12 ♡ Sakit Yang Mendominasi🕊

4.1K 296 19
                                    

ALLENA POV

Aku sudah tahu tentang kenapa kepalaku bisa sesakit ini. Sempat aku berpikir, kenapa Tuhan gak ambil aku aja sekalian? Kenapa Tuhan tetap biarkanku terjerumus dalam kesenduan? Kenapa Tuhan masih mengizinkan sakit itu mendominasi? Ah, masih banyak yang perlu aku tanyakan tanpa aku sendiri tahu jawabannya. Tetapi di sisi lain, Lena bersyukur, Tuhan masih memberi Lena napas panjang untuk mengukir sedikit tawa dengan Bagas.

"Lenn, mau langsung ke rumah atau mau ke mana dulu?" tanya Bagas saat dia menjemputku karena sudah diperbolehkan pulang.

"Hm, Lena laper, hehe." Bagas terkekeh mendengar celetukanku. Lantas lelaki itu pun mengacak rambutku gemas.

Teruntuk jantung, jangan terus berdetak lebih cepat ketika di dekat Bagas. Teruntuk wajah, jangan terus bersemu menandakan terbawa suasana. Jujur, Lena malu kalau sampai Bagas tahu seberapa cepat jantung ini berdetak.

Bagas membawaku ke restoran di dekat danau, tempat pertemuan pertama untuk kami. Aku menoleh ke sisi danau, suasananya masih sama seperti tiga tahun lalu, hanya saja kini lebih indah karena banyak renovasi. Tanpa aku sadari, ternyata Bagas pun memperhatikanku.

"Lihat apa? Liat tempat kenangan, ya?" bisik Bagas tepat di telingaku, suaranya yang pelan membuat pundakku meremang dengan ucapan kenangan yang Bagas ucapkan.

"Ih, bukan. Cuma sekadar lihat-lihat aja, kan Lena juga punya mata," alihku.

"Tapi itu beneran jadi tempat sejarah buat gue, tempat di mana gue ketemu cewek kuat dan secantik lo," bisik Bagas lagi, membuat rona merah kembali muncul di wajahku.

"Jangan gombal aja! Udah ayo, katanya mau nganter Lena makan," alihku agar Bagas tak tahu apa yang sedang aku rasakan.

Jujur saja, aku sendiri bingung dengan hubungan ini. Bagas pernah menyatakan perasaannya namun, aku belum sempat membalasnya. Entah, sampai kini rasa itu masih ada atau tidak dalam diri Bagas.

Sejak duduk di restoran itu, mata Bagas tak beralih, ia terus saja menatapku seolah aku ini pemandangan indah yang perlu diabadikan. Oh God! Kenapa sosok Bagas ini membuatku gila atas nama cinta?

"Bagas ngapain liatin Lena mulu, sih?! Lena kan-"

"Kenapa? Baper?" sela Bagas.

"Bukan, ih! Gue risi."

"Halah, bohong aja, itu mukanya merah gitu, Len?" goda Bagas, refleks aku menundukan wajahku agar Bagas tak melihatnya lagi.

"Lo itu bintang, Len," celetuk Bagas tiba-tiba.

"Hah?" beoku tak mengerti.

"Lo itu bintang untuk diri lo sendiri, dan lo akan menjadi matahari untuk orang lain. Lo paham maksud gue?" ucap Bagas, kenapa jantung ini kembali berdetak kencang, Tuhan? Rasa aneh apa lagi ini?

"Jangan bikin baper, deh! Mending kalau mau tanggung jawab mah, lah kalau ninggalin?" ucapku sekadar bergurau.

Setelah makan, Bagas dan aku memilih untuk melihat sekilas danau tempat kami bertemu dulu. Aku duduk di tempat yang dulu pernah Bagas suruh. Tiba-tiba, lengan kekar itu merarik kepalaku agar bersandar di dadanya. Dada Bagas itu sandarable, sangat nyaman ketika bersandar di sana.

"Gas, jangan gini! Lena malu," ucapku sambil terbangun dari sandaranku.

"Pupang, yuk? Lena kan butuh banyak istirahat." Bagas menggandengku layaknya sepasang kekasih namun, hingga kini masih belum jelas statusku dengan Bagas.

"Gue balik dulu, kalau ada apa-apa kabarin aja!" ucap Bagas sebelum menghilang dari pandanganku.

Kulangkahkan kaki menuju pintu masuk, firasatku sudah menebak bahwa akan terjadi lagi pertengkaran hebat di rumah ini, tetapi sudahlah, jalani saja semampuku. Tuhan punya rencana indah di balik ini semua, bukan?

RAPUH! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang