“Happy graduation, gadis rapuh yang sudah bangkit,” bisik Bagas saat Allena turun dari podium usai dipakaikan medali di lehernya. Bagas mengambil buket bunga, menyerahkan kepada gadis itu dengan senyum manisnya.“Katanya mau kasih hadiah kalau kita kelulusan. Hadiahnya mana?” tagih Allena dengan tangan yang mengadah.
“Hadiahnya spesial yang enggak bakal Lena lupain, tapi engak sekarang, nanti malam, sabar ya.”
Allena menghela napas. “Sabar banget Lena mah sabar … bahkan satu tahun aja Lena bisa kok sabar.” Seketika gadis itu cemberut namun, Bagas malah terkekeh
“Jangan gitu, nanti pas tahu hadiah terindahnya malah nangis-nangis kejer lagi,” cibir Bagas. Kali ini Alena tak peduli, ia menghampiri Elang dan Alleta, ada Nadin, mama dan papanya Bagas juga di sana.
“Happy graduation ya … Al, Lena, Bagas sayang …,” ujar Tania, disusul oleh Nadin dan George, juga Elang yang memberikan Lena dan Bagas ucapan selamat atas kelulusan. Terlebih, Bagas dipanggil sebagai siswa terbaik tahun ini.
“Boy, hadiahnya jadi ‘kan nanti malam?” tanya George membuat Allena mengernyit namun, Bagas malah mengangguk sambil tersenyum.
***
“Kita sudah terlanjur saling nyaman. Jangankan untung menghilang, sedetik tanpa kehadirannya pun seolah hampa. Alay memang, tapi itulah cinta, yang kadang membutakan mata dan hati.”
Allena membaca diary lamanya tentang Bagas, Sherin dan Nadin. Tentang Bagas tertulis di lembar pertama dan lembar terakhir buku itu. Lembar pertama, berisi tentang pertemuan pertama Bagas dan Allena, saat mereka berumur 14 tahun di danau, saat Allena menangis karena kehancuran keluarganya. Lembar terakhir, berisi tentang satu tahun lalu, saat Bagas menjadikannya gadis terbahagia di malam itu dengan ucapannya yang meyakinkan.
Allena teringat bahwa Bagas menjanjikannya hadiah di malam ini. Seketika senyuman terbit di bibirnya.
“Kira-kira apa yang mau Bagas kasih, ya?” gumam Allena.
***
Malam telah tiba. Namun, bukan kehadiran Bagas yang ia dapatkan, melainkan Elang yang terlihat kusut di balik pintu masuk rumah Nadin.
“Ba—Bang Elang? Ke—kenapa, Bang? Kenapa kusut gini?” tanya Allena takut.
“Maafin Bagas ya, Len,” ucap Elang tiba-tiba. Perasaan Allena berkecamuk, apa yang sebenarnya terjadi?
“Bagas ke mana? Dia enggak menepati janjinya buat kasih Lena hadiah, ya? Hm, gapapa deh, yang penting—”
“Bagas enggak bisa datang malam ini,” potong Elang.
“Oh, yaudah gapapa, Bang, dia sibuk ya? Atau—”
“Mobil Bagas kecelakaan, di sungai deras dekat danau.”
Deg. Jantung Allena seolah ingin berhenti detik itu juga. Allena kehilangan tenaga, Elang langsung menahan tubuh Allena sambil membantu gadis itu untuk duduk di sofa.
“Keadaan mobilnya parah. Kemungkinan selamat cukup kecil melihat derasnya aliran air di sungai itu.”
Allena masih sangat syok dengan berita ini, mengapa semua begitu cepat?
“ENGGAK! BAGAS PASTI GAK KENAPA-KENAPA ‘KAN, BANG?!”
“Gue Dokter kalau lo lupa, gue ngerti kondisi mobilnya,” ingat Elang saat Allena nyaris frustrasi dengan keadaan Bagas.
“Antar gue ke sana, hiks ….”
“Lo di sini aja, Len, bahaya, udah malam. Biar gue yang urus jenazah Bagas.” Brak! Allena menggebrak kasar meja di depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAPUH!
Teen Fiction"Kaca yang telah retak memang tak bisa disatukan kembali. Sekalipun bisa, wujudnya tak 'kan seutuh dulu. Mudah rapuh, seperti kata maaf pada sebuah penyesalan." Setelah kepergian Papanya, sahabatnya, serta luka yang tak kunjung sembuh, lantas kerap...