Halo semua!
Sebelum lanjut baca, pencet bintang di sebelah kiri dulu ya! Jangan lupa komennya❤Maaf baru update lagi, ponselku baru benar:(
Kalau lupa alurnya, boleh lihat part sebelumnya untuk tahu apa yang terjadi, oke!-
-
-Sudah siap menangis dan rapuh lagi?
HAPPY READING!❤
----
"Semua akan terlihat salah jika lo menganggap hanya diri lo yang selalu benar." -Bagaskara.
----
Pagi ini, Allena dan Alleta sudah kembali bersekolah. Tak ada alasan untuk Allena membenci Alleta, karena pada kenyataannya ia dan Bagas pun tak terikat apa pun.
Allena menghela napas kala suara familier itu menembus gendang telinganya. Menampakkan sosok Bagas di belakangnya tanpa ia berniat untuk memutar badan agar bertemu sosok itu.
"Len, please, dengerin gue dulu! Gue gak ngelakuin itu," ujar Bagas. Ia ingin mengikis jarak namun, Allena malah semakin menjauh darinya.
"Gue kira lo satu-satunya orang yang bisa buat gue sepenuhnya percaya, tapi gue salah. Papa gue pun yang dulunya gue kira sayang banget sama gue ternyata salah, apa lagi lo? Lo cuma seorang cowok yang gak sengaja dipertemukan oleh takdir Tuhan lewat ke-sokpeduliannya lo itu." Sungguh Bagas yang seharusnya kecewa, gadis yang ia pikir akan selalu mempercayainya malah berbanding terbalik dengan realitanya.
"Semua akan terlihat salah jika lo menganggap hanya diri lo yang selalu benar." Setelah mengatakan itu, Bagas berlalu meninggalkan Allena. Bagas tahu, setelah ini pasti gadis itu akan kembali dengan jati dirinya, rapuh.
"Jika yang sulit itu adalah kepercayaan, lantas apa gunanya hati dan logika untuk sepenuhnya menerka?" gumam Allena menatap sendu kepergian Bagas. Bagaimana ini? Seseorang yang berhasil membuat hatinya jatuh kini seolah hilang respek dengannya.
Matanya sembab, pojokan meja tampaknya menjadi sandaran ternyaman dengannya untuk saat ini. Meskipun sandaran itu tak kuat, meskipun sandaran itu suatu saat akan mengembalikan kerapuhannya namun, setidaknya Tuhan memberinya jeda untuk sejenak memutuskan kepercayaan antara hati dan logika. Hatinya berkata ini bukan perbuatan Bagas namun, logikanya berkecamuk dengan perkataan yang Alleta lontarkan kala itu, bahwa sosok lelaki yang sering bersamanya adalah pelakunya.
Bagas baru masuk ke kelas itu dengan keringat yang bercucuran di wajahnya. Baju putihnya pun sangat basah karena ia usai bermain futsal, sejenak melupakan masalahnya dengan Allena, mungkin.
Lelaki itu berlalu begitu saja tanpa berniat kembali berkata dengan Allena. Tak ada tatapan, bahkan senyumannya pun seketika luntur ketika memasuki kelas itu, mendadak dingin dengan suasana, lelaki itu memilih acuh sambil duduk di tempat duduknya.
"Ini bukan Bagas yang Lena kenal. Dia beda banget. Harusnya gue yang sakit hati, tapi kenapa dia yang marah?" gumam Allena dalam hati.
Allena mendongakkan wajahnya ke atas, menahan buliran air mata agar tak kembali terjatuh. "Ini lebih sulit, Tuhan! Ini sangat sulit untuk Lena pecahkan sendirian," teriaknya dalam hati.
Entah sudah berapa lama Allena menangisi perubahan lelaki itu. Mungkin tak ada gunanya, karena semestinya yang paling rapuh adalah Alleta, wanita itu telah hancur tanpa ia tahu siapa penyebabnya.
Istirahat tiba, Allena masih tak bergeming dengan keadaannya.
"Minum! Jangan nangis, gue gak suka liat cewek nangis." Sontak Allena mengangkat wajahnya, menghasilkan sosok Bagas yang berkata dingin kepadanya. Apa ini? Kenapa semuanya berlomba-lomba untuk berubah?
"Ma-makasih." Bagas tak menanggapi lagi, ia berlalu keluar kelas namun, Allena menahannya. Bagas diam tanpa menoleh.
"Lena cuma mau penjelasan, tolong jelasin sejelas-jelasnya, kenapa lo lakuin itu?" tanya Allena. Bagas menghela napas kasar.
"Harus berapa kali gue bilang? Gue bukan pelakunya, Allena!" tegas Bagas, masih dengan nada dingin yang ia rasakan.
"Ta-tapi Al-"
"Gue akan cerita. Setelah itu terserah lo mau percaya atau enggak. Yang jelas, gue tegasin sekali lagi, gue gak pernah lakuin hal sebrengsek itu. Sekalipun gue terbukti ngelakuin, gue gak akan jadi cowok brengsek yang lari dari tanggung jawab." Allena mengangguk, pandangannya masih menunduk, tak berani menatap lelaki yang masih bersikap dingin kepadanya itu.
Bagas duduk di sebelah Allena. Bagusnya, kelas itu sepi, tak akan ada yang mendengar perkataan mereka berdua.
"Waktu itu Al benar-benar kecelakaan, entah siapa yang berbuat sekeji itu karena Al pun gak sempat lihat mukanya dengan jelas, kondisinya mabuk saat itu. Dan kemarin, dia bener-bener terdesak atas perkataan mama lo yang medesak buat ngaku. Dia gak punya cara lain selain nunjuk orang yang ada di dekat dia. Dan saat itu cuma gue cowok yang ada di sana, 'kan? Al udah minta maaf karena udah fitnah gue dan bawa-bawa gue ke dalam masalah yang semestinya gue gak tahu apa-apa." Buliran cairan bening itu kembali tumpah, Bagas tahu Allena akan percaya setelah penjelasannya, mungkin tadi pagi gadis ini belum siap untuk mendengarkan segala kemungkinannya.
"Maafin Lena, Lena udah salah sangka, hiks ...," lirih Lena, Bagas menariknya untuk bersandar di bahunya.
"Jangan bersandar di dinding lagi, ya! Gue 'kan udah bilang, kalau gue siap jadi sandaran lo kapan pun lo butuhkan." Allena mengangguk tegas, berterima kasih kembali pada sosok lelaki ini.
"Kasihan Al, Gas, hiks ... masa depannya udah hancur. Padahal, gue sempat punya cita-cita buat sukses bareng sama Al, tapi itu semua gak mungkin terjadi," lirih Lena, tentu saja sangat terdengar jelas isakannya di telinga Bagas.
Baga melepaskan Allena sejenak, mengambil tempat bekal di dalam tasnya. Ternyata itu donat kesukaan Allena yang sengaja Bagas bawa yang awalnya untuk membujuk Allena.
"Len, lo tahu, kenapa donat ini tengahnya bolong?" tanya Bagas sambil tersenyum. Ini bukan sebuah gombalan, melainkan kalimat penenang untuk gadis rapuh ini.
"Kenapa?"
"Karena di dunia ini gak akan ada yang sempurna selain Tuhan Yang Maha Kuasa. Gak ada kejadian yang bener-bener sempurna bahagianya, gak akan ada kejadian yang bener-bener sempurnya kesedihannya. Mungkin, jalan hidup kita berputar seperti donat, dan suatu saat akan ada titik henti sampai lubang di tengah donat ini kita laluin." Allena tercengang mendengar perkataan Bagas barusan, seolah lelaki ini sedang menghafal materi.
"Intinya, selagi semua masih berputar seperti biasa, gak ada yang namanya benar-benar berakhir. Sekalipun hancur, masih ada kesempatan kedua untuk membangun kembali kehancuran itu." Lelaki bijak itu kemudian menyuapi donat yang sedari tadi di lengannya ke mulut Allena.
"Manis?" tanya Bagas, Allena mengangguk.
"Itu karena gue pakein gula. Meskipun gak pake, rasanya akan tetap manis meski gak semanis yang tadi, 'kan?" Lagi, Allena hanya mengangguk, membiarkan lelaki ini terus berkata.
"Kehidupan akan berbuah manis jika kita tahu bumbunya. Sekalipun gak tahu, sesuatu yang sebenarnya manis cuma kita anggap angin lalu, ya? Makanya, jangan egois jadi orang! Selalu ingin dibenarkan tanpa mau mencari tahu sesuatu yang benar-benar terjadi." Nasihat Bagas kali ini mampu mengukir kembali senyuman di sudut bibir Allena.
Gadis itu menarik pinggang Bagas, memeluknya untuk kembali bersandar.
"Rasa itu dilandasi kepercayaan, Len, bukan sebuah kecurigaan. Kalau lo curiga sama gue, artinya perasaan lo belum sepenuhnya buat gue." Allena mengerti sekarang, ini alasan Bagas tak mau melanjutkan tawarannya untuk menjadikan Allena pacarnya.
"Lena boleh bilang makasih?" tanya Allena, Bagas hanya menatapnya tanpa berkata. "Makasih banyak karena Bagas udah hadir di kehidupan Lena. Berkat Bagas, semua yang Lena laluin yang Lena kira sulit, perlahan gak sesulit yang Lena kira. Lena yang mengira Lena yang paling rapuh, nyatanya masih banyak orang lain yang lebih rapuh," ujar Allena, maniknya bertemu dengan tatapan mata Bagas saat itu juga. Tak ada jawaban dari lelaki itu, ia hanya mengusap halus rambut panjang Allena.
"Jika semua memang hanya ditakdirkan untuk sementara. Tolong, ciptakan kebahagiaan yang benar-benar bahagia tanpa menorehkan luka. Jika semua ini suatu saat akan menghilang juga. Lena mohon, jangan biarkan kehilangan yang lebih menyakitkan terjadi lagi," batin Allena.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAPUH!
Teen Fiction"Kaca yang telah retak memang tak bisa disatukan kembali. Sekalipun bisa, wujudnya tak 'kan seutuh dulu. Mudah rapuh, seperti kata maaf pada sebuah penyesalan." Setelah kepergian Papanya, sahabatnya, serta luka yang tak kunjung sembuh, lantas kerap...