Bagaskara, lelaki itu sedang menyendiri dengan amarahnya yang hingga detik ini belum juga mereda.
Bugh! Bugh! Bugh! Bagas memukuli samsaknya hingga tubuh atletisnya bercucuran keringat.
"ARGH! KENAPA HARUS KAYAK GINI?!" teriak Bagas tanpa menghentikan aktivitasnya.
Bagas kecewa, bukan hanya pada Allena, tetapi juga pada Elang. Karena Elang, perjuangannya selama ini jadi sia-sia. Karena Elang, pikiran Allena untuk menyakiti dirinya sendiri semakin menyeruak.
"KENAPA BARU SEKARANG SEMUANYA TERJADI?! KENAPA?!!" Berkali-kali lelaki itu berteriak, sesekali menangis kala amarahnya mulai mereda.
Vila milik keluarga papanya itu ia jadikan tempat pelarian. Vila yang terletak di pantai Santolo yang terletak di Kabupaten Garut dekat Kota Bandung. Setiap kali amarahnya ingin membeludak, vila inilah yang menjadi tempat pelariannya. Suasana pantai dengan bisingnya ombak membuat amarahnya pasang surut seperti air laut. Atas izin keluarga papanya, Bagas diperbolehkan untuk tinggal di sana sampai ia benar-benar menghilangkan masalahnya.
Bagas lelah dengan aktivitasnya, ia duduk sejenak sambil menatap lautan, menenangkan pikirannya.
"Gua gak habis pikir sama lo, Len. Setelah perjuangan gue selama ini, lo malah suruh gue buat cari cewek baru?! Gila lo!" ucap Bagas sambil tersenyum miring.
"Apa semuanya kurang cukup, Len?! Apa dengan kehadiran gue lagi semua belum cukup meyakinkan kalau gue benaran sayang sama lo?!"
"Gue gak pernah jatuh cinta sedalam ini, Allena. Gue benci dengar perintah lo buat cari cewek baru! Heh! Lo kira sayang sama orang semudah itu?! ENGGAK, LENA!!!" teriak Bagas di akhir kalimat. Ia benar-benar frustrasi untuk hal ini, entah sampai kapan emosinya masih menguasai dirinya.
"Gue pikir dengan gue selalu ada buat itu udah cukup, tapi ternyata enggak. Lo cewek ter-egois yang pernah gue kenal. Egois tanpa mikirin perasaan orang lain. Gue cowok yang juga punya perasaan, Len! Gue bisa sakit kalau disakitin!" gumam Bagas tanpa ada seorang pun yang mendengarkannya.
"Kalau lo gak seneng sama gue, seenggaknya bilang dari awal! Jangan buat gue semakin nyaman, lo malah suruh gue buat pergi. ARGH!" Bagas melempar batu di dekatnya ke sembarang arah.
"GUE BENCI DIRI GUE SENDIRI!!!"
***
Di sisi lain, Alleta terus merayu Allena agar mau berkunjung ke rumah mamanya. Mau bagaimanapun, Nadin tetaplah ibu kandung mereka berdua. Sejahat apa pun Nadin, ia pantas mendapatkan perhatian dari sang anak, terlebih lagi di usianya yang sudah tak muda ia harus tinggal sendirian.
"Len, ayolah! Mama kangen kita, mama pengin ketemu," ujar Alleta untuk ke-sekian kalinya.
Allena tersenyum meremehkan. "Kita? Heh! Mama tuh kangen lo aja, enggak sama gue," ucap Allena.
"Ta-tapi 'kan, lo juga anak mama. Kita berjuang ya buat dapetin kasih sayang mama lagi," ujar Allena.
"Setelah apa yang mama lakuin ke gue, Al?! Bahkan mama-lah penyebab gue dan lo sakit, lo masih mau ketemu dia?!" cerca Allena.
"Len, bukannya dulu lo yang bilang, lo akan sayang sama mama apa pun yang terjadi. Gue cuma gak mau keluarga kita terpecahkan, Len. Keluarga kita udah hancur, bahkan sebelum papa pergi, dan sekarang yang kita punya tinggal mama. Mau bagaimanapun, mama yang udah rawat kita sampai sebesar ini, Allena," ujar Alleta, tanpa sadar air matanya berhasil lolos, entahlah akhir-akhir ini Alleta sangat mudah menangis.
Allena menghela napas berat. Ucapan Alleta memang benar, ia tak boleh menyimpan dendam dengan mama kandungnya sendiri. Tanpa Nadin, Allena tak akan tumbuh sedewasa ini meskipun tanpa kasih sayang.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAPUH!
Teen Fiction"Kaca yang telah retak memang tak bisa disatukan kembali. Sekalipun bisa, wujudnya tak 'kan seutuh dulu. Mudah rapuh, seperti kata maaf pada sebuah penyesalan." Setelah kepergian Papanya, sahabatnya, serta luka yang tak kunjung sembuh, lantas kerap...