin.
"Lena ke kamar duluan, permisi," ujar Allena sambil menatap sengit ke arah Bagas. Iya yakin, Bagas tak sebrengsek itu namun, mengapa hati kecilnya sempat berpikir bahwa benar Bagas adalah pelakunya?
Kini tersiksa Alleta, Bagas dan Nadin, masih terlihat jelas rauh wajah Alleta yang seolah ketakutan dengan tatapan Bagas. Ini bukan masalah kecil, ini sebuah pemfitnahan namun, Bagas tahu Alleta pasti mempunyai alasan di balik tuduhannya.
"Mama kecewa sama kamu, Al, mama gak nyangka anak gadis yang mama sayangi sudah rusak, hiks ...." Nadin menunduk, tak tahu apa yang harus ia perbuat untuk kali ini.
"Dan mama akan lebih nyesal kalau suatu saat Lena dan aku sama-sama hancur," sahut Alleta, Nadin terdiam sejenak, apa yang harus ia lakukan setelah semua ini tejadi? Menyesal? Untuk apa? Tak akan mengembalikan semuanya, bukan?
"Mama mau ke kamar dulu. Kamu renungin apa yang mau kamu lakuin setelah ini, Al," ujar Nadin, kemudian ia menatap ke arah Bagas. "Dan kamu, saya tahu kamu anak baik. Kalau kamu memang benar baik, tanggung jawab adalah jalan satu-satunya,"ujar Nadin.
"Ta-tapi, Bu, saya tidak melakukannya! Bertemu dengan Alleta pun cuma di sekolah!" bantah Bagas.
"Biar waktu yang menjawab kejujuranmu. Saya tinggal dulu." Nadin beranjak, kini tersisa kedua insan yang sepertinya sangat canggung itu.
Bagas kesal, tetapi ia tak membenci, mau bagaimanapun ia tahu Alleta sedang hancur.
"Apa alasan lo?" tanya Bagas dingin sambil menatap Alleta-iba.
"Hah?" Alleta tersadar dari isakannya.
"Apa alasan lo nuduh gue yang melakukan hal itu? Jelas-jelas kita gak pernah ngapa-ngapain, bahkan sama Allena aja yang lebih dekat gue gak pernah lakukan hal negatif." Bukannya menjawab, Alleta justru kembali terisak, ia benar-benar menjadi manusia bodoh detik ini.
"So-sorry, Gas, hiks ... sorry, gue bawa-bawa lo dalam masalah ini. Gue gak bermaksud, hiks ... tadi tuh gue buntu, gue takut mama bener-bener kecewa. Hiks ... gue gak tahu orang itu siapa, gue bener-bener bodoh, Gas!" Alleta mengelap kasar wajahnya, Bagas yang iba pun berpindah duduk di dekat Alleta.
"Lo bener-bener gak tahu siapa yang ngelakuinnya?" tanya Bagas sambil menghapus air mata
Alleta.
"Nggak. Semua itu murni kecelakaan, dan gue gak sempat lihat wajah dia dengan jelas. Hiks ... gue harus gimana, Gas?! Semua orang pasti ngira gue murahan, padahal itu murni kecelakaan, hiks ... huaa ... gue harus gimana?" Bagas benar-benar tak tega dengan Alleta, ia merangkul Alleta sebagaimana ia merangkul Allena. Tanpa mereka berdua sadari, gadis sendu itu menyaksikan kedekatan mereka berdua ditemani deraian air mata yang tak kunjung terhenti dari sudut matanya.
"Dengan lo nuduh orang, bukan menyelesaikan masalah, Al, justru lo semakin menambah masalah. Lo cerita aja yang sesungguhnya sama mama lo. Gue gak marah, gue ngerti posisi lo, tapi untuk masalah yang mama lo suruh, sorry gue gak bisa, karena gue bukan pelakunya," ujar Bagas, Alleta mengangguk cepat.
"Maafin gue sekali lagi." Bagas mengangguk.
"Lena? Dia pasti marah banget sama gue, hiks ...," ucap Allete sambil berdiri namun, Bagas dengan cepat menahannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAPUH!
Fiksi Remaja"Kaca yang telah retak memang tak bisa disatukan kembali. Sekalipun bisa, wujudnya tak 'kan seutuh dulu. Mudah rapuh, seperti kata maaf pada sebuah penyesalan." Setelah kepergian Papanya, sahabatnya, serta luka yang tak kunjung sembuh, lantas kerap...