"Masih mau menjauh dengan rasa yang salah?" Suara familier itu sontak menghentikan langkah Allena. Tanpa menoleh, gadis itu berhenti sambil menunggu apa yang akan lelaki itu katakan lagi.Lelaki itu semakin mendekat, tentu saja suaranya semakin jelas di telinga Allena. "Lain kali, kalau mau menjauh kasih alasan yang pasti! Jangan pernah menjauh untuk menyembuhkan, tapi sebenarnya malah semakin menyakitkan," bisik Bagas.
"Gue duluan, kalau udah berubah pikiran kabarin aja, gue selalu menunggu lo kembali, Allena." Setelah itu Bagas mendahuluinya, membiarkan gadis sendu itu memahami kalimat yang Bagas ucapkan tadi.
"Sudah sesabar itu Bagas nunggu gue kembali, apa mungkin itu semua cuma rekayasa?" gumam Allena. Kepalanya mendongka ke atas, hanya untuk menahan air mata yang meronta ingin di keluarkan.
"Maaf, Gas, tapi gue belum siap buat sakit lagi. Gue tahu akan lebih sakit jika gue terus bersama lo." Allena menghela napas kasar, melanjutkan langkah kakinya menuju ruang kelas.
Alleta paham apa yang dirasakan oleh Allena, sudah beberapa kali ia memergoki Allena sedang menahan rasa cemburunya pada Bagas, lelaki yang selalu menemani Allena beberapa bulan terakhir.
"Gue harus bicara sama Bagas," gumam Alleta.
Saat istirahat tiba, Alleta mencari keberadaan Bagas di dekat perpustakaan.
"Bagas!" panggil Alleta. Bagas tahu perbedaan Allena dan Alleta, gadis yang ia sayangi itu cenderung lebih lembut dalam berkata daripada Alleta.
"Eh? Alleta, ya? Ada apa?" ucap Bagas sambil menenteng buku yang ia pinjam dari perpustakaan.
"Gue cuma mau tanya, lo sama Lena lagi ada masalah apa?" tanya Bagas.
Bagas menghela napas, ia megajak Alleta duduk di pilar dekat perpustakaan sambil menceritakan perubahan Allena kepadanya.
"Gue gak paham, akhir-akhir ini dia berubah banget sama gue. Dia bilang gue suruh jauhin dia, kalau gue gak mau dia yang akan jauhin gue. Cuma gue gak paham, apa alasan dia buat nyuruh gue untuk menjauh," ujar Bagas, berharap kembaran Allena ini mengetahui sesuatu.
Tanpa mereka sadari, sang pemilik nama Allena yang sedang mereka bicarakan itu melihat kedekatan mereka. Allena tak tahu apa yang Alleta dan Bagas ucapkan namun, sepertinya mereka terlihat lumayan dekat. Allena tersenyum tanpa mereka ketahui, lalu ia pergi dari tempat itu tanpa mengetahui apa yang mereka bicarakan.
"Ck. Disuruh jauhin gue malah kembaran gue sendiri yang diembat," gerutu Allena sambil berjalan menuju kelasnya.
Bruk! "Aduh!" pekik kedua gadis yang bertabrakan itu.
"E-eh, ma-maaf, Kak. Sini aku bantu," ucap gadis yang menabrak Allena itu sambil mengulurkan lengannya.
Allena mengamati gadis itu, sepertinya ia pernah melihatnya. "Lo yang kemarin di parkiran sama Bagas, ya?" tanya Allena.
"Eh, iya aku yang kemarin sama bang Bagas." Gadis itu tersenyum setelah membantu Allena berdiri.
"Abang? Dia siapa lo?" tanya Allena.
"Bang Bagas itu kakak sepupu aku, Kak. Aku baru tahu dia pindah ke sini, makanya kemarin tuh aku kangen banget sama dia karena kita emang pas kecil barengan terus," jelasnya. Allena jelas tersentak karena ia menyangka gadis ini adalah pacar Bagas.
"Ja-jadi lo bukan pacarnya Bagas?" tanya Allena lagi.
"Bukan lah, Kak. Kata bang Bagas dia tuh sukanya sama orang yang kemarin cemburu liat dia dekat sama aku." Gadis itu terkekeh, sedangkan Allena sudah bersemu detik itu juga. Ia tahu Bagas menyukainya namun, entah apa hubungannya kini dengan Bagas.
"Ah, iya, kenalin aku Cahya Zaira, sepuluh IPS satu," ucap gadis itu sambil menyodorkan lengannya.
"Allena."
Satu masalah telah usai, gadis itu membicarakan perihal bertemunya ia dengan Allena. Bagas senang jika Allena hanya salah paham namun, ancaman tempo hari lalu masih terngiang di benak Allena.
"Dor!" ucap Bagas berusaha mengagetkan Allena namun, gadis itu tak bergeming dari ponselnya.
"Kok gak kaget, sih?" Bagas berdecak lalu duduk di samping Allena.
"Keliatan di hp," ucap Allena seadanya.
"Jangan cuek lagi, Len! Cahya udah cerita, 'kan?" tanya Bagas, Allena hanya mengangguk lemah.
Bagas tak tahan lagi dengan sikap Allena yang berubah dingin seperti ini kepadanya. Ia menarik ponsel Allena, membuat sang pemiliknya berdecak lalu menatap horror ke arah Bagas. Lengan Bagas menumpu kedua pipi Allena, bola mata mereka seketika beradu tatap. Sorot marah Allena padam seketika ketika melihat lelaki di hadapannya kini bersikap sangat manis.
"Kalau ada masalah, jangan lari! Dengan lo lari kayak gitu bukannya menyelesaikan masalah, Len, justru lo akan dibuat kalah." Allena paham apa yang Bagas ucapkan, ia bukan tergolong orang yang sulit memahami hingga harus berulang kali mengatakan hal yang sama.
"Gue bukan lari, hanya saja gak mau masalah yang lebih besar itu benar-benar hadir. Gue gak siap jika konsekuensinya akan berakhir dengan kehilangan. Makanya itu, gue memilih menghindar daripada memecahkan sesuatu yang entah gue pun gak paham sama alur kehidupan gue," ujar Allena penuh penekanan, matanya sudah berkaca-kaca saat itu juga.
"Gue akan temanin lo buat pecahin permasalahan itu. Kuncinya satu, lo jangan pernah pendam masalah lo sendirian, karna gue bukan peramal yang bisa memperkirai apa yang akan terjadi sama lo," ujar Bagas.
Allena menghela napas, mengambil lengan Bagas dari pipinya untuk diturunkan. Ia mengambil ponselnya lalu memperlihatkan pesan yang ia dapat beberapa hari lalu. Bagas mengernyit, siapa orang yang berani-beraninya mengusik hidup Allena yang bahkan Bagas sendiri pun tak tahu itu siapa namun, ia yakin, orang itu pasti ada di sekitaran mereka.
"Itu cuma ancaman, Lena, bahkan gue pun gak tahu orang itu siapa," ucap Bagas.
"Kalau itu beneran terjadi, gimana? Kalau gue atau lo dicelakai, gimana?"
"Terkadang pikiran yang melintas itu memang bisa menutup hati dan otak, ya. Bahkan lo aja gak kepikiran untuk membalasnya." Kali ini Allena belum paham apa maksud Bagas.
"Maksudnya?"
"Gini, Lena, kalau dia aja bisa bertindak tanpa sepengetahuan lo, kenapa lo gak melakukan hal yang sama? Bertindak tanpa sepengetahuan dia," ujar Bagas, Allena mengangguk paham.
"Tapi 'kan gue gak tahu orang itu siapa."
"Tunggu dia bertindak, lepas itu lo akan tahu orang itu siapa. Paham?" Allena mengangguk lalu memeluk Bagas dari samping. Akhirnya, Bagas bisa mengembalikan Allena yang ia kenal tanpa harus mengotori mulutnya untuk bercerita.
"Jangan menghindar lagi, ya?" ucap Bagas.
"Tapi gue gak janji."
"Lah?"
"Kalau suatu saat ada hal yang lebih menyakitkan, Lena gak bisa ngapa-ngapain selain mengikuti arah takdir yang diberikan-Nya." Allena tersenyum di akhir kalimat, Bagas yang paham apa maksud Allena dengan gemas mengacak-acak rambut Allena.
"Semoga saja, gak akan ada yang menyakitkan lagi."
___
Siapa orang itu? Orang baru atau tokoh yang sama?Kira-kira apa yang akan orang itu lakukan? Pantengin terus ceritanya!Jangan lupa vote, komen dan share yaaa
KAMU SEDANG MEMBACA
RAPUH!
Fiksi Remaja"Kaca yang telah retak memang tak bisa disatukan kembali. Sekalipun bisa, wujudnya tak 'kan seutuh dulu. Mudah rapuh, seperti kata maaf pada sebuah penyesalan." Setelah kepergian Papanya, sahabatnya, serta luka yang tak kunjung sembuh, lantas kerap...