42 ♡ Kita Hancur, Ma💔

2.8K 197 5
                                    

Masih di tempat yang sama dengan keadaan yang sama. Keheningan mereka terpecahkan saat ponsel Bagas berdering menunjukkan nama Elang.

"Siapa?" tanya Allena.

"Bang Elang," jawab Bagas lalu menggeserkan icon berwarna hijau di ponselnya.

"Kenapa?" tanya Bagas dingin.

"Lo udah ketemu Lena? Ini Al daritadi nangisin dia terus," ucap Elang di seberang sana.

"Ini gue udah sama Lena. Lo di mana? Biar gue ke sana."

"Gue masih di rumah mama Nadin, cepet ke sini! Gue gak ngerti lagi gimana nenangin Al," ujar Elang. Bagas langsung mematikan sambungan teleponnya.

Bagas menarik lengan Allena. Awalnya gadis itu menolak karena belum siap untuk kembali bertengkar. Namun, lelaki yang bersamanya ini selalu memberikan kalimat penenang dan meyakinkan dirinya.

"Kalau mama lo gak bisa dihentikan dengan cara manusia ... cukup lo tutup kuping lo dan tutup mata lo! Agar kata-kata yang dia lontarkan serta perlakuan yang dia kasih gak bisa lo dengar dan gak bisa lo lihat." Itulah kalimat penenang dari Bagas yang selalu membuat Allena benar-benar tenang.

"Sekuat-kuatnya gue berjalan di atas duri, pada akhirnya gue akan sakit dan terluka, Bagas! Sekuat-kuatnya gue berusaha mengobati luka itu dengan gak mendengarkan, gue tetap sakit meskipun gak sepenuhnya gue dengar," jawab Allena.

Bagas menghela napas berat, masalah gadis ini sangat sulit untuk diselesaikan dengan kepala dingin.

"Sakit itu dilawan, bukan dibiarkan, Lena! Kalau lo terus lari, sama aja lo biarkan luka lo makin besar, hm?"

Allena mengangguk paham atas perkataan Bagas. Dengan terpaksa ia menuruti Bagas untuk kembali ke rumah Nadin, alasannya hanya untuk Alleta.

Sesampainya di sana, Alleta langsung merengkuh gadis itu. Tangis saudari kembar itu kembali pecah hingga membuat kakak-beradik itu hanya bisa tersenyum simpul, pasalnya dulu mereka tak pernah akur dan kini seolah melupakan semua dendam yang pernah ada di antara mereka, bahkan mereka berjuang bersama untuk merubah sosok Nadin.

"Jangan pergi lagi, Len! Hiks ...," lirih Alleta sudah tak kuasa menompang tubuhnya hingga hampir saja ia ambruk dalam pelukan Allena.

"Gue gak akan pergi lagi," ujar Allena sambil tersenyum.

Baru saja tangis keduanya mulai mereda, sosok yang Allena sayangi sekaligus Allena takuti kembali muncul di balik pintu kamarnya. Menatap sinis kehadiran Allena, seolah tak ada lagi kasih sayang di keluarga itu.

"Sudah berapa kali saya bilang, Alleta ... jangan pernah tampakkan anak pembawa sial ini di rumah ini lagi!" teriak Nadin geram, membuat keempat orang itu melotot tak percaya.

Allena menghela napas, memberanikan diri mendekati sang mama.

"Bisa tolong jelaskan, apa alasan Mama segitu bencinya ke Lena? Lena tahu Mama gak pernah sayang sama Lena, tapi bukankah tidak sayang bukan berarti harus membenci, 'kan?" sarkas Allena setenang mungkin namun, perkataan itu membuat Alleta menggeram di tempatnya.

"Kamu salah besar, Lena," batin Nadin seperti teriris.

"Tidak perlu tahu, yang jelas saya membencimu! SANGAT-SANGAT MEMBENCIMU!" teriak Nadin di akhir kalimat. Sebenarnya ada alasan yang tak seorang pun tahu mengapa dirinya seperti ini.

"Andai papa masih ada," gumam Allena tanpa sadar, hal ini sontak membuat amarah Nadin meninggi.

Plak! Nadin menghempaskan tangannya ke pipi Allena, membuat tangan kanan Allena memegangi pipi kanannya, hal ini juga membuat ketiga lainnya meringis di tempat mereka.

"STOP UNGKIT-UNGKIT DIA!!" teriak Nadin namun, air matanya berhasil lolos. Ada hal yang tak mereka ketahui tentang Rahman.

"KENAPA?! SELAMA INI CUMA PAPA YANG SAYANG SAMA LENA! SELAMA INI PAPA GAK PERNAH NAMPAR LENA SELAIN HARI ITU! KENAPA, MA?! KENAPA MAMA SETEGA INI SAMA LENA?! BAHKAN PAPA YANG SAYANG SAMA LENA AJA GAK PERNAH MAIN FISIK SEBELUMNYA! Hiks ... Mama jahat," lirih Allena setelah berteriak frustrasi.

Alleta semakin menangis, berjalan lunglai mendekati kembarannya dan mamanya.

"Ma, sampai kapan kita harus hancur?" lirih Alleta.

"Sampai kapan kita terus hidup penuh tekanan, Ma? Al cuma minta Mama gak benci Lena, itu aja, Ma, apa sulit?!" lirih Alleta.

"KALIAN BERDUA SAMA SAJA! KALIAN SEMUA HANYA BISA MENYAKITI SAYA! ARGH!" Nadin frustrasi, ia melayangkan lengannya kembali ke pipi Allena namun, Alleta dengan cepat menahan lengan itu.

"STOP, MA! KALAU MAMA MAU TERUS BENCI LENA, MAMA JUGA HARUS BENCI AL! AL JUGA AKAN BENCI MAMA!"

"Lena, ayo kita pergi!"

Belum sempat Allena menjawab, Alleta menarik keras lengannya keluar rumah. Mengambil alih kunci mobil di tangan Elang, lalu ia menyeret Allena untuk masuk ke dalam mobil itu.

Elang dan Bagas hanya bisa saling tatap, sesekali melirik sinis Nadin yang hanya bisa menangisi kepergian kedua putrinya.

Allena menatap heran dengan Alleta, perempuan itu berubah sangat menyeramkan untuk ia tatap. Entah apa yang terjadi dengan Alleta, ia langsung mengenakan seatbeltnya, menginjakkan kakinya di rem, mengambil ancang-ancang untuk menancap gas sekencang mungkin.

"Al ... kita mau ke mana?" ucap Allena hati-hati sebelum Alleta benar-benar menancapkan gas.

"Lo gak perlu tahu, yang jelas gue gak akan biarin lo disakitin terus sama mama. Kita ke mana aja, yang jauh, kalau perlu sampai mama gak bisa lagi lihat kita," ucap Alleta dingin, wajahnya seketika berubah datar mengingat kejadian tadi.

"Ta-tapi ... ASTAGA, ALLETA! PELAN-PELAN!!!" pekik Allena histeris saat Alleta mengemudikan mobilnya sangat cepat.

Di sisi lain, Elang dan Bagas terbelalak ketika melihat Alleta begitu cepat mengemudikan mobil tersebut.

"Bang, buruan kita kejar! Lo gak lihat si Al bawa mobil kayak orang kesetanan?!" pekik Bagas saat melihat betapa bodohnya sang abang hanya melongo melihat kejadian itu.

Persetan dengan Nadin, Elang langsung merampas kunci motor dari lengan Bagas dan mengajak adiknya itu untuk ikut menyusul bersamanya.

"GUE BENCI DIRI GUE SENDIRI, LEN, GUE BENCIIII!!! GUE MAU HIDUP TENANG KAYAK ORANG-ORANG, TAPI KENAPA ITU AJA SUSAH BANGET BUAT GUE?!" teriak Alleta, mobilnya mulai oleng ketika ia menjerit tak karuan.

Bagas dan Elang memperhatikan itu. Matanya melotot ketika melihat dari kejauhan mobil yang dikendarai Alleta oleng.

"Al, please, lebih baik berhenti dulu sebelum lo marah-marah! Bahaya, Al! inget kita bukan cuma berdua, ada janin yang lo kandung!" peringat Allena.

Seketika Alleta terdiam namun, kecepatan mobilnya tak dikurangi. Alleta menatap nanar ke arah depan, menyadari bahwa dirinya banyak sekali kesalahan selama hidup. Pandangannya tak teralihkan, lebih tepatnya Alleta melamun. Tanpa mereka berdua sadari, mereka telah sampai di pertigaan rawan kecelakaan. dan benar saja, saat Allena menoleh ....

"ASTAGFIRULLAH, AL! AWAS!!!"

-

-

-

Jangan lupa vote, komen dan share!

RAPUH! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang