Jangan lupa vote dan komen!
-
-
-“Bagas, udah dua minggu, tapi Al belum pulang juga,” keluh Allena. Bagas menariknya untuk bersandar.
Sore ini mereka menghabiskan waktunya di danau tempat Allena melampiaskan lukanya dulu. Bukan apa-apa, Bagas tahu gadis itu butuh ketenangan karena masih memikirkan kembarannya.
“Jangan khawatir sama Al, dia pasti sembuh kok, lagi pun ada bang Elang. Percaya deh, bang Elang gak akan setega itu misahin kalian,” ujar Bagas sambil memainkan rambut Allena di pundaknya.
“Tapi kenapa lama banget, Gas? Bukannya gak se-lama ini ya?”
Bagas juga berpikir hal yang sama. Seketika ia terkekeh mengingat Elang yang sering memanfaatkan waktu dan keadaan.
“Mungkin mereka sekalian liburan, Len, pulangnya bawa ponakan baru buat kita,” kekeh Bagas.
“Maksud Bagas?” Bagas mendelik mendengar pertanyaan Allena.
“Astaga, Len, nilai biologi lo berapa, sih, hm?” Seketika Allena juga tertawa, ia sampai lupa kembarannya itu sudah punya suami.
“Tadinya gue mau telepon bang Elang, tapi gak jadi, takut ganggu,” kekeh Bagas lagi.
“Yaudah gak usah diganggu dulu, lagian emang nomornya aktif ya di sana?” Bagas mengangkat bahunya.
“Entah, gak pernah ke luar negeri selain ikut papa dulu, itu pun gue gak pegang hp,” ujar Bagas.
Lama mereka bungkam dengan isi pikiran mereka masing-masing. Ah, entahlah, mengapa Allena sangat nyaman ketika dekat dengan Bagas seperti ini, padahal ia sendiri tahu, bahwa Bagas adalah adik ipar dari kembarannya.
“Tempat ini adalah saksi Lena melampiaskan luka, tapi sekarang Lena harap tempat ini akan menciptakan tawa dan kebahagiaan,” ujar Allena tiba-tiba.
Tak ada yang berubah dengan danau ini, kecuali hatinya yang tak menentu, kadang sendu, kadang bahagia, karena semesta semudah itu mempermainkan perasaan seseorang.
“Dan gue orang yang akan menciptakan tawa itu, Len,” ujar Bagas pelan yang masih bisa terdengar oleh Allena. Sontak gadis itu menoleh, sudah berapa kali ia mengatakan jangan memendam rasa lagi dengannya.
“Dan gue gak akan biarkan air mata lo turun lagi setelah semua kejadian ini. Sekalipun turun, gue pastikan itu air mata bahagia,” ujar Bagas lagi.
“Semoga, Tuhan benar-benar mengganti luka itu dengan tawa ya, Gas.”
***
Terhitung sudah 22 hari Alleta dan Elang berada di negeri orang, Kota New York, kota kedua setelah Bandung yang akan menjadi saksi kisah Alleta dan Elang.
“Kita pulang hari ini, hm? Udah siap ninggalin tempat ini?” ujar Elang menyadarkan lamunan Alleta yang menatap nanar jalanan di dalam apartemennya.
“Al bakal kangen sama tempat ini. Karena tempat ini … adalah tempat pertama yang Al lihat saat bola mata ini bukan lagi milik Al,” ujar Alleta sambil tersenyum.
Elang memeluknya dari belakang, sejenak Alleta kaget namun, ia harus terbiasa kali ini.
“Dan aku orang pertama yang kamu lihat saat kamu buka mata, hm?” bisik Elang, Alleta mengangguk sambil tersenyum.
“Makasih banyak, Kak, Al gak tahu harus gimana kalau enggak kenal sama Kakak,” ujar Alleta masih di posisi yang sama.
“Al, kamu itu sekarang istri aku, kamu tanggung jawab aku. Oh iya satu lagi, masa sama suami sendiri bilangnya cuma kakak, sih?” Elang sedikit melemahkan ucapannya di akhir kalimat.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAPUH!
Ficção Adolescente"Kaca yang telah retak memang tak bisa disatukan kembali. Sekalipun bisa, wujudnya tak 'kan seutuh dulu. Mudah rapuh, seperti kata maaf pada sebuah penyesalan." Setelah kepergian Papanya, sahabatnya, serta luka yang tak kunjung sembuh, lantas kerap...