Awas! Bawang!
---Tak mengerti lagi dengan sikap Rahman, Nadin memilih menyetujui ucapannya agar membawa Alleta kembali ke rumah ini. Sudah satu tahun mereka dipisahkan, sangat tergambar jelas perbedaan antara keduanya.
"Al? Dia udah kembali?" gumam Allena saat melihat Alleta bercanda ria dengan Nadin.
"Ngapain kamu ngeliatin?! Pergi!" bentak Nadin. Allena tertunduk patuh, sedangkan Alleta tersenyum miring melihat ketidak akuran mamanya dengan saudari kembarnya.
"Ma-Maaf, Ma, Lena cuma ma-"
"Tak usah banyak bicara! Di dapur cucian banyak, lebih baik kamu cuci baju sekarang juga!" teriak Nadin.
Sesak lagi, ketika kembarannya memilih tertawa di atas lukanya yang selama ini ia rasakan.
Kata orang, bahagia itu sederhana, tetapi sudah sesederhana ini pun Allena tak pernah merasakan kebahagiaan.
"Len, nih baju gue kotor, lo cuci ya!" titah Alleta sambil melempar bajunya ke arah Allena yang sedang berjongkok.
"Ta-tapi, Al, ini 'kan baju kamu. Harusnya kamu cuci sendiri," ujar Allena.
"Oh ... gak suka, ya, gue suruh? Oke fine, jangan kaget jika setelah ini lo akan merasakan sakit lagi!" gertak Alleta seraya meninggalkannya.
Ternyata bukan membantu, justru kehadiran Alleta-lah yang membuat kerapuannya kian mendominasi. Kehadiran Alleta-lah yang membuat penderitaannya kian berlabuh semakin dalam.
Benar saja, baru saja Allena menyelesaikan pekerjaannya, kini Nadin kembali berulah. Kali ini tak sendiri, melainkan dengan Alleta yang ikut serta menghakimi.
"Tuh dia, Ma. Dia yang ngebentak Leta tadi!" tuduh Alleta pada Allena. Sedangkan Allena, ia hanya menatap tak mengerti atas ucapannya.
Brak!
Nadin menggebrak keras meja di ruang tamu itu, membuat Allena tersentak seketika."Sudah berani melawan, hm? Sudah bosan hidup kamu?" cicit Nadin.
"Ma, bisa gak sih mama tuh sayang sama Lena? Sebentar aja, Ma! Hiks ...."
Tumpah lagi, entah berapa tetesan cairan bening bernama air mata itu tumpah kembali di sudut mata Allena.
"Ck. Cengeng!" decak Nadin.
"Lena cape, Ma! Lena cape, aaaaa!!!" teriak Allena frustrasi. Seakan ingin menyerah dengan keadaan yang terus menyiksanya.
"Kenapa? Mau pergi, hm? Pergi sana!"
KAMU SEDANG MEMBACA
RAPUH!
Jugendliteratur"Kaca yang telah retak memang tak bisa disatukan kembali. Sekalipun bisa, wujudnya tak 'kan seutuh dulu. Mudah rapuh, seperti kata maaf pada sebuah penyesalan." Setelah kepergian Papanya, sahabatnya, serta luka yang tak kunjung sembuh, lantas kerap...